II. PAKET LENGKAP.

21 5 0
                                    

Writer POV.

Tak ada yang khusus atau spesial setelah kejadian kemarin, Keano dan Beni tetap berjualan sampai hari ini. Kalula pun sudah tiga hari belum mampir lagi untuk makan nasi ayam jualan Ano.

"Ya, hanya kebetulan." Ucap Ano dalam hati.

Tapi agaknya Beni mulai menyadari ihwal Keano yang sering melamun tanpa sebab—kurang fokus. Alasannya; udaranya panas, sulit fokus jadinya.

Padahal yang berputar di kepala Ano hanya Kalula. Aneh bin ajaib.

"No, orang kayak kita boleh ngarep punya cewek kayak Lula, tapi nggak boleh beneran jadian. Buat kencan pertama aje biaya udah mahal banget, kasian ceweknya." Petuah dari Beni akan selalu Keano ingat. Orang itu agak miring otaknya tapi sekalinya serius, mirip dukun pintar tiba-tiba.

"Ben."

"Ape No, lo aus?" Beni membalas panggilan Ano, sambil mengipasi dirinya pakai kardus bekas—kakinya mengangkang naik di atas meja. "Memang nggak pernah ada adabnya anak ini."

"Enggak, kamu pernah suka sama orang?" Tanya Ano hati-hati.

"Pernah lah, tapi kayak yang gue bilang. Belum layak No buat gue pacaran. Keadaan secara finansial belum stabil gimana mau cinta-cintaan. Mending liatin cewek cantik aja mata udah seger." Keano menggelengkan kepala, lalu refleks mengambil segelas teh tawar dingin—menenggaknya dengan cepat sampai habis.

Kebiasaan Keano jika gugup; minum sebanyak mungkin.

"Kenapa nanya? Akhirnya lo pengen ngerasain pacaran, No?" Kelakar Beni ditolak mentah-mentah dengan Keano, ia sedang tak tertarik bermain-main dengan bocah tengil itu.

"Enggak, cuma nanya. Mau tau rasanya jatuh cinta gimana."

Beni lalu diam, ia mengeluarkan ponselnya—mengetuk sesuatu, jemarinya menari di atas layar itu. Menggulir galeri foto lalu menunjukkan satu foto usang kepada Ano.

"Coba liat nih." Ano mengambil ponsel Beni, memperbesar foto perempuan yang ada di sebelah Beni.

" Ano mengambil ponsel Beni, memperbesar foto perempuan yang ada di sebelah Beni

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ini siapa?"

"Dia cantik, ini mantan lama apa pacar baru?"

Beni menggeleng, "ini temen gue dulu pas SMA, kita satu komplek pas di jakarta."

"Gue sempet suka sama dia, No. Paket lengkap lucu, manis, baik hati, sabar, dan lain-lain semua ada di dia." Lanjut Beni, dwimaniknya mengarah pada segelas kopi di meja, sembari mengaduk-ngaduk pelan ampas yang mengendap.

"Bahkan tau gue bukan orang kaya, dia masih mau."

Ano mulai tertarik, dagunya ditopang lalu wajahnya mendekat kepada Beni.

"Ada kelanjutannya?"

"Nggak ada lah, gue pindah ke Bandung nggak bilang sama dia. Nembak aja nggak pernah walaupun gue sadar dia nungguin banget, soalnya ya keadaan gue kurang banget buat dia, lo mau ngasih makan anak orang bakso tiap kencan, enggak kan?"

Ano mendecih pelan, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling—memastikan tak ada pengunjung sebelum atensinya kembali kepada Beni.

"Kasian anak cewek digituin, padahal aku kira kalian jadian. Tau-taunya ombang-ambing aja. Apa itu bahasa kerennya, ha te es, hubungan tanpa status." Gelak tawa Beni mulai menggelegar, satu kuasanya menggebrak meja dengan ringan, hanya sekadar kelakar.

"Gue insecure anjrit, nggak sanggup. Tiap liat cowok lain bisa biayain ceweknya jalan ke mall gitu makan enak, terus main ke timezone, malemnya nonton di bioskop. Sedangkan gue cuma bisa ajak dia ke angkringan, makan nasi kucing, terus jalan-jalan di alun-alun tanpa arah sambil gandengan tangan." Jelas Beni.

"Bahkan ada yang pernah ngatain, dia nggak pantes sama gue. Ya bener sih, tapi seneng selalu dibela pas ada yang gituin." Lanjutnya.

"Tapi aku pernah baca novel, katanya cewek seneng juga digituin?" Keano dengan polosnya bertanya.

"Ih banyak atuhlah, novel-novel. Cuma ini kan kehidupan realita bukan bacaan, masa mau ngidupin pasangan pake cinta doang, gue nanya gimana kelanjutannya. Pegang tanganku, bersama jatuh miskin kalo kata Raissa."

"Lah, enggak gitu liriknya!" Keano ketawa, Beni pun juga. Bedanya tertawa mereka kali ini lebih menyuarakan mirisnya hidup.

"Tapi, tadi lo nanya kan jatuh cinta gimana rasanya?"

"Enak No, ibarat dibawa ke langit ke tujuh. Tapi hati-hati soalnya lo bakal ketemu sama sisi dari dalam diri lo yang lo sendiri nggak tahu kalau itu pernah ada."

"Rasanya, nano-nano gue susah jelasin deh. Emang lo lagi suka sama siapa?" Keano tersedak, batuk-batuk akibat pertanyaan Beni.

"EHHH, pelan-pelan dah minumnya. Santai." Cecar Beni kemudian.

Tak terasa memang kalau sudah mulai curhat, curahan dari hati ke hati. Tadinya masih jam sebelas siang, sekarang sudah hampir setengah satu siang.

"No, ada yang beli tuh. Gih dulu." Beni mengusir Keano dari kursinya, tampaknya dua pelanggan wanita sudah lapar menginginkan nasi ayam milik Keano siang ini.

"Sambelnya dipisah buk?" Inilah keseharian Keano, jika diberi izin oleh Yang Maha Kuasa untuk menuntut ilmu, pasti saat ini Keano tengah duduk manis mendengarkan dosen di dalam kelas sastra bahasa Indonesia.

Iya, betul Keano suka sekali dengan hal-hal berbau sastra. Sungguh acak bukan?

Jika anak-anak seumurannya bermain games, berjalan-jalan santai ke negeri tetangga, atau mencari cewek cantik, Keano senang membaca apapun yang berkaitan dengan sejarah dan sastra sepanjang hari, ia tak akan keberatan jika diminta begitu, nyatanya ia sering kekurangan waktu untuk belajar karena rutinitasnya.

Sampai-sampai tak menyadari sudah ada Kalula untuk yang kedua kalinya, berdiri tepat di hadapan Keano—mendekap tumpukan buku dan kanvas untuk sketsa, keliatannya besar dan berat.

"Kak No, aku balik lagi! Kemarin belum selesai ngobrol kan!" Kalula menghampiri Keano dengan senyuman merekah—pipinya mengembang seperti bakpao dengan gigi putihnya terlihat rapi berderet. Sedangkan Ano, melihat tak percaya.

"Kamu ngapain disini?" Tanya Ano, sorot bingung di mata Keano terlihat amat jelas.

"Mau ketemu kakak! Apalagi memang?" Balas Kalula riang.

Keduanya merekah tersenyum, wajahnya berseri pula cerah, mereka hanya saling tatap, yang jelas sama-sama senang karena perasaan sekian lama tak bertemu kini terpatri di hati masing-masing insan.

Paket lengkap itu Kalula, tepat di depan mata Keano.

Kapal MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang