Seorang lelaki berjas putih duduk di sebelah gadis cantik berbaju putih berusia 17 tahun sambil menuliskan sesuatu di bukunya. Mereka berada di ruangan dengan latar suara teriakan, tangisan, bahkan benda-benda berjatuhan yang sebenarnya berasal dari ruangan sekitar, tapi masih bisa didengar begitu jelas oleh mereka. Itu hal yang biasa terjadi di rumah sakit ini, lebih tepatnya rumah sakit jiwa. Lelaki itu adalah dokternya dan si gadis tentu pasiennya.
Esa Pramudita adalah nama yang disandang oleh dokter ahli jiwa yang saat ini sudah genap setahun mengabdi di rumah sakit ini. Ia sangat popular baik di kalangan pasien maupun para dokter dari dalam dan luar rumah sakit ini karena menangani pasien dengan waktu yang relatif lebih singkat berkat ketelatenannya dalam merawat. Ia menjadi panutan banyak dokter meski dirinya masih dibilang kalangan junior.
"Keadaanmu jauh lebih baik Friska, jangan mbenturin kepalamu ke tembok lagi kalo lagi kesal ya," nasihat Esa dengan nada becanda.
Itu sudah biasa, Esa menganggap semua pasiennya adalah teman jadi kadangkala jika waktunya tepat ia akan mengajak pasiennya bergurau.
"Pasti dong, aku bakal cepat sehat kalo Dokter Esa yang ngerawat," jawab Friska dengan semangat.
Esa tersenyum senang mendengar jawaban Friska, tetapi saat ia mengingat apa yang akan terjadi besok ia memudarkan senyumnya perlahan.
"Tapi aku mau pergi besok, aku bakal pindah sementara. Aku mau pamitan, kamu jangan bandel ya di sini," pesan Esa.
"Yah, kalo Dokter Esa pergi yang bakal ngerawat aku sama pasien lain siapa dong?" keluh Friska sambil mempout bibirnya lucu.
Esa tertawa kecil melihat tingkah menggemaskan pasien yang usianya 10 tahun di bawahnya.
"Kamu sudah sehat Friska, besok kamu bakal dipindah ke ruang rawat akhir, masih banyak dokter yang bakal ngerawat kalian kok. Aku bakal balik ke sini kalo kamu udah sembuh, jadi cepet sembuh ya biar aku bisa ngerawat pasien lagi di sini," hibur Esa.
"Siap Dok," jawab Friska sambil memberi hormat dan cengiran manis.
Esa mengusap rambut Friska seperti mengusap rambut adiknya sendiri.
"Aku pergi dulu ya, ada satu pasien lagi yang harus kutangani. Tetep semangat Friska, daah," pamit Esa lagi sambil beranjak dan melambaikan tangan kemudian keluar dari ruangan itu.
***
Esa keluar dari kamar pasien terakhirnya sebelum ia dipindah besok. Ia akan merawat seorang yang sudah terkenal di kalangan para dokter ahli jiwa bernama Naya. Banyak dokter berspekulasi bahwa Esa mampu menangani pasien itu, beda halnya dengan lelaki berusia 27 tahun itu yang merasa sedikit minder dengan anggapan itu karena ia tak bisa berjanji untuk menyembuhkan Naya seperti yang sudah sering digosipkan banyak dokter ahli jiwa.
Sebelumnya ia pernah diminta untuk merawat pasien di rumah seperti yang akan ia tindakkan besok dan ia menolaknya, karena ia bukan hanya mengharap materi dari pekerjaannya. Ia ingin mengabdikan diri dan menangani banyak orang dari penyakit yang sulit disembuhkan di sini. Namun, kali ini kasusnya jauh berbeda. Naya adalah seorang dari keluarga publik figure yang disembunyikan untuk alasan pencitraan. Bagaimana bisa pencitraan digunakan untuk menutup-tutupi orang yang sedang sakit? Nalurinya langsung tergerak untuk membantunya.
Di tengah perjalanan menuju tempat beristirahat, seseorang memanggil nama Esa sambil berlari. Esa langsung menoleh dan mendapati Friska terengah sambil menyembunyikan tangannya di balik punggung.
"Kenapa Fris?" tanya Esa sedikit khawatir.
"Dokter aku mau ngasih hadiah sebelum dokter pergi. Aku metik bunga ini dari taman sembunyi-sembunyi, makasih udah ngerawat aku sama pasien lain ya," ungkap Friska sambil menyerahkan beberapa tangkai bunga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Doctor
Teen FictionEsa Pramudita adalah nama yang disandang oleh seorang dokter ahli jiwa yang sudah setahun mengabdikan diri dengan profesinya. Ia menjadi panutan bagi para dokter karena ketelatenannya merawat pasien walau masih berada dalam kalangan junior. Naya ada...