PART 2

3 0 0
                                    

Sejak kejadian di ruang penyimpanan, sikap Kento padaku sedikit berubah, atau hanya perasaanku saja? Kami jadi sering terlihat salah tingkah saat saling bertatapan. Tidak, mungkin hanya perasaanku saja kan?

"Jibun no heya de yasunde itadakemasenka? (istirahatlah di ruangan pribadi anda)" aku memberanikan diri mengatakannya saat melihat Kento tidur di ruang penyimpanan dan tentu saja bau alkohol menyeruak ke seisi ruangan.

"Tada anata no shigoto wo shite kudasai (lakukan saja tugasmu!)" jawabnya dengan suara berat dan mata masih terpejam.

Aku menarik napas berat dan mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana.

"Kore wo nonde kudasai (minum ini!)" sambil mengulurkan obat pereda pengar

Kento perlahan membuka matanya dan menaikkan alisnya. Karena tak ada pergerakan dan ia hanya mematung, aku meletakkan obat tersebut di lantai samping tempat tidurnya. Ruangan terasa sangat dingin sekarang karena memang sedang musim dingin dan tidak ada penghangat ruangan. Itu juga yang mungkin menjadi alasan pemuda galau ini minum banyak.

"Koko ni wa danbou wa arimasen, koko de zutto nete iru to byouki ni naru koto ga arimasu (disini tidak ada penghangat ruangan, jika anda terus tidur disini anda bisa sakit)"

"Urusai.... (berisik....)" jawabnya sambil kembali memejamkan matanya yang kali ini ia tutup dengan tangannya

"Sumimasen...." Aku memilih undur diri.

Tepat pukul Sembilan pagi Kento sudah keluar dari peristirahatannya dan tampak sudah segar kembali. Ia juga sudah mengganti pakaiannya dan menyisir rambutnya rapi. Kali ini poni yang biasa menutupi keningnya ia sisir ke atas. Jane menyikut lenganku.

"Sono youna enchanto wo mitsumenaide kudasai (Jangan menatap dengan penuh pesona seperti itu)" aku jadi salah tingkah karena tertangkap basah. Dan saat melihat ke arah Wira, ia juga melakukan hal yang sama, wajahnya tak bisa terlepas dari senyuman menatap Kento penuh kekaguman.

Se-jurus kemudian mataku dan Kento kembali bertemu. Aku merasakan degup jantungku menjadi sangat cepat dan seluruh badan menjadi panas. Tatapan matanya bak menusuk jantungku. Segera aku tundukkan kepalaku dan sekelebat wajah Bagas menari-nari dipikiranku. Kenapa harus Bagas? Tidak, aku harus melupakannya. Bagas bukan seseorang yang harus ada dalam pikiranku lagi.

Wira keluar dari bilik toilet dan menatapku tajam.

"Bahagia bener kayaknya tatap-tatapan sama Dokter Kento?"

"Eh?" aku membulatkan mataku

"Biasa aja lagi matanya, nggak usah kayak mau keluar gitu. Udah latihan buat besok? Tinggal dua hari lagi kan?"

"Udah, Senpai" bodohnya aku seperti anak kecil kalau dihadapan Wira yang notabene lebih muda dariku karena memang dia satu tahun lebih dulu bekerja dariku. Mau tak mau aku harus tetap bersikap hormat karena ia bisa dibilang termasuk senior dan mentorku.

"Hiro itu sangat suka dengan tarian tradisional. Kalau kamu bisa bawakan tari piring akan lebih bagus lagi"

"Tari piring itu nggak sulit sebenarnya, tapi juga harus latihan rutin dan di dampingi oleh pelatih yang sudah professional karena takut nanti cidera. Jadi saya membawakan tarian yang lain saja karena waktu latihannya juga nggak banyak kan?"

"Oh gitu, kamu takut terluka ya?"

"Ya wajar kalau saya merasa sedikit takut karena belum pernah mencobanya sama sekali. Dan tarian itu juga bagusnya di bawakan berkelompok sementara saya cuma sendiri"

Dear LarasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang