Tiga hari berlalu dengan cepat mengakhiri masa pengenalan lingkungan sekolah, pertemanan kami dengan Yuki makin akrab, terkadang kami makan bersamanya. Aku teringat saat di kampung, kami duduk melingkar di lantai membuka semua makanan yang sama, telur dadar di tambah saus. Bukan itu yang membuatku mengenang masa itu, namun saat melihat Yuki mengunyah makanannya. Terlihat Surya dan Burhan meliriknya.
"Kenapa? Kok pada ngelirik ke aku sih?" Kata Yuki minder. "Emang ada bekas nasi?" Lanjutnya.
Seketika kami bertiga langsung membuang muka saat ketahuan Yuki kalau kita melihatnya. Ah hal seperti itulah yang memang harus di kenang.
Hari ini aku tak boleh terlambat, sudah ku persiapkan segala sesuatu yg bisa membangunkan ku. Berbekal dengan handphone Sony Ericsson keluaran tahun 2000, aku menguatkan tekad bahwa Aku akan bangun sebelum subuh. Nada dering berbunyi pertanda aku harus bangun, setelah melaksanakan solat membangunkan Burhan dan Surya adalah tugas selanjutnya, Aku tak melihat Surya di mana pun, yang ada hanya Burhan tidur seperti kerbau mendengkur. Lantas aku mengambil segelas air untuk menyiram Burhan.
Brush!
Muka Berminyaknya seperti punya pelindung tak terlihat. Kita semua tahu bahwa air tak bisa bercampur dengan minyak. Minyak di mukanya itulah yang menjadi pelindung tak terlihat miliknya. Hanya bajunya saja yang basah.
"Gusti! Maneh nanaonan nyiram aing?!" (Ya Tuhan, apa apaan kamu nyiram saya?!) "Hehehe, iseng."
GUBRAK!
Suara lemari dari plastik patah, Aku loncat menuju ke belakang. Surya mengigau layaknya orang sedang rukuk. Di situasi itu aku tertawa terbahak bahak hingga membuat mereka semua membuka matanya. Surya yang kedapatan hidungnya berdarah karena benturan keras tadi baru menyadari beberapa saat kemudian. Sedangkan Burhan ia langsung pergi ke kamar mandi.
***
Bel sekolah berbunyi pertanda kelas akan dimulai. Guru masuk dengan aura bijaksana melekat pada dirinya, duduk di bangkunya menarik napas sebentar lalu membuka pembicaraan kami.
"Baiklah murid-murid sekalian nama saya Musthafa, kalian boleh memanggil saya senyaman kalian, hari ini kita memulai dari perkenalan, karena semua awalan itu adalah perkenalan dan akhirnya kita harus merelakan perpisahan, hidup hanya sekali, maknai lah artinya sehabis itu mati"
Semua terdiam menyimak apa yang di bicarakan oleh pak Musthafa. Tatkala seorang dari ujung bangku berdiri memperkenalkan namanya. "Pak! Nama saya Juliana, Jangan khawatir akan hari esok, karena Tuhan telah menyiapkan yang terbaik untuk kita" Selanjutnya sebelah Sofian berdiri dengan penuh semangat" Nama saya ichsan masa muda adalah masa masa yang gemilang yang harus kita ukir dengan Prestasi!" Pak Musthafa bangun dari duduknya ia hilir mudik menunjuk siapapun yang belum mengenalkan nama. Saat ia menunjuk Surya ia sesegera mungkin bangun "Hidup itu sederhana, kita yang membuatnya sulit."-Confucius. Selanjutnya Burhan, ia mengambil kata-kata dari kak Diah "Satu-satunya sumber dari pengetahuan adalah pengalaman." - Albert Einstein. Ah sial giliran ku aku tak punya kata kata bagus, bagaimana ini?!"Siapa namamu wahai anak muda?"
Tatkala detik terakhir aku mengingat sebuah kata kata. "Nama saya Biru al-Hafidz pak! Hidup ini memang tak adil, jadi biasakan diri" -Patrick Star.Semua melongo menatapku, ada juga yang menahan tawa mendengar kata itu. " Bagus! Kata-kata itu sangat mendalami. Baik selanjutnya " Akhirnya aku bisa bernapas dengan lega.
Bel istirahat berbunyi semua membaur dengan murid lainnya, kami berniat ke kelas Yuki. Namun, Yuki bilang ia makan bersama temannya di kantin, aku memaklumi bahwa ia memiliki kehidupannya selain bersama kita, Aku tahu Surya tak berminat makan, tetapi ia sudah membeli siomay Abang, berbeda dengan Burhan ia lahap sekali walau makan dengan mie.
