KANARA 1

54 4 0
                                    

“Nara ... hamil, Pak.”

Setetes air jatuh dari ujung mata, lalu pandangan memburam seluruhnya saat kaca-kaca di mata kian menebal. Dan aku terisak dengan menekan dada yang teramat sesak.

Di tempat yang berbeda, ibu langsung tersungkur lemah mendengar hal menyakitkan sekaligus memalukan itu terlontar dari mulutku. Dengan kedua tangan menutupi, wajahnya kini dipenuhi air mata yang semakin menganak sungai seolah ingin menunjukkan betapa ia tak mampu menanggung aib semenjijikkan ini.  Sementara Bapak, duduk di kursi, mematung, tanpa air mata, tanpa kata. Pandangannya fokus pada satu arah. Namun sorot matanya tak mampu menyembunyikan perasaan sedih saat kenyataan lambat laun akan menginjak-injak harga dirinya. Harga diri seseorang yang seharusnya mampu mendidik anak gadisnya dengan baik.

Aku berjalan perlahan ke arah Bapak. Rasanya tak mampu lagi untuk sekadar berdiri tegak, kaki dan tangan terasa kebas. Dan seketika luruh ke lantai bersamaan dengan tetes-tetes air mata yang mengalir tanpa henti. Aku terisak-risak mengingat bagaimana wajah teduh Bapak harus kulumuri dengan hal memalukan akibat perbuatan hinaku.

Aku beringsut menghampiri kaki Bapak. Kupeluk kaki yang tanpa lelah berjalan demi melihatku tumbuh menjadi anak yang membanggakan itu. Kaki yang tanpa lelah bertahun-tahun mengantarku dan menjemputku sekolah, juga mencari nafkah agar aku bisa seperti teman-teman yang berkecukupan.

Semakin erat kupeluk kaki Bapak.

“Maafkan ... Maafkan Nara, Pak! Tolong Maafkan Nara,” pintaku dengan suara tersendat karena tangis yang semakin menjadi.

Hingga perasaan kian tercabik saat setetes bening jatuh begitu saja mengenai tangan. Aku mendongak, menatap mata yang semakin turun karena termakan usia itu. Namun dengan segera Bapak menyeka sisa basah di ujung matanya dengan tangan. Tangan yang menghitam dengan urat yang menonjol akibat kerasnya beban pekerjaan. Hanya demi membahagiakan aku, juga Ibu.

“Kamu harus segera menikah, Nara. Tapi Bapak berharap bukan dengan Fatan.” Ucap Bapak dengan suara berat dan menekan.

Aku terkesiap mendengarnya.

“Tapi ... Pak. Nara mencintai Kak Fatan, dan dialah Bapak dari anak yang Nara Kandung. Nara akan membicarakan hal ini lagi dengan Kak Fatan? Dia hanya meminta sedikit waktu untuk berbicara pada keluarganya.”

“Tidak ada pilihan lain, Nara. Kamu hanya perlu menerima keadaan ini. Sisanya biar Bapak yang akan selesaikan.” Kini suaranya bergetar dan kian melemah seolah bapak sedang menyalahkan diri sendiri atas dosa yang kuperbuat.

Lalu dengan siapa aku akan dinikahkan? Adakah seseorang yang benar-benar mau menerimaku yang tengah hamil ini?

Ya Tuhan ... Aku bahkan tidak mampu lagi membayangkan bagaimana hidupku ke depan.



KANARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang