Lelaki yang sudah melepas jasnya duduk di kursi belakang meja tempatnya melakukan penelitian kecil dan menyimpan buku perkembangan Naya juga semua hal berkaitan dengan Naya yang diperlukan.
Esa sedari tadi melihat suntikan berisi cairan nutrisi kemudian menulis kandungan di dalamnya dan menelitinya dengan saksama. Hingga tiba-tiba pandangan matanya tertuju pada jendela di tengah dinding yang memisahkan kamarnya dan kamar Naya. Terlihat gadis berusia kisaran 22 tahun itu terbangun. Ia meletakkan benda yang dipegangnya di atas meja lantas menuju kamar sebelah.
Gadis dengan pandangan kosong itu duduk di ranjangnya kemudian bangkit.
"Nona mau makan?" tawar Esa.
"Aku gerah, pengin mandi," jawab Naya datar.
Esa mengikuti langkah Naya yang terlihat seperti layangan putus, miring kanan kemudian kiri. Sebenarnya ia ingin memapah Naya, tapi ia tahu bagaimanapun itu tidak sopan. Namun, saat Naya benar-benar akan jatuh Esa dengan gesit langsung menangkapnya.
"Lancang banget kamu!" kesal Naya.
"Maaf," ucap Esa tapi tanpa melepas tangannya dari bahu Naya dan tetap memapahnya.
Setelah sampai di depan kamar mandi, Esa meninggalkan Naya untuk memanggil pelayan wanita. Tak mungkin kan ia yang memandikan Naya? Ia menghampiri pelayan yang kebetulan sedang minum di dapur pinggir kamar mandi.
"Permisi Bu," sapa Esa.
Pelayan itu menoleh dan menatap Esa. Ia bertanya, "ada yang bisa saya bantu?"
"Maaf Bu, Nona Naya mau mandi. Kalau tidak keberatan tolong bantu dia," pinta Esa sopan.
"Oh begitu, baik saya segera ke sana," jawab pelayan.
Esa berterima kasih lalu kembali ke kamarnya untuk mencatat sesuatu sambil menunggu Naya. Sepuluh menit berlalu dan pelayan yang membantu Naya menghampirinya untuk memberitahu bahwa semua sudah selesai. Esa pun mengangguk sambil menata kembali bukunya.
Ia menuju ke kamar sebelah dan tak melihat Naya. Ia berusaha untuk tidak panik dan mencari terlebih dulu sosok gadis itu tanpa bantuan pelayan. Ia sudah mencari di seluruh ruangan kamar Naya dan beberapa ruangan lainnya, tetapi hasilnya nihil.
"Kemana perginya Naya," gumam Esa cemas tanpa menghentikan langkahnya.
'Perlukah aku bertanya ke pelayan?' batin Esa.
Namun, ia kembali menggeleng. Ia tak mau membuat orang lain ikut kebingungan. Saking melayangnya sang pikiran, Esa pun menabrak seorang pelayan.
"Eh maaf, maaf," sesal Esa.
"Tak apa," jawab pelayan sambil menoleh pada Esa.
Mulutnya terbuka seperti akan memanggil nama dokter itu, tetapi akhirnya diurungkan.
"Cari Nona Naya ya?" tanya pelayan itu seolah tahu pikiran Esa.
"Iya, kamu tau?" tanya Esa karena melihat pelayan itu sepertinya sedikit lebih muda darinya, tak seperti yang ia mintai tolong untuk memandikan Naya.
Pelayan itu mengangguk lalu berjalan mendahului Esa untuk menunjukkan arah. Mereka sampai di bagian belakang rumah yang jauh lebih indah dari pemandangan depan rumah. Beragam bunga dengan berbagai warna, pohon-pohon yang terlihat asri, dan beberapa tempat duduk terbuat dari ban mobil bekas yang dicat tersusun rapi bak taman.
Terlihat Naya tengah berdiri menghadap bunga-bunga tanpa berkutik. Esa berterima kasih pada pelayan lantas menyusul gadis berbaju pink dengan tersenyum lega. Ia melihat sudut pandang Naya yang rupanya tak benar-benar menatap para tanaman indah itu, tapi hanya menatap jauh ke depan. Esa tahu bahwa orang di sampingnya ingin merasakan bebasnya dunia luar.
"Nona pengin jalan-jalan ya?" tanya Esa.
Naya menatap Esa sedikit sendu dan mengangguk kemudian kembali menatap ke depan.
"Suatu saat, kalau Nona sudah sembuh pasti bisa keluar dari sini," hibur Esa.
Naya menyunggingkan sedikit senyum kemudian kembali kosong.
"Tapi aku lebih suka di sini sendiri, terus ada binatang buas masuk ke rumah dan makan aku hidup-hidup," sanggah Naya sambil tertawa kecil.
Esa melihat Naya yang masih tertawa kecil.
"Nona, kau belum ingin makan? Sejak siang tadi kau belum makan," alih Esa.
"Kau cuma perlu nyuntik aku kan? Gitu kok ribet," jawab Naya.
"Nona tak mau coba makanan utuh? Rasanya mungkin bisa jauh lebih enak," bujuk Esa.
Kali ini Naya menatap Esa. Benar-benar menatap, bukan sekedar menoleh. Esa maju selangkah lebih dekat dengan Naya kemudian merapikan poni gadis itu yang sedikit berantakan karena angin, walau sebenarnya rambutnya memang sangat berantakan seperti tak terurus oleh seorang pun.
"Sebenernya kamu tuh siapa? Kenapa kamu mau baik sama aku?" tanya Naya penasaran.
"Aku akan menjadi temanmu Nona, namaku Esa." Ia mengulang perkataannya siang tadi.
"Mana ada orang yang mau berteman sama orang gila kaya aku," sanggah Naya.
"Nona tidak gila, Nona hanya merasa kesakitan saja. Aku bakal nerima Nona apapun keadaannya sampai sembuh nanti dan bisa kembali beraktivitas." Sekali lagi Esa mencoba menghibur Naya.
Naya terlihat bingung mendengar ucapan Esa, ia justru menggeleng sambil membelakangi Esa.
"Kayaknya kamu perlu hubungin dokter deh, kamu udah lebih gila dari aku. Kamu harus dirawat di rumah sakit...," oceh Naya sambil meninggalkan Esa.
Lelaki itu mengikuti langkah Naya sambil menyunggingkan senyum gemas. Ia merasa lebih suka ketika Naya banyak mengoceh tentang hal semacam itu dibanding hanya diam dan menatap kosong.
***
Hari menunjukkan pukul 17:50, Naya tertidur sebelum makan apapun setelah kembali dari taman. Akhirnya Esa memilih untuk mandi karena cuaca sore ini sangat panas meski sudah memasuki musim hujan.
Saat ia sudah rapi menggunakan baju biasa (bukan baju kerja), ia kembali ke kamarnya. Terlihat pintu kamarnya sedikit terbuka, padahal seingatnya ia sudah menutupnya dengan rapat. Ia segera memasukinya dan melihat seorang gadis sedang mencoba membuka tutup injeksi nutrisi dan segera menyuntikkannya. Dengan gesit ia merampas benda itu, tak peduli dengan tangannya yang sedikit tergores jarum. Dalam hati ia merutuki kecerobohannya meletakan cairan itu di atas meja.
"Kembalikan padaku," pinta Naya mencoba menggapai injeksi yang sudah kembali ditutup.
"Biar aku saja Nona, ini berbahaya," cegah Esa terus menjauhkan suntikan itu.
"BERIKAN SEKARANG JUGA!" seru Naya dengan mata berapi.
"Naya!" Esa tak sengaja hampir menyamai nada suara Naya. Ini pertama kalinya ia memanggil pasiennya tanpa embel-embel apapun.
Esa sontak membawa Naya ke pelukannya, tapi percayalah ia tak bermaksud melakukan hal yang tidak-tidak. Ia hanya ingin mencoba menenangkan saja. Tiba-tiba mata Esa berair, bukan karena tersinggung dengan seruan Naya melainkan saking khawatirnya ia. Baru saja beberapa jam bertemu, tapi gadis itu sudah membuatnya berkali-kali cemas, padahal ia sudah sangat sering menjumpai itu di rumah sakit yang ditempatinya.
"Maafkan aku. Kumohon, biar aku saja yang melakukannya padamu," pinta Esa sambil melepas pelukannya dengan cepat.
"Lakukan sekarang!" perintah Naya dengan sorot yang sudah melembut.
Esa mengangguk sambil membuka lagi penutup benda itu kemudian menyuntikkannya ke lengan Naya. Tiba-tiba gadis itu terlihat sesak napas dan limbung. Esa menangkap Naya yang tak sadarkan diri, ia berpikir kenapa tiba-tiba gadis itu pingsan? Apakah ada yang terlewat dari penelitiannya?
Esa langsung membawa Naya ke kamarnya kemudian membaringkannya dan menutupnya dengan selimut.
Entah kenapa ia merasa sebenarnya Naya tak depresi atau memiliki gangguan mental, tapi ada hal yang memaksanya menjadi seperti itu. Ia jadi semakin penasaran dengan latar belakang keluarga gadis itu. Besok Tuan Harun, adik dari ayahnya Naya datang untuk mengecek keadaan keponakannya, mungkin ia perlu menanyakan hal ini padanya.
***
Pagi sekali pukul 06:45 Tuan Harun bersama dua anak buahnya datang ke rumah terpencil itu. Ia meminta pelayan memanggil Esa untuk mememuinya. Tak lama kemudian seorang lelaki berseragam dokter datang.
"Selamat pagi Dokter Esa," sapa Tuan Harun.
"Pagi kembali Tuan," jawab Esa sambil menganggukkan kepala.
Dua lelaki itu berjabat tangan kemudian Tuan Harun menyilakan Esa untuk duduk.
"Bagaimana keadaan Naya, Dokter?" tanya Tuan Harun.
"Sejauh ini belum ada perkembangan Tuan, Naya masih melakukan hal seperti yang dikatakan dokter sebelumnya," jawab Esa apa adanya.
"Ooh, tidak apa. Saya harap dokter bisa menangani keponakan saya," ucap Tuan Harun.
"Tentu Tuan, saya akan berusaha semaksimal mungkin," jawab Esa rendah hati.
Setelah itu Tuan Harun bercerita bahwa ayahnya Naya dua tahun lalu meninggal dan ibunya pergi ke luar negeri dua bulan setelahnya karena tak mau merepotkan siapapun di sini. Esa sedikit meragukan cerita pamannya Naya, karena tak mungkin seorang ibu yang baik tak mau pulang ke rumah untuk merawat anaknya yang sedang sakit. Sementara ini ia hanya mengangguki cerita Tuan Harun.
"Oh ya Dokter Esa, mulai sekarang kau tak perlu menyiapkan obat apapun, karena dokter kepercayaan keluarga kami sudah menyiapkannya, kau hanya perlu merawat Naya," pinta Tuan Harun dengan mudah.
Esa mengernyitkan dahi, apa itu dalang dari keluarnya para dokter yang merawat Naya, ia lantas bertanya dengan sopan, "untuk apa Tuan menyediakan dokter dari luar jika keluarga Tuan sudah memiliki dokter kepercayaan?"
"Aku sama sekali tidak memintamu untuk bertanya hal itu kan? Kau bisa undur diri kalau mau, aku akan tetap membayarmu." Tuan Harun terlihat sedikit gelagapan sebelum menjawab.
Esa tak menjawabnya, ia akan mencari tahu sendiri tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dari cara berbicaranya Tuan Harun, Esa bisa melihat banyak kecemasan yang tersirat, terutama sejak ia menanyakan hal tadi. Ia tak boleh salah langkah dan memastikan masalah ini terpecahkan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Doctor
Teen FictionEsa Pramudita adalah nama yang disandang oleh seorang dokter ahli jiwa yang sudah setahun mengabdikan diri dengan profesinya. Ia menjadi panutan bagi para dokter karena ketelatenannya merawat pasien walau masih berada dalam kalangan junior. Naya ada...