"Hey Yuki, pulang bareng yuk!" Kata Surya.
"Ah... Begini... Aku sudah di jemput ayahku, maaf ya besok kita akan pulang bersama."
"Ya, baiklah."
Mobil yang membawa Yuki itu pergi meninggalkan kami. Surya terduduk di bangku halaman sembari menghela napas panjang, mungkin ia menemukan bintang di diri Yuki saat itu. Siang berganti petang tatkala langit yang menjadi mendung, anginnya menusuk hingga tulang. Kami akhirnya pergi dengan rasa gundah.
Menunggu bis kota sudah menjadi sebuah kebiasaan untuk kami, macet, sesak, bau yang bercampur keringat menyatu dan berpadu sempurna dalam bis ini. Dari balik kaca, aku mengenali satu mobil yang terparkir di pinggir jalan tepat di depan gedung tinggi. Mobil yang sama saat menjemput Yuki.
"Itu Yuki," bisik ku pada Burhan.
Aku melirik diantara celah padatnya bis kota. Ia melihatnya juga dan sekarang melihat Surya. Seketika itu Burhan menarik ku keluar, Surya ikut melompat turun, di sana ada Yuki dan beberapa orang berjas hitam. Seseorang keluar dari gedung itu, seorang pria dengan tubuh tingginya berbalut dengan jas merah dan sepatu mengkilap. Setelah masuk mobil lantas pergi mengikuti alur macet Ibu Kota.
Kami terlalu fokus pada Yuki, tak mengira akan terjadinya hal yang tak terduga "Hey, apa yang kalian lihat?" Sebuah tangan besar menyentuh bahu ku, dengan refleks aku mengambil tangan itu dan berusaha memelintir tangannya. Namun sial, ia terlalu kuat. Kami bertiga tertangkap lantas diangkut kedalam mobil van
Tangan kami diikat, kepala ditutup dengan karung, napas Surya mendengus kencang sedangkan Burhan sepertinya tetap santai. Jantungku berdegup kencang, keringat membahasi bajuku. Kami ditarik paksa masuk kedalam mobil, lantas mobil membawa kami jauh, entah kemana. Ia berbelok ke kanan, lalu berhenti, aku mengetahuinya dengan suara mobil ini, beberapa menit kemudian berjalan lagi berbelok ke kiri dan ke kanan sekali lagi.
Mobil ini tak bergerak lagi? Macet? Menepi? Atau sudah sampai tujuan?
Pintu belakang mobil terbuka. Aku tahu suaranya. Kami di tarik paksa untuk keluar, di jatuhkan bagai sampah di padang rumput."Kalian duluan saja, aku masih ada urusan dengan anak-anak ini," ucap seseorang yang tak ku kenal suaranya. Mobil menderu kencang menjauh. "Kalian bebas anak-anak."
Aku terdiam melihatnya, seseorang yang belum ku kenal tiba-tiba membuka karung yang membungkus dan melepaskan ikatan dari tangan kami. Ia tak membawa mobil, hanya ada motor trail yang terparkir sembarang, rambut gimbal, tubuh kurus dan tinggi membuat siapa yang melihatnya terasa aneh.
Itu rambut atau sarang burung?
Ia menghabiskan batang rokok yang sedari tadi dipegang. Wajah Surya merah padam, ia menendang orang itu dari belakang, Burhan ikut membantunya. Aku hanya melihat aksi gila mereka.Surya melayang di udara tendangan tepat ke leher, namun itu bisa di tangkis dengan mudah, tubuh gempal Burhan beradu dengan tubuhnya, namun Burhan lah yang terpental.
"Hahaha, baik sekali kalian ingin menghiburku, tapi aku bukanlah lawan kalian. Nanti ada saatnya,Nak. Berlatihlah dan tunggu waktu yang tepat untuk mengalahkan ku. Kalian ingin pulang? Ikuti saja hulu sungai ini, kalian akan kembali ke peradaban."
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Biru [Revisi]
Fiction généraleini kisah ku, kisah seorang anak yang jauh dari orang tua untuk menimba ilmu, aku tinggal bersama ibu bapak, walau mereka bukan orang tua kandungku, aku tetap menyayangi mereka. setidaknya di sini, aku di temani dua orang sahabat sejak kecil. Surya...