2. Sebuah Muslihat

23 2 9
                                    

Usai menutup pintu dari dalam, Reyhan meringsut ke arah ranjang. Kini jaraknya dengan ujung pembaringan Sarah serentang jarak aman protokol sosial distancing di tengah pandemi. Seketika, ia teringat kisah Fahri dan Aisha di dalam novel legendaris Ayat-Ayat Cinta. Ada satu momen yang menurutnya unik, di mana ketika dua orang itu keluar dari Metro, kemudian mereka melangkah bersama sepanjang jalan menuju Mousadda Sreet, alih-alih beriringan, mereka justru menjaga jarak aman seperti pengendara sepeda motor di belakang truk tronton; sangat awas lantaran disesaki kehawatiran pada lubang jalan yang tetiba muncul atau badan truk itu sendiri yang berhenti mendadak. Bagi Reyhan itu adalah adegan canggung yang begitu kentara.


"Sekarang kau tak perlu pura-pura lagi." Namun berbeda dengan Fahri, di sini, bagi Reyhan diam adalah dosa; karena ia telah berjanji mencari petunjuk tentang kondisi Sarah pada Budhenya. Dan semesta tak pernah sebaik itu; mengungkapkan misterinya pada orang yang hanya diam menunggu.


Rania menatap Reyhan. Dalam diamnya, ia sebenarnya tengah menganalisis—hal yang sama yang sedang coba Reyhan lakukan.






"Siapa kamu sebenarnya?!" Ia berteriak dengan teriakan yang diyakini tak terdengar oleh penduduk langit maupun bumi—di luar ruangan. Walau kecewa, Rania mencoba tetap tegar dan tak patah arang untuk meyakinkan Reyhan.


"Sudah kubilang aku Rania."


"Jangan ngaco!" 


"Terserahlah!" Rania membuang muka, bibirnya manyun. Ia tak tahu lagi. Entah dengan cara apa ia akan meyakinkan lelaki yang pernah menyelamatkan hidupnya itu.


Keheningan menyesaki ruangan itu kesekian kalinya. Reyhan menangkap hal ganjil kedua yang mustahil dilakukan Sarah yang ia kenal.


"Oke," seakan tak percaya, ia akan mencoba sesuatu yang lain. Sepertinya, ia akan bisa menyimpulkan usai mendengar jawaban Sarah setelah itu.


"Jika benar kamu Rania. Katakan padaku satu hal saja, yang hanya Rania dan aku seorang yang tahu," tantang Reyhan.


Rania membalikkan wajahnya ke semula. "Baik," timpalnya. Kini mereka saling mengadu pandang.


"Delapan Oktober, tugu Kartasura. Sinar senja tertutup awan mendung. Di tengah kerusuhan, kau pernah menyelamatkan seorang wanita yang mengenakan almet khas Kampus Kuning. Wanita itu meringkuk di tanah lantaran tersemprot gas air mata dan terkena lemparan batu di kepalanya. Dia hampir saja pingsan dan entah mati terinjak demonstran lain jika tak kau selamatkan. Dan wanita itu adalah ...."


"Kamu," sahut Reyhan. Hatinya berdesir beberapa kail. Kini, terjawab sudah semua keganjilan itu. Meskipun dengan perkara ganjil yang lain. Tetapi kini, ia yakin. Sosok wanita yang ada di hadapannya ini, pada hakikatnya adalah Rania meski dari fisik luar adalah Sarah. Tapi bagaimana mungkin? pikirnya


"Sekarang kamu percaya?" tanya Rania.


Jalan TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang