indahnya kala sore itu membuat udara terasa sangat dingin meresap sampai ke dalam kulit mengikis tiap sela pori-pori dan menusuk hingga ke tulang. dingin dan hampa, iya itu yang ia rasakan, puluhan menit telah berlalu tanpa terasa jam sudah menunjukan pukul 2 pagi. bukan tidak mengantuk, memang dirinya raganya bahkan otaknya tidak berniat barang memejamkan mata walau sebentar saja, dirinya terjaga sepanjang malam, hanya memikirkan satu hal. apa yang harus ia lakukan tengan tumpukan buku bahasa prancis ini?
kini otaknya selalu memutar ulang perkataan seseorang yang hampir 23 tahun bersamanya, mungkin pembicaraan saat itu sangat membekas di memorinya, dan mungkin juga itu adalah alasannya terjaga semalaman.
"kamu di terima kuliah di paris, bunda harap kamu tidak mengecewakan bunda," setelahnya hanya ada anggukan kecil pria berbadan besar yang memiliki mata sangat tajam, membuatnya terlihat seperti seorang serigala. namun kali ini tatapannya hampa, kosong, dan sangat sayu, bagai pria yang baru saja di tinggal sang kekasih, sosok dirinya sangat terlihat abu-abu tidak pasti dan tidak dapat di prediksi suasana hatinya.
"turuti perkataan bunda, kamu akan bahagia abiraka," sang lawan bicara bangkit dari meja makan tanpa menghabiskan makanannya. sang ibunda lalu menyadari makananya utuh tidak di sentuh sama sekali oleh anak sematawayangnya.
...
kadang kala dunia sering kali bersikap tidak adil baginya, namun ia sadar bahwa bumi, langit, dan tuhan telah menyiapkan sesuatu yang indah di depan sana, iya memamg kehidupan menyiman banyak teka teki dan itu tantangan untuk masing-masing manusia menjalaninya, mampu atau tidak?
seperti biasa, dirinya selalu tertidur di atas meja belajarnya yang cukup besar, lebih tepatnya ketiduran saat setelah ia selesai berdebat dengan hati dan pikirannya.
jendela sudah terbuka lebar, di buka oleh seseorang yang ia hapal betul perawakannya meski matanya hanya menangkap samar-samar bayangan di samping jendela.
"den... den abi, bangun den, nyonya sudah menunggu di bawah untuk makan siang."
"sampaikan aku ingin tidur..." belum sempat melanjutkan perkataannya....
"lagi-lagi jam tidurmu tidak teratur, kau paham abiraka jika itu mempengaruhi sistem otakmu? bagaimana jika hal itu membuat studymu terganggu? bagaimana jika beasiswa kamu ke paris tercabut?"
"bun bisa berhenti berbicara hal tidak penting? apa pun yang bunda minta saya turutin tidak pernah sekali pun gagal, masih meragukan saya sebagai anak mu? perintah dari A-Z selalu saya buktikan dengan keberhasilan saya sampai detik ini dan berhasil meraih beasiswa di paris, apa lagi mau bunda sekarang? saya cuma ingin beristirahat lebih sebelum nempersiapkan diri saya untuk study di paris." abiraka berbicara penuh penekanan dan sesekali menghela nafas lelah, sudah berapa kali sang bunda bersikap seperti ini padanya, tidak ada berhentinya bahkan segala perintah yang menyulitkan diri abiraka selalu ia lakukan demi ibundanya.
hening, carloina hanya menggelengkan kepala mendengar setiap ucapan abiraka, dalam hatinya hanya berucap ini demi kepentingan anaknya, demi masa depan anaknya dan demi kebahagiaan abiraka tentunya.
"oke. bi nanti antar makanan ke kamar biraka sekitar jam 3 sore saja, biarkan dia tidur sejenak."
...
paris adalah sebuah kota indah yang semasa kecil membuat abiraka takjub melihatnya, terlebih lagi yang menjadi sorotan indahnya adalah sebuah pemandangan menara tinggi yang sering kali ia lihat di sebuah buku bergambar. ayahnya melihat bertapa takjub nya abiraka melihat menara itu, dan dengan senang hati, sang ayah memberi tahu apa nama menara itu. menara eiffel.
penat karena banyak tes ia lalui hanya demi mendapatkan kampus terbaik di paris, membuat abiraka pun harus memperdalam bahasa prancis, memang dari kecil ia sudah bisa bebahasa prancis sedikit-demi sedikit. namun agar mempermudah ia belajar di paris maka abiraka harus mempelajari lebih dalam bahasa prancis.
"bunda telah siapkan semuanya, untuk saat ini kamu langsung berangkat ke sana untuk belajar bahasa prancis dengan salah satu kenalan bunda. tentu kamu hanya tinggal bawa badan dan bertemu di bandara dengan teman bunda bernama anna." abiraka hanya diam sambil menikmati secangkir teh, tak ada yang berubah dari raut wajahnya, tetap sama seperti biasa, bisa di bilang abiraka terlihat tidak memiliki emosi dari mimik wajahnya, datar, serius, dan matanya tajam. mungkin siapa pun yang melihat manik mata kecoklatannya saat menatap, akan sedikit takut akan pria itu.
"belajar bahasa prancis, jelas saya sendiri mampu belajar tanpa bantuan turtor mana pun, mengapa harus mempercepat penjadwalan saya pergi ke sana?"
"bunda hanya mau ada yang memantau kamu belajar, agar tidak kecolongan seperti kemarin, jam tidur tidak teratur, vitamin pun tidak kamu minum, semua hal itu membuat kamu semakin membangkang dengan semua perkataan bunda! karena sistem kerja otakmu semakin susah terkontrol, kamu mau seperti ayahmu abiraka dzanuar?!" mendengar hal itu biraka hanya beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju kamarnya.
"mau kemana kamu?! bunda belum selesai berbicara!"
"kemana? tentu mempersiapkan segala keperluan saya untuk menuruti perkataan ibunda ratu, menurut saya membahas hal tidak penting hanya membuang waktu tenang saya..." ia kembali berjalan sebelum akhirnya berhenti sejenak dan kembali membalikan badan.
"dan jangan tanya saya dari mana belajar hal itu, soal sopan santun? hal seperti itu jelas saya belajar dari diri kamu sendiri, selamat didikan bunda berhasil menciptakan diri saya yang sekarang."
...
membereskan segala kebutuhan di bantu oleh bi eni, beliau sudah mengabdi pada keluarga itu belasan tahun, bahkan dari biraka masih bayi ia sudah ada di keluarga itu sehingga biraka sudah menganggapnya seperti orang tua kedua, karena umurnya yang sudah cukup lansia, membuat biraka seperti merasa mempunyai seorang nenek dalam hidupnya sehari-hari, beliau sering kali memberi banyak wejangan berharga untuk biraka, dan ia tidak pernah bosan mendengarnya, layaknya teman sering kali bi eni menemani biraka di balkon kamarnya, menikmati secangkir teh dan suasana malam yang sangat membuatnya tenang, di iringi dengan suara serak bi eni yang sering bercerita tentang kehidupan.
"den.."
"bi eni... kan udah abi bilang jangan panggil den, banggil abang aja kebiasaan banget deh, kalau di depan bunda oke lah."
"iya iya galak banget toh abang abi, nda boleh galak-galak nanti wanita pada kabur, apa lagi kalau tatapan abang tajam dan tidak ada senyumnya, nih ya bibi kasih tau, abang itu tampan sekali kalau tersenyum, coba deh biasain senyum," ucap bi eni sambil tersenyum memperagakan bagaimana caranya tersenyum kepada abiraka, pemuda itu bukan mengikuti tersenyum malah menghebuskan nafas lelah.
"entah lah bi, saya sudah terlanjur sulit merasakan apa-apa termasuk bagaimana rasanya bahagia," setelah itu hening, bi eni jelas tau apa penyebab pemuda itu sulit sekali tersenyum bahkan sejak ia masih balita, wajarnya seorang balita bermain dengan mainan mainannya seperti mobil-mobilan atau robot-robotan, tetapi ia sudah bermain dengan tumpukan puzzel dan leggo, permainan yang tentunya membutuhkan sebuah pemikiran saat memainkannya, memang terlihat bagus namun hal itu berdampak besar untuk pertumbuhan nya, dia jadi sulit bergaul dengan anak sebayanya, dan lebih memilih membaca buku di perpustakaan dari pada menonton bioskop dengan teman-temannya.
"abang..."
"percaya sama bibi, di mana pun abang berada untuk menimba ilmu doa bibi selalu menyertai abang, dan bibi yakin hal ini mungkin terbaik untuk abang, coba di pikirkan lagi, gak ada nyonya besar loh di sana, pasti abang jauh bisa lebih sering tersenyum, dan bibi punya firasat baik, mungkin di sana ada seseorang yang bisa bikin abang senyum tiap hari," ucap bi eni sambil menggoda abiraka dan mencolek colek dagu pemula itu, untuk pertama kalinya abiraka tersenyum sangat manis.
"terimakasih bi eni sudah belasan tahun nemenin saya dan memberi banyak nasehat, pasti rindu sekali dengan bi eni di sana nanti."
"nah kan kasep banget kalau senyum, bibi aja kelepek-kelepek gimana orang lain yang liat bang." mereka pun saling tertawa bersama dan kembali mengemaskan barang-barang yang akan di bawa abiraka esok hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANYELIR || Brightwin in Paris
Romanceanyelir. sabiru dan biraka seperti anyelir. disetiap warnanya terdapat makna yang dalam dan berbeda. biraka memberikan putih, tersampaikan oleh kabar angin yang berada di tangan sabiru berwarna kuning. untuk bersatu memerlukan sebuah perantara merah...