SORE HARI, minggu
◠◝ gerbong berma▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
CAFE kecil maron di sudut jalan yang dihimpit perumahan rakyat menjadi destinasi pilihan kami berdua usai perdebatan panjang sebab mitsuya yang keberatan tidak memberikanku lebih dari sekadar teh dan roti di atas piring yang seukuran telapak tanganku.
kening mitsuya mengkerut sepanjang aku memimpin jalan dan memesan menu. ia menawarkan tempat yang lebih besar tetapi dengan harga menu yang sama demikian.
aku menolak mati-matian sampai aku menggunakan cara terakhir yaitu mengancam tak lagi mau bicara dengannya.
anak adam itu akhirnya afirmasi, aku mendengar ia mendengkus berulang kali sebagai wujud protes. aku terkikik geli, air wajahnya sekarang masam namun dimataku jadi menggemaskan.
“yue,” ujarnya pelan, “aku mungkin kekurangan tapi untukmu aku ga keberatan ngasih yang kamu mau. bilang aja nanti kuusahakan biar sampai ke kamu.”
“tapi aku ga mau. maaf, jangan karena kamu laki-laki kamu memilih menanggungnya. untuk biaya pertemuan kita kali ini bebankan saja ke aku sampai nanti aku kepikiran nerima tawaran kamu.”
ia menyentuh keningnya, perlahan menyisir surainya yang pendek. “sesukar itu kah nerimanya?”
“kenapa terus bersikeras begitu ▬▬ ”
“ ▬▬ karena aku menyadari kamu penting,” sambarnya lekas, “karena kamu penting, aku merasa harus ngelakuin lebih.”
aku jatuh termangu. bergeming sembari mengigiti bibir, menyadari jantungku berdebar cepat yang nyaris mendahului sekon jam yang tergantung di dinding café.
aku jadi heran, mengapa dia sampe begini?
padahal bukan kewajibannya harus memanjakanku. aku pikir sebab aku yang berada di pihak menguntungkan membuatku tak masalah mesti menghabiskan uang untuk kami berdua, apakah aksiku ini menggores egonya?
“kata orang rumah itu tidak mesti konsisten besar teritorinya, bisa jadi area yang kecil sebagaimana ditumpangi dua bahu. awalnya aku ga ngerti tetapi sekarang aku menyadari maksudnya,” mitsuya menengok padaku, “aku menemukan rumah baruku dan sekarang aku menatapnya.”
mendadak aku merasakan waktu tak lagi berjalan, inti bentala berpindah haluan. memusat pada pemuda yang mencondongkan figurnya ke depan, berusaha memotong jarak di antara kami. menjebakku dalam pelataran rasa yang asing.
“seperti yang aku bilang tadi, kamu penting bagiku maka dari itu aku mau memenuhi rumahku dengan segala macam barang dan pajangan,” atensiku mengabur di saat aku merasakan bulir basah memenuhi kelopak mataku, “akan kuambil semua perkara dan lara agar rumahku hanya dipenuhi oleh gempita.”
“mitsuya ▬▬ "
aku melepaskan lenguhan yang aku tahan. aku menangis.
setiap kata mitsuya menyentuh segmentasi hatiku. bait ucapnya mengguncangku sampai ke jengkal terkecil. inikah yang ibu rasakan setiap kali bertemu ayah? respirasi sesak sebab perasaan memekakkan namun terus dilahap?
aku tidak mengerti. aku tidak paham. alasan bagiku menangis pun tak kunjung dijumpai dan ini membuatku takut.
lalu aku merasakan usapan pelan menghapus sudut mataku, senyum tipis terpantri di lekuk subtilnya. mitsuya bergumam, “jangan nangis. aku sakit kalo ngeliat kamu nangis.”
kemudian ucapan ibu terlintas di kepalaku ; ketika jatuh cinta, kamu harus ingat cinta itu tidak memiliki kewajiban untuk masuk akal.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
bagian ini aneh banget sumpah ( TДT), maafin ya kalo feelnya ga dapet.
KAMU SEDANG MEMBACA
teruna kelana realita, mitsuya ✓
Fiksi Penggemar⚝ adendum。三ツ/ mitsuya ❝ bagi m i t s u y a yang candu, yue itu personafikasi romantika yang memabukkan ❞ RETROGRASI。2O21☽