▬ lembar keempat

869 209 17
                                    

SIANG HARI, kamis◠◝ antariksa jingga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


SIANG HARI, kamis
◠◝ antariksa jingga

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬





KESINI lagi?”

aku terhenyak di posisi, menoleh pada asal frekuensi. agak memincingkan mata sampai terfokus pada figur familiar di memori ▬▬ mitsuya takashi.

“aku lupa arah rumah kamu jadi aku datang ke tempat pertama kali kita ketemu.”

anak adam itu mengambil langkah besar, syal merahnya melengkupi leher sampai menyentuh hidung bangirnya.

aku menarik respirasi dengan sukar, jarak kami mencapai limit. terlampau dekat sampai membuatku gemetaran tak keruan.

“kamu mau apa?”

aku membuka suara, “mau ngucapin makasih soal kemarin.”

ia tergelak, senyumnya terpoles elok di wajah. tawanya terdengar serupa bel yang bergerak halus, tak nyaring namun nyaman diperdengarkan.

mitsuya takashi itu euforia. memetak di semesta membawa gempita sampai pada titik terdalam lembah gelita.

penambah apik pada senja, prosa romantik pada ceritera. hadir sebagai pelipur lara teruntuk komplikasi yang mengikat afeksi.

dia ▬▬  nampak seperti sosok yang jauh kendati kami berbagi langit yang sama.

tabiatnya baik, aksinya mengobati lukaku semalam berjalan tanpa ragu. seakan ia yakin aku tidak macam-macam. apapun sebabnya, mengajak orang asing ke rumah itu merupakan keputusan mengundang mara tetapi mitsuya melakukannya.

persona seperti ini jarang dan mitsuya takashi hanya satu.

lamunanku buyar ketika pemuda bermahkota terang itu menyingkirkan rambutku lalu meletakkan di belakang telinga. aku merasakan ada sesuatu yang menjepitnya.

“selamat ulang tahun,” ungkapnya, “itu hadiah. aku ga bisa beli yang mewah jadi aku bikin sendiri. mengingat rambut kamu suka menghalangi muka, aku pun berinisiatif demikian.”

“kamu ga perlu repot ▬▬ "

“ga papa, lagipula bukannya kamu kepingin hadiah dan ucapan yang tulus kan?”

pipiku bersemu, menyengat permukaan bersamaan dengan debaran yang mematikan sendiku.

aku hanya mampu menarik nafas perlahan dengan menonton mitsuya yang mengembangkan senyum. dadaku seperti digerogoti kembang api.

“mukanya jangan ditutupin lagi, cantik kok.”

“apaan sih.” tuturku lirih.

“jangan lupa senyum ya tapi jangan berlebihan nanti aku overdosis.”

teruna kelana realita, mitsuya ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang