Beberapa Minggu Sebelumnya
Usai jam pelajaran, sengaja aku tidak langsung pulang ke rumah. Langkahku berbelok menuju lahan kosong di samping sekolah. Aku berjalan seorang diri menuju tempat di mana aku dan Kak Fatan biasa bertemu. Di bawah pohon akasia dengan sebuah tempat duduk kayu usang di bawahnya. Tempat yang selalu menjadi saksi setiap luapan perasaan tanpa restu ini.
Diiringi suara gemeresik daun kering yang kuinjak, aku terus berjalan sambil sesekali menyapukan pandangan ke arah di mana Kak Fatan biasa muncul, tapi sayangnya tak kulihat sama sekali tanda-tanda kedatangannya.
Akhirnya aku duduk menunggu dengan menggenggam sebuah benda memanjang yang sudah kubungkus dengan amplop putih. Aku genggam erat benda itu, erat sekali, hingga kertas amplop yang tadinya rapi, kini tak berbentuk lagi.
Bagaimana caranya memberitahu semua ini pada Kak Fatan. Sementara aku tahu, saat ini dia tengah berduka.
Sepuluh menit.
Dua puluh menit. Kak Fatan belum juga muncul.
Dan tepat setengah jam menunggu. Seseorang berseragam putih abu—sama denganku— berjalan mendekat.
Seperti biasa, senyum khasnya selalu menjadi pemandangan pertama saat kami saling bertemu.
“Dah tadi nunggu?” tanyanya saat menempatkan diri duduk di sampingku.
“Baru setengah jam yang lalu.”
“Kusut banget wajahnya. Terus kenapa rambut juga ikutan lepek gini?” tanyanya sambil menyentuh puncak kepala.
“Ada PR susah?”
Aku menggeleng.
“Ada ulangan mendadak?”
Aku menggeleng lagi.
“Aku telat 2 minggu.” jawabku kemudian.
“Apa?”
“Aku hamil, Kak.”
Setetes air jatuh dari ujung mata.
“Hamil?”
“Iya.”
Wajahnya tampak pias. Ia tertunduk seketika dengan kedua tangan menutup wajah.
Cukup lama Kak Fatan menunduk. Mungkin karena syok mendengar kenyataan yang baru saja aku ungkapkan.
Hingga akhirnya ....
“Ini.”
Aku menyerahkan amplop putih di genggaman padanya.
Kak Fatan kembali mendongak. Mengambil barang yang aku ulurkan dan membukanya. Cukup lama ia memandangi benda memanjang dengan dua garis merah itu.
“Aku akan mencari waktu yang tepat untuk berbicara dengan keluargaku. Tolong beri aku waktu. Saat ini, keluarga besarku masih dalam kondisi berkabung. Papa baru dapat seminggu meninggal. Dan aku harus lulus dulu.” ucapnya lirih. Pandangannya tanpa sedikit pun beralih dari test pack yang dipegangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KANARA
RomanceTerkadang kita merasa hidup tidak pernah adil dalam menghakimi. Dengan dosa yang sama namun balasannya berbeda. Tapi percayalah, kebahagiaan, kesenangan yang diperoleh dengan jalan yang salah itu menipu. Karena pada saatnya kita pasti akan menuai pe...