2 | Duo Ndablek

261 27 19
                                    

Sial banget. Matahari baru saja keluar, tapi Jean sudah diburu. Jean malas mengira kali ini Tantono bagian mana yang dengan brutalnya memencet bel apartemennya tanpa henti sejak 30 menit lalu. Ia sudah berusaha bodo amat dan memaksa untuk tenggelam dalam tidurnya lagi, tapi orang ini sepertinya benar-benar sarat akan sifat pantang menyerahnya.

Dengan malas, Jean akhirnya bangkit dari kasurnya. Ia membuka pintu dengan setengah sadar hanya untuk menerima sebuah jitakan keras di kepalanya yang berhasil membuatnya terhuyung.

"Totally ndablek."

Jean masih mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya—apalagi setelah kepalanya ditojos begitu saja—ketika Kris dan Nana memaksa masuk ke dalam unit apartemennya dan begitu saja duduk di sofanya.

"Sini kamu. Duduk."

Jean belum berani menjawab. Ia hanya bisa menuruti perintah ayahnya untuk duduk di hadapan bapak dan ibu negara nomor tiga (karena nomor satunya tentu saja Pak Jokowi dan Bu Iriana, nomor duanya tidak lain dan tidak bukan Yang Mulia Opa Tantono) alias kedua orang tuanya itu.

"Ngapain kamu?"

"Du..duk?"

"Haduh, ndablek tenan iki anakmu, Mi," Kris mengurut dahinya sendiri, merasa frustasi mendengar jawaban dari anak bungsunya.

"Nggak usah nyebut-nyebut ini anakku. Anakmu juga kok yo," protes Nana.

"Lho, kamu yang ngelahirin."

"You made it!"

Mendengar adu mulut orang tuanya, Jean hanya bisa menghela napas, "Tunggu, tunggu. Ini kalian ributnya boleh dipending dulu nggak? Jean baru banget landing jam 5 tadi loh. Semalem Jean nggak tidur. Jadi, biarkan anakmu ini tidur dulu, oke?"

"Ngapain kamu nggak tidur semalem, mejeng lagi ha?"

"Astaga Mami, mulutnya itu loh, suudzon banget," Jean menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Halah, kayak Mamimu ini nggak tau aja kelakuanmu gimana, Jeandra... Jeandra..." Nana mengalihkan pandangannya, tapi malah berganti bertatapan dengan suaminya. "What?! Lanjutin marahmu."

Kris mengembuskan napasnya kasar, ketara sekali ia lelah dengan keluarga ini. "Semalam. Maksud Papi semalam. Ngapain kamu?"

"Kan semalam Jean udah jelasin sama Papi lewat telpon? Jean yakin Opa juga udah ngasih tau Papi kan?"

"Bukan itu masalahnya Jeandra. Kamu tahu kemarin hari Minggu?"

"Jadwalnya Roseanne ke gereja?"

"Lah itu kamu paham. Kenapa nggak dilakuin?"

Jean menarik napasnya, lalu mengembuskannya lagi dengan kasar. Sengaja sekali ia menunjukkan kalau dia jengah, "Pi, Jean capek jadi boneka terus. Roseanne bisa pergi sama supirnya, kenapa harus Jean? Papi sama Opa mau Jean nikahin Roseanne padahal Jean udah bilang beribu kali kalo Jean nggak bakal bisa hidup sama dia? Jean turutin. Papi sama Opa nyuruh Jean nemenin Roseanne seminggu penuh padahal Jean nggak tau tujuan Jean nemenin dia apa? Jean turutin juga. Sekarang masalah ke gereja aja kalian sampe segininya ngeburu Jean? I'm not your fuckin 17 years old boy anymore. Kasih satu hari buat Jean bisa bebas kenapa sih?"

"Tapi dia istri kamu, Jean—"

"Istri? Yang kayak gitu Papi sebut istri? Papi yang udah paham gimana kehidupan pernikahan. Sebuah kebodohan menyebut hubungan kayak gini sebagai hubungan suami istri."

Jean terlalu muak. Dia akhirnya bangkit dari sofanya dan pilihannya jatuh pada dapurnya. Tadinya Jean berniat ke balkon untuk mengisap sebatang rokok, tapi ia ingat ada ibunya. Bisa-bisa ditatar dua kali dia di apartemennya sendiri. Maka ia memutuskan untuk meneguk jus jeruk kemasan untuk sekadar menyegarkan tenggorokkannya.

Mess UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang