21. uks sore itu

19 2 6
                                    

ini merupakan hari kedua setelah sucrose memutuskan untuk tidak berinteraksi dengan albedo. setelah bernyanyi, atau...lebih tepatnya berteriak di sesi karaoke kemarin, dada sucrose memang terasa lebih lapang. namun kini ia malah merasa bimbang untuk menyapa albedo. albedo masih belum memberi jawaban yang ia nantikan, apakah sucrose harus berpura-pura baik-baik saja dengan kenyataan itu?

sudah dua hari pula, albedo menguasai segala sudut pikiran sucrose, tanpa sepengetahuannya. sucrose memikirkan segala kemungkinan yang dapat terjadi setelah mereka pulang dari taman bermain kemarin. terkadang itu membuat sucrose tidak nafsu makan, dan banyak melamun. apakah langkah yang ia pikir tepat itu ternyata salah? apakah sebenarnya albedo tidak memiliki perasaan yang sama? 

sucrose berusaha mengusir pikiran-pikiran itu, namun itu tidak semudah yang ia kira.

hari ini lagi-lagi ia habiskan untuk lari dari albedo. entah lari dari tatapannya atau lari dari kedatangannya. sucrose takut. takut mendengar sesuatu yang tidak ingin ia dengar, walau telah ia tunggu-tunggu. sungguh dilema yang tidak berkesudahan.

pulang sekolah kali ini, sucrose tidak bisa kabur dari albedo dengan menyelipkan tubuh kecilnya di antara teman-temannya yang mengajaknya ke tempat karaoke seperti yang ia lakukan kemarin. maka ia merapikan barang-barangnya, memasukannya ke dalam tas sebelum bel pulang berbunyi. ia ingin secepat mungkin lari, enggan memberikan celah untuk albedo mengajaknya bicara. karena kemarin, albedo sempat memanggilnya sebelum akhirnya sucrose menggandeng tangan barbara dan amber keluar dari kelas secepat mungkin.

kriiing! kriiing! kriiing!


dan akhirnya bel sekolah berbunyi tiga kali, menandakan kegiatan belajar mengajar untuk hari ini sudah selesai. bu jean yang mengajar jam pelajaran terakhir pun menutup mata pelajarannya dengan salam, lalu pergi meninggalkan kelas. begitu beliau keluar, dengan gerakan secepat kilat, sucrose menyandang ranselnya.

namun sepertinya gerakan sucrose sudah terbaca oleh albedo, begitu perempuan berambut mint itu berjalan buru-buru keluar kelas, albedo langsung mengejarnya.

"sucrose!"panggil albedo, ia pun mengejar si pemilik nama, menuruni tangga sekolah yang dipadati murid-murid, memusatkan matanya pada sucrose yang entah bagaimana bisa berlari secepat itu.

sucrose semakin panik ketika sadar albedo mengejarnya. ia tidak tahu mengapa refleksnya menyuruhnya untuk berlari saja. ia terus berlari, tidak memedulikan sekitarnya. hingga akhirnya ia salah memperkirakan susunan anak tangga, dan terperosok begitu saja.

melihat sucrose yang terjatuh, albedo mempercepat langkahnya. sebelum orang-orang yang lewat dapat membantu sucrose untuk berdiri, albedo berjongkok di samping gadis itu.

albedo memegangi bahu sucrose. "kamu gapapa?"tanya albedo dengan nafas yang memburu.

sucrose mengatur nafasnya yang sesak setelah berlarian menuruni tangga. ia menunduk, malu dilihat orang-orang yang berlalu lalang. lututnya terluka dan terasa berdenyut-denyut.

"g-gapapa,"jawabnya pelan. ia pun mencoba untuk bangkit sendiri dengan susah payah, lalu kehilangan keseimbangan.

albedo menangkap sucrose yang hampir ambruk. ia selalu saja menahan diri, mengatakan dirinya baik-baik saja padahal jelas-jelas membutuhkan bantuan. albedo melingkarkan satu tangannya di bahu sucrose, menjaganya agar tidak jatuh. perlahan-lahan sucrose bangkit, dan berjalan dengan bantuan albedo.

keluar dari jejak rombongan murid-murid yang bergerak ke arah gerbang sekolah, mereka berdua berjalan di koridor sepi yang mengarah ke uks. tangan kiri albedo merangkul bahu sucrose, dan tangan kanannya memegangi lengan sucrose. perlahan-lahan ia berjalan, menyeimbangi langkah kaki sucrose.

di sebelahnya, sucrose menjerit-jerit dalam hati. posisi mereka terlalu dekat! ia bahkan menjadi lupa akan rasa sakit di kakinya.

mereka berdua sampai di uks yang kosong. penjaga yang bertugas hari ini sepertinya sudah pulang, karena jam jaga mereka juga sudah selesai. albedo membantu sucrose untuk duduk di pinggir ranjang uks.

"kayaknya yang jaga udah pulang,"albedo melihat ke arah papan jadwal penjaga uks. ada centang kecil di sebelah nama penjaga yang bertugas hari ini. itu artinya mereka sudah selesai melaksanakan tugasnya.

albedo membuka kotak p3k yang tergantung di dinding, mengambil kapas, antiseptik dan pembalut luka. lalu ia mencuci tangannya di wastafel.

"saya bantu obatin ya?"tanya albedo.

"i-iya kak,"jawab sucrose, dengan wajah yang masih menunduk, tidak berani menatap albedo di hadapannya.

albedo menarik sebuah kursi ke hadapan sucrose yang duduk di tepi ranjang. posisi kursi yang lebih pendek dari tinggi ranjang terlihat pas bagi albedo untuk duduk dan mengobati luka di lutut sucrose.

"bisa diangkat sedikit gak roknya?"

sucrose menarik sedikit roknya yang menutupi lutut, sesuai apa yang dipinta albedo.

"maaf ya,"albedo dengan cekatan membersihkan luka sucrose dengan kapas dan antiseptik. sucrose mencengkram ujung roknya, menahan perih ketika cairan beralkohol itu membasuh lukanya.

albedo sebisa mungkin untuk cepat-cepat mengeringkan luka tersebut dan menempelkan pembalut luka di atasnya. ia terlihat sangat fokus.

"udah,"albedo pun menarik tubuhnya yang tadinya condong ke arah sucrose. ia pun berdiri untuk meletakkan peralatan yang ia pinjam kembali ke tempatnya. "masih sakit gak?"tanya albedo.

"umm, sedikit,"jawab sucrose. lututnya masih terasa berdenyut-denyut.

"lagian kamu ngeliat saya kayak ngeliat setan aja, sucrose. sampai lari gitu,"omel albedo.

"m-maaf kak,"ucap sucrose gugup. ia tidak tahu harus menjawab apa, karena faktanya memang benar. dari kemarin, ia terus menghindari albedo.

albedo kembali duduk di kursi, berhadapan dengan sucrose. walau gadis itu tidak menatap ke arahnya. ia pun akhirnya menatap ke arah pintu uks yang terbuka. menghadirkan celah untuk melihat lapangan luas nan kosong di luar.

"soal pertanyaanmu yang kemarin..."

perkataan albedo barusan membuat udara uks yang terkenal sebagai ruangan paling sejuk di seantero sekolah, menjadi amat panas, setidaknya bagi sucrose. degupan jantungnya kini di luar batas normal. ia mencengkram ujung roknya dengan kedua jari, dan menggigit bibirnya tanda gugup.

ini jawaban yang sudah ia tunggu-tunggu, walaupun hati kecilnya menjerit tidak siap untuk mendengarnya.

di hadapannya, tenggorokan albedo terasa berat. biasanya tidak pernah sesulit ini baginya untuk bicara. ia menelan ludah. masih melihat ke arah pintu uks yang terbuka. tidak menatap satu sama lain.

"maaf...saya gak tau jawaban apa yang harus saya kasih."

ada gulungan ombak yang menghantam kuat karang hati sucrose, menghancurkannya, dan membiarkannya tenggelam. apa yang albedo katakan, berhasil mematahkan hatinya berkeping-keping.

"udah dua hari ini saya mikirin, tapi tujuan saya saat ini adalah untuk lulus dan kuliah. masalah percintaan...mungkin belum waktunya."

cengkraman kuat di ujung roknya pun perlahan mengendur. sucrose menatap ujung sepatunya, dadanya terasa sesak, seperti ada palu besar yang menghantam dadanya berkali-kali.

"maaf, dan makasih, selama ini udah jadi teman yang baik untuk saya."

dan hingga akhir perkataannya, mereka tidak mampu menatap satu sama lain. sucrose menatap ujung sepatunya. albedo menatap ke luar lapangan yang kosong.

sucrose menahan isak tangisnya. ia tidak ingin terlihat cengeng. tidak ingin menangis di hadapan albedo. namun apa daya, tetes demi tetes air mata turun begitu saja, tidak mampu ia tahan. ia menyeka air matanya, yang lama-lama semakin deras. sucrose menelungkupkan wajahnya, lalu sebisa mungkin menahan suara tangisnya.

dalam hati kecilnya, sucrose sudah menemukan jawabannya sebelum albedo sempat mengatakannya. jika butuh waktu selama itu untuk memberinya jawaban, pastilah sejak awal ia tidak pernah yakin akan perasaannya. jika keadaannya dibalik, seandainya albedo yang mengatakan suka padanya, pastilah tidak butuh waktu barang lima menit bagi sucrose untuk menjawabnya. pasti ia akan katakan dirinya menyukai albedo sama seperti albedo menyukainya, atau mungkin lebih darinya, dan tidak ada sama sekali keraguan dalam hatinya.

dan apa yang ia yakini benar itu, rupanya betul-betul terjadi. albedo tidak membalas perasaannya. albedo tidak merasakan apa yang sucrose rasakan terhadapnya. perasaan suka yang meletup-letup. kebahagiaan kecil yang ia dapat di setiap pagi, saat ia melihat albedo yang mengeluarkan sepedanya dari garasi. sengatan listrik kecil ketika mereka duduk berdua, melaksanakan tugas sebagai ketua dan wakil ketua kelas. atau perasaan tentram ketika mereka berdua menyusuri indahnya suasana pulang sekolah di sore hari.

albedo tidak merasakan hal yang sama.

mungkin baginya sucrose hanya seorang teman dekat, atau seseorang yang ia anggap seperti keluarga. mungkin caranya memperlakukan sucrose bukanlah sesuatu yang spesial, namun ia memang bersikap seperti seharusnya.

albedo tidak dapat mengalihkan pandangannya ke arah sucrose. mendengar isak tangisnya saja sudah membuatnya getir. rasanya ia orang paling jahat seantero dunia saat ini. membuat seseorang yang ia tahu hatinya sangat lembut terisak sedih.

lagipula untuk apa albedo menyaksikannya menangis? ia juga tidak sanggup menghiburnya, mengetahui ialah penyebab dari tangisnya.

akhirnya albedo hanya diam, menunggu tangis sucrose mereda. sucrose menyeka air matanya yang memerah dan juga hidungnya.

"a..ayo pulang."ucap sucrose pelan. barulah saat itu albedo menoleh ke arah sucrose. matanya sembab, dan hidungnya merah. ia masih tidak mau menatap mata albedo. khawatir air matanya akan turun lagi.

"ayo,"albedo bangkit dari duduknya, membantu sucrose turun dari ranjang pelan-pelan. ia merangkul bahu sucrose lagi, membantunya berjalan.

sucrose menyingkirkan tangan albedo yang memegangnya secara halus. "g-gapapa, aku bisa sendiri kok,"

sucrose melangkah dengan pelan, lututnya masih terasa perih. albedo terpaku di tempatnya berdiri, memerhatikan sucrose yang melangkah dengan susah payah.

tidak pernah sekali pun sucrose benar-benar menolak bantuan albedo. namun mulai saat ini, mungkin sucrose akan membiasakan diri untuk melaju sendiri, tanpa bantuannya lagi.

futari nori no jitensha - alberoseWhere stories live. Discover now