Setelah berbulan-bulan siang dan malam yang melelahkan jiwa dan raganya, gadis 21 tahun itu memutuskan untuk menikmati liburan seorang diri. Mengerjakan skripsi membuat matanya yang kini terlihat tampak memiliki kantung hitam itu, terus saja menatap ke laptop setiap hari. Dipilihnya berlibur ke pantai agar matanya kembali mendapat kesegaran setelah melihat birunya air laut.
Sengaja memang ia pergi berlibur sendirian hari ini, gadis itu ingin mendapatkan ketenangan dalam kesendiriannya. Orang tuanya akan sampai ke kota ini dua hari lagi untuk ikut dalam acara wisudanya, mungkin ia akan pergi berlibur bersama mereka lagi nanti.
Audrey, sejak 23 tahun yang lalu semua orang mengenal gadis ini dengan panggilan itu. Ia duduk di salah satu pondok pinggir pantai yang memang ia sewa untuknya. Kakinya yang kini tanpa alas, dibiarkan langsung menyentuh putihnya pasir pantai. Surai kecoklatannya melambai-lambai terkena hembusan angin.
Audrey memejamkan kedua matanya kemudian menarik dalam aroma khas pantai yang mampu membawa senyum di bibirnya. Membuka kembali matanya menyapu pemandangan pinggir pantai yang sedang ramai pengunjung, inderanya menangkap sosok anak kecil yang berlarian.
Terlihat begitu polos dan tanpa beban pikiran. Berbeda dengan Audrey yang setelah kelulusannya nanti pun akan kembali pusing mencari lowongan pekerjaan yang semakin sulit didapatkan. Mengingat itu rasanya Audrey ingin kembali kecil dan berlarian seperti anak yang masih terus ditatapnya itu.
Anak perempuan yang menurut perkiraan Audrey masih belum genap berusia tiga tahun itu, tampaknya baru saja mulai bisa berlari. Terlihat dari caranya melangkah tertawa diatas pasir pantai menuju ke arah ayahnya, yang juga tersenyum bangga melihat sang putri mulai bisa berlari.
"Lucunya," komentar Audrey yang hanya bisa ia dengar sendiri.
Tunggu, tampaknya Audrey mengenali Ayah si kecil ini. Benar saja, Audrey memang tak salah mengenalinya. Itu pria tampan pertama yang berhasil membuatnya jatuh cinta, juga yang pertama membuatnya terluka karena cinta.
Pria yang karena pernikahannya, membuat Audrey menjadi gadis penuh ambisi dalam belajar, cara perempuan itu mencoba melupakan perasaannya. Kepergian Audrey meninggalkan kotanya ke kota ini bisa dibilang tak sepenuhnya hanya karena pendidikan, tapi juga sebuah bentuk pelarian dari perasaan yang belum sempat diutarakan.
Pada saat itu umur Audrey baru 17 tahun, sementara pria itu sudah hampir sampai pada usia yang ke-23. Mereka yang hidup bertetangga entah bagaimana mana akhirnya membuat Audrey jatuh rasa. Tapi jarak usia yang jelas terlihat akhirnya membuat Audrey enggan untuk mengungkapkannya.
Sejak kecil keduanya memang terlihat akrab, apa lagi pria itu yang memang terlahir sebagai anak tunggal yang akhirnya menganggap Audrey sebagai adiknya. Mungkin kedekatan itu pula yang akhirnya membangun rasa Audrey pada pria itu.
Hingga ketika Audrey merasa benar-benar telah jatuh cinta pada pria itu, ia malah harus mendengar jika cinta pertamanya itu telah menemukan sang perempuan idaman.
"Kamu udah siapin kado buat, kakak?" tanya pria itu suatu sore.
Audrey terlihat bingung. "Buat apa? Ulang tahun kakak 'kan udah lewat."
Pria itu tersenyum. "Kado buat pernikahan kakak. Nabung dari sekarang yah, masih ada waktu tiga bulan kok."
"Kakak mau nikah?" Audrey menatap pria itu tak percaya, mengabaikan candaan sang pria yang memintanya menabung demi sebuah kado untuknya.
"Kok sedih gitu sih? Setelah kakak nikah kamu tetap bakal jadi adik kesayangannya kakak, kok."
Tetap saja patah hati Audrey tak akan sembuh karena perkataan seperti itu, apa lagi sudah sejak lama pun ia memang tak ingin sekedar dianggap adik.
Tak mau menunggu sampai tiga bulan, selesai dengan ujian akhirnya Audrey langsung pergi meninggalkan kota itu bahkan tanpa berpamitan pada sang sumber patah hatinya. Melanjutkan pendidikan di luar kota ini, sekaligus mengobati rasa patah hatinya.
Orang tua Audrey pun heran kenapa ia meminta pergi dari rumah lebih awal padahal masih lama masa perkuliahannya dimulai. "Mau kenalan sama kota-nya dulu, supaya setelah masuk kuliah gak bingung lagi di kota baru" alasan Audrey saat ditanya orang tuanya.
Akhirnya, orang tuanya mengizinkan saja karena disana pun Andrey akan tinggal bersama Bibinya.
Audrey bahkan memilih untuk tidak datang pada pesta pernikahan pria itu, kado yang diminta pun ia titipkan ke ibunya. Bahkan ketika masa kuliahnya, Audrey pun jarang sekali pulang kerumah. Mungkin jika rindu, orang tuanya lah yang datang ke rumah sang bibi.
Menurut informasi dari ibunya, awal ia pergi sebelum pernikahan pria itu sering bertanya perihal Audrey yang pergi tanpa pamit padanya, terasa aneh mengingat tentang kedekatan mereka selama ini. Atas permintaan Audrey pula, ibunya terpaksa menutupi segala informasi tentang dirinya dari pria itu.
Semua hal gadis itu lakukan demi benar-benar bisa mengikis perasaan indahnya pada pria itu.
Tapi nyatanya melihat pria ini lagi, membuat Audrey sadar jika empat tahun terakhir masih belum berhasil mengubah angannya untuk melupakan pria itu menjadi sebuah nyata. Ambisinya dalam belajar ia tujukan untuk membuatnya lupa tentang perih hati akibat luka yang pernah ia rasa. Disitulah letak kesalahannya, cara seperti itu hanya akan membuat dirinya lupa sementara.
Dan saat ini, rasa Audrey untuk memiliki pria itu kembali menggebu-gebu. Audrey yang sekarang jelas berbeda dengan dirinya empat tahun lalu, kini ia menjadi gadis cerdas dengan banyak pikiran hebat. Maka jika ia memperjuangkan perasaannya sekarang, peluangnya juga akan lebih besar.
Seharusnya ia memang tak perlu berharap, karena secepat mungkin harapan itu seketika patah. Sejak tadi nyatanya ia tak menyadari wanita cantik di sebelah pria itu ikut tertawa bahagia melihat keceriaan putri mereka. Perih hati Audrey kembali terasa, melihat pria yang masih menjadi idamannya mencium kening sang istri setelah sebelumnya mencium pipi putrinya yang kini sudah dalam dekapan pria itu. Tapi jelas Audrey tak punya hak terluka diatas bahagianya keluarga kecil ini.
Audrey menarik nafasnya dalam kemudian menghembuskannya perlahan, berharap salah satu ikatan tak kasat mata yang membuatnya mendadak sesak bisa sedikit melonggar. Kini ia harus kembali mulai memikirkan cara untuk melupakan pria itu tanpa harus gagal lagi.
Dulu saja ketika pria itu masih sendiri, ia tak mampu mendapatkan hatinya. Lalu apa yang membuat Audrey berfikir bisa merebut hati itu dari seorang yang sang pria amat cintai? Tidak ada, harapannya kini sah habis tak bersisa.
Audrey bangkit dari duduknya, kemudian kembali memakai alas kaki yang tadi sempat ia lepaskan. Sama seperti empat tahun lalu, sekarang pun Audrey memilih untuk pergi.
-End-
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Tentang Dia
ContoAudrey pikir ia sudah bisa melupakannya, tapi takdir yang lucu malah membuatnya kembali menatap pria itu, sehingga ia sadar jika ternyata perasannya masih sama. Dibuat untuk Flash Holiday Contest