BAGIAN 1

227 8 0
                                    

Pulau Perawan sebenarnya tidak terlalu jauh dari pantai barat Tanah Jawadwipa ini. Kalau diperkirakan, mungkin jaraknya kurang dari lima puluh tombak sebelah selatan. Namun begitu, jarang sekali ada yang menginjakkan kakinya di sana. Agaknya itu tidak mengherankan, sebab pantainya hanya hutan lebat yang terdiri dari pohon bakau, api-api, sampai pepohonan besar agak jauh ke daratan. Bahkan seorang pemburu sekalipun, tak jarang tersesat sampai di tempat ini. Padahal pulau itu banyak didiami binatang buruan.
Sementara di Tanah Jawadwipa, seorang laki-laki berbaju hitam berusia sekitar tiga puluh tahun, tepatnya di pesisir pantai bagian barat, tampak berlari-lari menerobos semak belukar. Baju yang dikenakannya telah robek di sana-sini. Demikian pula celana yang dikenakannya. Tubuhnya telah dipenuhi goresan ranting dan duri-duri. Sebagian dari lukanya sedikit mengering. Tapi beberapa di antaranya terlihat masih baru.
Laki-laki bertubuh sedang dengan ikat kepala merah ini berhenti di dekat sebuah batu besar. Napasnya terengah-engah seperti mau putus. Beberapa saat kemudian, matanya memandang ke sekeliling tempat ini.
"Badar...!" panggil laki-laki itu dengan suara agak dipelankan.
Tidak ada sahutan. Mata laki-laki ini merayapi sekitarnya sambil mengendap-endap. Mendadak, dia melihat dua sosok tubuh tengah berjalan. Dua sosok gadis berpakaian ala kadarnya. Bagian dada dan bawah perut hanya ditutupi pakaian dari kulit binatang. Tak urung bagian-bagian tubuhnya yang mengundang masih juga terlihat. Sehingga membuat mata laki-laki itu kian liar menjilatinya dengan jakun turun naik.
"Astaga! Apa aku tidak salah lihat? Siapa mereka? Dewi Penunggu tempat inikah?" batin laki-laki ini.
Dengan benak dipenuhi tanda tanya, dia mulai membuat rencana. Sementara, matanya terus melotot seperti tidak berkedip, mengawasi dua gadis cantik itu.
"Mereka hanya dua orang dan bersenjata tombak. Hm... dia kalau kuringkus..., lalu yang seorang kuserahkan Ki Seta, tentu dia senang dan bersedia mengampuniku," gumam laki-laki berbaju hitam ini.
Ketika semangatnya telah terkumpul, laki-laki itu mencelat, langsung menghadang kedua gadis yang berjalan pelan tidak jauh di depannya.
"Ha! Jangan takut dengan Kakang Kaliki, Adik-adik Manis. Aku tidak galak, kok!" ujar laki-laki yang ternyata bernama Kaliki ini.
Belum sempat gadis itu berkata-kata, Kaliki langsung menyambar tombak di tangan kedua gadis itu. Kedua gadis itu kaget. Tapi langsung menyodorkan ujung tombak ke arah Kaliki dengan kecepatan dahsyat. Dan ini di luar dugaan laki-laki ini.
"Uts!" Baru saja Kaliki melompat ke belakang menghindari sodokan tombak, gadis yang seorang lagi telah menyabetkan tombaknya. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Cras!
"Akh...!" Kaliki menjerit kesakitan begitu tombak itu menggores pinggangnya. Darah tampak langsung mengucur dari lukanya yang memanjang. Dan baru saja dia hendak melompat ke belakang, gadis-gadis yang ternyata gesit ini cepat berkelebat. Tahu-tahu saja salah satu ujung tombak mereka menempel di lehernya.
Kaliki terkesiap dan tidak bisa berkutik. Lebih-lebih, ketika ujung tombak yang satu lagi menempel di dada kiri mengancam jantungnya.
"Aku..., aku tidak bermaksud mengganggu. Percayalah," kilah Kaliki, seraya tersenyum lebar.
Tapi tanpa banyak bicara kedua gadis itu cepat meringkus Kaliki dengan mengikat kedua tangan dan kakinya. Lalu seperti mengangkat hewan buruan, mereka menyongketnya dengan tombak. Kemudian dibawanya laki-laki itu pergi dari tempat ini.
"Tolong...! Badar! Keluarlah kau! Tolong aku...!"
Kaliki berteriak-teriak memanggil kawannya yang diyakini berada di sekitar tempat itu. Kedua gadis itu merasa terusik. Kemudian salah seorang cepat bertindak, menyumpal mulut Kaliki dengan dedaunan kering. Karuan saja, laki-laki itu berusaha berontak. Tapi gadis itu terus memaksanya. Sehingga Kaliki tidak berkutik dan hanya bisa menyumpah-nyumpah di hati.
Sementara itu di tempat yang tersembunyi, seorang laki-laki berusia dua puluh delapan tahun tengah memperhatikan kejadian ini. Semula dia hendak membantu. Tapi begitu melihat ketangkasan kedua gadis itu, niatnya surut. Dan dia hanya bisa memandangi kawannya yang dibawa seperti hewan buruan.
Namun begitu, hati laki-laki yang sebenarnya bernama Badar masih penasaran. Sehingga dari tempat bersembunyi, dia membuntuti dengan mengendap-endap. Sayang, dia tidak bisa terus membuntuti. Karena kedua gadis itu segera menaiki perahu kecil. Lalu, mereka mendayungnya menuju pulau di ujung sana, yang masih terlihat dalam pandangan mata. Setelah merasa yakin mereka menuju pulau itu, Badar segera berlari kencang meninggalkan tempat ini.

164. Pendekar Rajawali Sakti : Istana Tulang EmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang