chapter. 07

4 2 0
                                    

Jam 3 pagi aku terbangun karena kicauan burung, selalu nikmat jika aku terbangun dengan kicauan burung atau ayam berkokok, aku membangunkan Burhan dan Surya. Sebelum pergi aku ingin berkeliling sebentar bersama Burhan dan Surya, melepaskan mantel hitam agar tak terlalu mencolok di depan orang. Terlihat orang hilir mudik, beberapa menyapa kami, kerbau kerbau sedang di giring menuju padang lapang, padahal jam masih menunjukan pukul setengah lima. Hamparan padi seluas mata memandang dengan embun diatasnya.

Teleponku berdering nomor tak diketahui menelpon. "Halo, Biru. Tuan besar sudah menelpon, agar kita menghadapnya terlebih dahulu, saya harap kita akan segera kembali."

"Oke, kami akan segera kembali Tuan Raga."
Saat kami kembali, semua sudah siap, sudah dipastikan tak ada barang yang tertinggal, kami telah di mobil, menunggu Tuan raga. Ia memeluk Monsieur Caessar dan istrinya sekali lagi, ia memberikan sesuatu ke Tuan Raga. Aku tak memperhatikannya terlalu.

"Mari ke bandara!" Mobil limusin yang kami tumpangi bergerak perlahan menuju kepadatan jalanan.

Setengah jam perjalanan lenggang, tak ada yang berbicara, sebentar lagi kami akan memasuki wilayah bandara. Setelah mengecek beberapa surat surat, kami menuju pesawat jet keluarga.

"Selamat pagi tuan Biru, Burhan, Surya dan Raga. Saya Fikri pilot pesawat ini, semoga kalian menikmati penerbangan. Apakah kalian sudah sarapan? Jika belum pilihlah salah saru menu yang berada di menu, terimakasih."

"Selamat pagi juga pak Fikri. Sepertinya aku hanya ingin teh manis. Bagaimana dengan kalian?" Kami mengangguk.

"Oke. Teh hangat 4 pak Fikri. Terimakasih atas tawaran sarapannya."

"Sama-sama Tuan, sebentar lagi pesanan kalian akan di kirimkan."

Ruang penumpang lenggang, beberapa menit. Tuan Raga mengeluarkan peta, ia melihat lihat tana Toraja. Patung Yesus Memberkati. "Apakah kita akan ke sana?" Celetuk Surya.

"Ya, kita akan ke Tana Toraja. Adat istiadat di sana masih kental. Kamu tau tradisi Rambu Solo? Itu adalah upacara pemakaman yang unik, banyak acara yang dilakukan untuk mengistirahatkan jasad. Juga tradisi Ma 'nene' itu tradisi mengganti pakaian dan merias jasad keluarga. Biasanya itu di desa Baruppu. Toraja Utara, setiap 3 tahun sekali setelah panen besar."
Tatkala pak Fikri datang mengantarkan minuman.

"Maaf, pak Fikri, kami telah di di berikan roti oleh, Monsieur Caessar untuk sarapan. Apakah anda ingin mencicipi roti buatannya? Kami punya banyak."

"Terimakasih atas tawarannya, saya sangat terhormat mengambil roti itu. Oiya, 15 menit lagi kita akan mendarat."

"Sama-sama pak, dan terimakasih telah mengingatkan." Lantas pak Fikri undur diri untuk kembali ke bangku pengemudi.
Kami mendarat dengan selamat, bergegas menuju istana. Sesampai di sana, Tuan besar memberi amanah agar kami harus berhati-hati jika sudah sampai ke daerah Toraja, saat itu juga kami diberi persenjataan lengkap , jika persenjataan itu hanyalah pisau dan parang itu sudah biasa, kami baru pertama kali memegang sebuah pistol dan M4 asli! Senjata yang dingin. Diberinya juga beberapa amunisi. Dan Tuan besar memberi kartu ATM jika ada keperluan mendadak.

Semua siap, terasa aura peperangan mendidih di sekujur badan. Kami berangkat menaiki kapan pesiar milik keluarga Tuan besar.Aku pergi meninggalkan istana dan tim ku masih sama. Aku, Surya, Burhan dan Tuan Raga. Pergi ke pelabuhan menunggu kapal datang dan berlayar ke pelabuhan Soekarno-Hatta menuju Tana Toraja. Rumah Tuan Franz ada di pedalaman gunung dekat patung Yesus memberkati.
telah sampai suatu hutan, kami berjalan dari depan jalanan. Dari sini hawa mencekam nan misterius setiap langkah kami selalu berjaga, sudah menodongkan senjata ke arah yang tidak menentu, tangan Burhan gemetar, seketika itu pundaknya di tepuk oleh Surya agar ia tetap santai.

Terdengar kicauan burung saling bersautan, sinar mentari tak tembus hingga ke tanah karena banyaknya pepohonan besar lebat daunnya. Rusa berlarian kesana-kemari, suara rusa yang meringis kesakitan karena terjerat perangkap, dan kami mengetahui dengan cepat bahwa rumah tuan Franz sudah dekat. Lagipula siapa yang mau menaruh perangkap di dalam hutan mengerikan seperti ini.

Semakin kami mendalami hutan ada beberapa ekor babi juga yang pergi dengan cepat saat melihat kami datang, semakin banyak jebakan dimana-mana, tak sedikit pula hewan yang tertangkap oleh jebakan itu. Terlihat samar-samar rumah gubuk di tengah hutan. Tak salah lagi ini rumah Tuan Franz. Tuan Raga mengangkat tangan isyarat berhenti. Lantas ia mendekati rumah gubuk tersebut, langkahnya pelan, tapi pasti. Ada bekas api unggun di dekat rumah, masih hangat. Namun, tumpukan daun telah memenuhi halaman rumah itu.

Ia membuka pintu, perlahan masuk ke ruang depan, tak ada orang di dalam. Ia mengibaskan tangan menyuruh kami untuk mendekat. "Dimana tuan Franz? Apakah ia sedang berburu?", hanya ada tumpukan buku yang berdebu, dan beberapa gelas plastik yang berserakan. Apakah benar ada orang yang hidup di rumah ini?

BUG. Surya menyenggol salah satu rak buku, anehnya tak ada buku yang terjatuh. " Minggir!" Bentak Tuan Raga. Ia menyingkir, memberikan ruang agar Tuan Raga bisa lewat. Ia mendorong rak buku tersebut hingga bergeser. Ada pintu rahasia. "Kita masuk," ucap Tuan raga. "Tidak tuan, kita tidak tahu apa yang menunggu di sana saat kita masuk, bahkan di luar rumah ini banyak sekali jebakan. Tidak menutup kemungkinan di bawah sana lebih banyak jebakan yang mematikan." Bantahku sambil menggeleng.
Pintu tiba tiba di tutup, Tuan Raga menembaki pintu, namun nihil. Tak tembus, lantas asap mengepul dari langit langit rumah "tutup hidung kalian!" Tak perlu disuruh dua kali. Kami menutup hidung. Kesadaran Ku mulai kabur, Burhan! Surya! Tuan Raga!. Ada seseorang yang baru keluar dari pintu rahasia itu.

***

"Selamat datang, tuan-tuan. Maaf aku menyambut kalian dengan seperti ini." Tangan kami terikat, jarak kami berjauhan, dan apa apaan ini?! Ada senjata laser di depan mata kami. "Tenanglah, senjata itu tak akan melubangi kepala kalian jika kalian tak bergerak dengan gegabah, jadi duduk yang manis di sana, oke?" Ia menatap kami berempat.

"Aku kenalan dari Monsieur Caessar dan bawahan Tuan besar," ucap Tuan Raga. Ia mendengus, suaranya terdengar sekali. Iya tertawa lantas mengangguk. Aku yakin, itu bukanlah anggukan untuk membenarkan perkataan Tuan Raga. Orang itu mendekati Tuan Raga. Dengan tongkat dan jalannya terpatah-patah. Ia memukul kepala Tuan Raga dengan tongkatnya. "Aku tahu itu bodoh, beberapa orang yang masuk dalam jaringan hitam pasti mengenalnya. Lantas apa yang kamu inginkan anak muda?" Ia berjalan menuju tempatnya lagi.

"Aku membawa anak pak Elang. Aku juga mengenali teman seperjalanan mu saat ke amerika untuk mengambil senjata rahasia. Monsieur Caessar, jika kau tak percaya, lihat kalung yang kupakai, ini pemberian darinya."

Ia diam membisu, matanya melirik ke arah kami. Mendekati Tuan Raga dan mengambil kalung yang terpasang di lehernya, mencari siapa anak pak Elang. Ia mendekati Burhan, membuka bajunya, entah apa yang ia cari, selanjutnya Surya, dan terakhir aku. Ia menemukan tanda lahir seperti bekas luka bakar di punggungku.

"Matikan sistem keamanan." Laser itu telah mati. Lenggang sejenak, "Biru" Ucapnya pelan.

Si Biru [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang