CHAPTER 5

11 3 0
                                    

Sebelum matahari sempat mengintip, Sheera terbangun dengan kesadaran minim. Mendapati dirinya yang letih walau kemarin hari tidak melakukan pekerjaan yang berat. Merenggangkan tangannya, Sheera berjalan menuju jendela yang tertutup, membukanya, mempersilahkan hawa dingin di subuh hari menggerogoti hingga ke tulang-tulang. Sheera kedinginan namun tidak berniat menutup jendela di depannya. Memeluk tubuhnya yang hanya dibalut piama putih selutut, Sheera memandang langit yang masih memperlihatkan bintang subuh yang gemerlap. Pikirannya menerawang pada kejadian kemarin hari, pada apa yang menimpa pria malang itu.

Medan perang bukan baru sekali atau dua kali Sheera kunjungi. Namun ia tidak pernah menemui kematian tragis seperti yang pria itu jelaskan. Tubuh anak dan istrinya berceceran di kamar mereka. Keji. Pikirnya, kematian di medan perang adalah hal yang paling mengerikan. Namun ternyata, kematian itu tidak lebih mengerikan daripada pembantaian gila terhadap keluarga yang tidak tahu apa pun.

Menggelengkan kepala, Sheera menepis pemikirannya. Bukan itu yang harus ia pikirkan sekarang. Ia harusnya berpikir tentang bagaimana ia akan menangkap pelaku pembunuhan keji itu. Sudah cukup kemarin pikirannya melayang-layang tentang kemalangan pria itu. Cukup kemarin saja, dan hari ini ia harus bangkit memikirkan bagaimana ia bisa menepati janjinya kepada pria itu.

Membuang napas kesal, Sheera teringat posisinya saat ini. Bagaimana bisa ia melupakan hal paling penting di sini? Ia tidak dalam posisi bisa menindaklanjuti permasalahan di kota ini. Tidak masalah jika kerajaannya yang akhirnya akan memimpin kota ini. Namun bagaimana jika kerajaan lain yang terpilih? Mereka tak akan membiarkan kerajaan luar mengurus masalah dalam kerajaan mereka. Tidak semudah itu untuknya turut campur dalam penanganan masalah ini. Bagaimana bisa ia tidak memikirkan hal itu sebelumnya?

Tidak melebih-lebihkan. Sangat sensitif bagi suatu kerajaan untuk melibatkan kerajaan lain dalam menangani masalah dalam wilayah kerajaan mereka. Itu seperti pertaruhan harga diri dan nama baik. Kecuali benar-benar terdesak, tidak ada yang akan meminta bantuan dari kerajaan tetangga. Berbeda dengan hal-hal baik yang patut dibanggakan ke kerajaan lain demi menjalin kerja sama atau pun mempererat tali persahabatan, masalah seperti yang tengah mereka hadapi di kota ini hanya akan menjadi aib bagi kerajaan yang nantinya akan memimpin kota itu. Baik jika komplotan pembunuhnya segera tertangkap. Jika tidak, mereka pasti akan dipermalukan dan dianggap tidak cukup baik dalam mengatasi masalah dalam kerajaan mereka.

Sekarang ia harus bagaimana? Ia sudah terlanjur berjanji dan ia tidak bisa mengabaikannya. Hatinya berat untuk itu. Mungkin nanti ia harus bersujud memohon dilibatkan dalam penyelidikan jika kota ini jatuh ke tangan kerajaan lain.

Terlalu banyak pikiran, perutnya lapar sebelum waktu sarapan tiba. Sheera memutuskan pergi ke dapur mencari buah untuk mengisi perutnya.

Sheera mengernyit bingung mendapati sang kakak yang terduduk diam di ruang tengah, tidak bergerak sama sekali. Bahkan Sheera yakin kakaknya tidak sadar akan kehadirannya di ruangan ini.

“Kau pasti langsung terbunuh jika ini di medan perang dan kau tak menyadari ada orang di belakangmu.” Sindir Sheera sebelum mengambil tempat tepat di depan kakaknya duduk.

Belza tidak menanggapi perkataan adiknya. Ia hanya tersenyum sambil menatap sang adik. “Kau merasa lebih baik?” Tanyanya menatap lembut sang adik dengan segala pengertiannya.

“Aku tidak sakit.” Jawab Sheera acuh meski ia tahu maksud sebenarnya pertanyaan kakaknya itu.

“Sheera, kau tahu apa maksudku. Seharian kemarin kau diam memikirkan apa yang menimpa pria itu. Sebagai seorang Putri, kau harus bisa mengontrol emosimu. Aku tahu kau prihatin. Aku pun demikian. Bukan kau satu-satunya yang marah dan sedih dengan situasi itu.” Pangeran Belza menjeda memperhatikan raut wajah sang adik yang tengah mengalihkan pandangannya menatap jendela yang tertutup dengan alis menaut hendak protes namun ditahannya. Pangeran Belza mendesah lelah sebelum melanjutkan. “Kau tahu menjanjikan sesuatu hanya karena menuruti marah dan sedihmu bukanlah sesuatu yang bijak. Tidakkah kau memikirkan apa yang akan terjadi jika kota ini tidak memilih kita sebagai bagian dari mereka? Kau hanya akan memberi harapan palsu bagi pria itu. Mungkin mereka akan menemukan pelakunya. Namun kau akan berakhir sebagai pendusta baginya.” Akhirnya Pangeran Belza mengutarakan maksud utamanya.

NocteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang