Keesokan harinya di wisma Shafiyah.
Sepagi ini, keheningan masih menjelma kabut yang menenangkan. Bagi sebagian orang ini adalah waktu terbaik untuk bermunajat. Bersimpuh di hadapan Raja, yang turun ke langit dunia. Mewedarkan janji akan diijabahkanNya setiap doa hamba yang memohon kepadaNya. Barangkali hanya dentingan jarum jam yang menemani Dira, bagai simfoni yang menambah kekusukannya di hadapan Illahi.
Jarum panjang jam itu menunjuk angka lima sementara jarum pendeknya di tengah-tengah antara angka empat dan lima. Dira seakan ragu untuk membangunkan Rania. Jika dilihat-lihat, cara tidur sahabatnya itu lain dari biasanya. Keganjilan lainnya, Dira rasa ada di kebiasaan jam bangun Rania. Biasanya sahabatnya itulah yang bangun duluan, membangunkannya. Mengajak tahajud. Tetapi pagi ini sampai saat azan subuh telah menggema pun Rania urung terjaga.
"Segitu lelahnya, ya, dia?" batin Dira.
Dira meringsut ke pembaringan Rania tanpa menanggalkan mukenanya.
"Benar-benar nggak seperti biasanya." Kini ia pandangi lekat sahabatnya itu. Dira menggelengkan kepalanya tanpa sadar. Ia kesampingkan dulu rasa curiganya begitu teringat pesan terakhir Rania sebelum sahabatnya itu tertidur.
"Ran...!"
"Bangunnnn!" Tubuh ramping itu menggeliat.
"Subuh Rannn, subuhhh, hei...!" sembari menggoyang-goyangkan tubuh Rania, Dira mendekatkan bibirnya ke telinga sahabatnya itu.
"Katanya ada kuliahhhh!" hanya deru napas yang menjawab. Tapi Dira enggan menyerah.
"Rannnnnnn!!!" Goncangan itu semakin keras. Terdengar suara erangan sesaat. Pelan-pelan katup mata Rania mulai terbuka.
"Udah subuh, buruan ambil wu ..." kalimat Dira terpotong.
"Kyaaaaa, Siapa kamu!" Sarah mendorong tubuh wanita di hadapannya itu. Dira terjengkang ke belakang.
"Kamu apaan sih, Ran?" Dira mengaduh.
"Cepet jawab kamu siapa?! Dan di mana aku!"
Sarah melompat dalam kepanikannya. Bahkan ia urung membersihkan blobok di sudut matanya. Ia telanjangi ruangan sekeliling tanpa meninggalkan sesenti sudut pun. Pisau buah di samping keranjang atas meja menjadi benda paling berkilau yang menarik perhatiannya. Ia raih cepat pisau itu.
Dira bangkit: mencoba mendekati sahabatnya itu.
"Ini aku Dira. Jangan pura-pura amnesia gitu, napa?"
"Jangan mendekat!" Sarah memperingatkan. Kini ia memantapkan kuda-kudanya. Mata pisau itu ia arahkan tepat ke tubuh Dira. Posisinya kini seteguh seorang samurai yang tengah bersiap melakukan kesa-giri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Temu
Novela JuvenilEntah mengapa Rania yang tadinya terlelap lantaran kelelahan, mendadak bangun di tempat dan di tubuh yang berbeda; tubuh Sarah yang terbujur kaku di rumah sakit. Kehidupan hedonis cum glamour sebagai Sarah menanti di depannya. Pun sebaliknya, Sarah...