I. KEANO JUALAN NASI AYAM.

31 6 0
                                    

Institut Teknologi Bandung, Agustus.
Keano PoV.

"Kalula Akasia, namanya."

"Nama beneran itu, kok aneh?" Balas aku bingung sebab kedengarannya seperti nama perempuan di novel.

"Ih ngaco lo, No! Namanya aja cantik gitu, nanti pas liat orangnya auto pangling, gue jamin! Di Instagram cantik banget, euy!"

Di sebelahku itu, yang barusan namanya Beni. Orang Jakarta asalnya, kita sama-sama jualan disini udah lama, tapi Beni jualan bakso sedangkan aku nasi ayam, dia memang nggak terbiasa pakai bahasa sunda, makanya dia pakai 'gue-lo'.

Beni ini nggak berhenti ngomongin Kalula dari tadi. Aku sampai penasaran dia itu siapa lantaran hampir seluruh laki-laki di sekitar kampus hanya membicarakan nama Kalula dalam bisik-bisik mereka.

Apalagi ini sudah semester tujuh, mereka masih sempat saja membicarakan perempuan. Sedangkan yang aku pikirkan hanya jualan dan cepat-cepat laku.

Kalula, mahasiswi baru di fakultas seni rupa desain.

Katanya, dia ambil jurusan seni rupa murni. Pasti pintar melukis, batinku.

Semakin ramai saja disini, dominan laki-lakinya dan beberapa penjual makanan yang penasaran. Makin berdesak-desak, aku memutuskan untuk kembali saja sebab aku kan tidak disini untuk menanti Kalula.

Untuk apa? Batinku berbicara lagi.

Aku berbalik, baru saja hendak berjalan. Lalu di sampingku sudah ada satu wanita jelita yang melewatiku sambil melempar senyum simpul, entah aku sama sekali tak bisa membaca arti senyumnya. Aku rasa ia memang ramah saja.

Hanya sekilas sebelum ia kembali berjalan, bersamaan dengan banyak laki-laki yang mengekor di belakangnya.

Tapi senyumnya memang cantik.

Aku terpaku disana, hanya diam. Aku mengamati raga Kalula yang perlahan menjauh. Bak manusia bodoh yang hanya bengong di tengah jalan.

"Hai? Halo halo Bang nasi ayamnya satu dong?"

"Euy sadar weh!" Beni menepuk tangan pas di depan wajahku. Aku langsung geleng-geleng kepala dengan cepat lalu kembali melayani pembeli yang ingin mencicipi nasi ayam jualanku.

Ya, ini keseharianku.
Tentang Kalula, kurasa hanya akan menjadi angin lalu sama seperti perempuan hits lainnya yang setiap hari lalu lalang di gerbang kampus.

---

Gila.

Agaknya menjadi salah satu kata paling tepat yang bisa aku berikan kepada mahasiswa maupun para penjual dagangan yang memang ada di kampus ini.

Bahkan dari awal masa ospek, mereka berusaha mencari dengan susah payah dan menghafal jadwal SKS yang diambil oleh perempuan itu. Tentunya demi menemui dia secara langsung.

Jujur saja, secara tidak langsung sudah seperti penguntit.

Usut punya usut, aku dengar dari Beni, Kalula sulit diajak berbicara.

Bukan haha, maksud Beni bukan penyandang disabilitas, Kalula ternyata wanita yang cukup pemalu.

Aku kerap kali memikirkan bagaimana Kalula menjalani hari yang begitu berat dengan banyak penguntit lelaki mengikutinya kemanapun ia beranjak pergi. Pasti sangat menyulitkan.

Tapi, bukan urusanku. Saling mengenal saja tidak.

Sampai pada siang ini juga aku bertemu secara langsung dengannya, masih terasa absurd rasanya.

"Bang, mau nasi ayamnya satu ya!" Titah Kalula kepadaku.

"Bang?" Ulang Kalula kedua kali, melamun di siang hari memang menyenangkan sampai aku tersentak dengan kedatangannya di depan ku.

"Eh maaf neng, sebentar ya..." aku refleks mengucap panggilan 'neng' kepada Kalula. Terdengar sangat salah sebagai langkah pertama, kedengarannya seperti lelaki mesum yang hendak menggoda.

"Tapi...langkah pertama apa? aneh kamu, No." Kepala ku memulai perdebatan yang tidak perlu, lagi.

"Semua berapa, ya?" Kalula lalu bersua lagi.

"15 ribu aja." Jawabku.

Kalula terkejut bukan main, dapat aku lihat dari wajahnya ia terkejut. Memang harga yang dipatok untuk pedagang di sekitar sini termasuk murah.

"Hah, 15 ribu beneran? Apa nggak salah harga, pak?"

Ah sekarang dia memanggil aku 'pak' padahal kan tidak setua itu.

"Nggak kok, memang segini La." Jawabku seadanya.

"Begini, saya soalnya dengar dari kawan katanya nasi ayamnya disini paling enak. Tapi betulan nggak nyangka sama harganya..."

"Karena yang jajan mahasiswa sama mahasiswi di sekitar sini, makanya kebanyakan terjangkau buat kantong pelajar, neng." Bagai percakapan biasa antara pedagang dan pembeli sayur di pagi hari, ini yang sedang aku lakukan juga dengan Kalula.

"Lula aja, bapak namanya siapa?" Aku tiba-tiba tertawa agak kencang, lalu dengan cepat berhenti sebelum Kalula semakin bingung.

"Hahaha! Jangan pakai bapak, La. saya cuma beda 2 tahun kok. Nama saya Keano, dipanggil Ano juga noleh."

Lagi-lagi raut wajah Kalula menunjukan wajah 'itu' lagi. Ekspresi terkejut yang membuat bola matanya membesar dan mulutnya setengah terbuka. Menggemaskan.

"Eh? Gila kamu Ano. Menggemaskan dari mana? Dia kan memang sudah cantik." Ucapku, menyadarkan diri secepatnya.

"Kakak, kalau cuma beda 2 tahun kok nggak kuliah?" Aku menggeleng cepat sembari menyuwir ayam di atas nasi, lalu menambahkan bumbu; menyerahkan sekotak sterofoam itu kepada Kalula yang tengah terduduk manis di depan meja gerobak milikku.

"Ini gantiin jualan bapak La, soalnya dia lagi sakit jadi saya nggak kuliah dulu. Berat biayanya nggak cukup haha." Aku masih merasa bingung sebenarnya mengapa bisa bercerita secepat ini ditambah merasa nyaman dengan Kalula, pribadinya yang tenang mungkin membuatku luluh.

"Kakak, mau ku—" Ucapan Kalula terpotong tatkala mendengar teriakan kawannya dari ujung gerbang, meminta gadis itu untuk berlari cepat sebab sebentar lagi jadwal kelasnya akan dimulai, sepertinya.

"Aduh! Maaf saya duluan ya. Ini ada lebih lima ribu buat kakak aja, dah!" Kalula berlari tergopoh-gopoh masuk ke dalam.

Sedangkan aku masih mencerna seluruh percakapan singkat kami yang terjadi pada hari ini dan masih berasa tidak nyata; dengan selembar uang dua puluh ribu masih ada di genggaman tanganku.

"Dah, La." Bisikku pelan, membalas ucapan Kalula yang ia beri kepadaku 1 menit yang lalu.

"Eh Ano, dadah dadah ke siapa lo? Demit?" Suara menggelegar milik Beni langsung menyapa pendengaranku. Dengan cepat aku tertawa renyah saja sembari menggeleng.

"Enggak Ben, cuma ngelamun aja."

To be continue.

Kapal MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang