BAGIAN 4

100 7 0
                                    

Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih berdiri tegak di atas sebuah bukit sambil menengadahkan kepalanya ke langit. Matahari bersinar tidak terlalu garang. Bahkan sekumpulan awan kelabu menghalangi. Angin yang bertiup perlahan mengibar-ngibarkan rambutnya. Sementara tidak jauh di dekatnya, seekor kuda berbulu hitam tengah merumput dengan tenang.
"Suiiit...!" Pemuda dengan pedang bergagang kepala burung di punggung itu bersuit nyaring, membuat kuda hitam itu terkejut sesaat. Tapi kemudian, binatang perkasa ini kembali merumput dengan tenang.
"Apakah jarak yang terlalu jauh, sehingga Rajawali Putih tidak mendengar?" gumam pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga. Di dalam dunia persilatan, dia dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Sementara kuda yang merumput didekatnya sudah pasti Dewa Bayu.
Untuk yang ketiga kalinya Pendekar Rajawali Sakti bersuit. Kali ini lebih keras dan nyaring. Waktunya pun sedikit lebih lama, dibanding suitan yang pertama dan kedua. Tapi yang ditunggu-tunggunya ternyata belum juga muncul. Wajahnya tampak kecewa, ketika pandangan matanya yang menyorot ke angkasa luas belum menemukan tanda-tanda sosok burung rajawali raksasa, yang biasa menjadi tunggangannya. Seekor burung raksasa yang juga guru, sahabat, bahkan orangtua angkatnya semasa di Lembah Bangkai. Sejak kecil, Rangga memang diasuh oleh burung rajawali raksasa yang diberi nama Rajawali Putih.
"Mungkin dia tidak mendengar panggilanku," gumam Pendekar Rajawali Sakti sambil menurunkan wajahnya.
"Hieee...!" Kuda hitam bernama Dewa Bayu meringkik halus. Pendekar Rajawali Sakti segera menoleh disertai senyum manisnya. Lalu didekatinya dan diusap-usapnya leher Dewa Bayu. Baru saja Rangga hendak melompat kepunggung kudanya, mendadak....
"Kraaagkh...!"
"Hei?!"
Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar di angkasa. Saat itu juga kepalanya mendongak ke angkasa. Dan bibirnya langsung tersenyum kembali, ketika di angkasa terlihat satu titik benda putih keperakan tengah melayang-layang dengan kecepatan dahsyat.
"Ah! Ternyata Rajawali Putih mendengar panggilanku!" seru Rangga girang. "Ke sini Rajawali Putih!" Rangga berteriak sambil memberi isyarat dengan tangannya.
"Kraaagkh...!" Dengan kecepatan dahsyat, burung besar itu mengepak-ngepakkan sayapnya, lalu menukik ke bawah. Makin lama, bentuk asli burung itu makin jelas. Sampai akhirnya, tampak seekor burung rajawali raksasa yang besarnya hampir menyamai sebuah bukit!
"Kaaakgkh...!"
Pemuda itu tersenyum, begitu Rajawali Putih mendarat di depannya sambil menggerak-gerakkan lehernya. Pelan-pelan dihampirinya burung raksasa itu.
"Telah lama kita tidak bertemu. Rajawali! Mudah-mudahan kau baik-baik saja...!" kata Pendekar Rajawali Sakti sambil mengusap-usap leher hewan raksasa itu.
"Kraaagh...!" Rajawali Putih memberi isyarat dengan suaranya. Dan sepertinya Rangga mengerti betul apa yang dikatakan burung raksasa itu.
"Kau ingin mengatakan sesuatu?" Dahi Pendekar Rajawali Sakti berkerut, mendengar suara rajawali raksasa ini.
"Kaaagkh...!"
"Apa yang hendak kau tunjukkan padaku, Rajawali Putih?"
"Kagkh...!" Rajawali Putih memekik nyaring, siap hendak terbang.
"Baiklah, baiklah...! Aku akan ikut denganmu...!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga berpaling pada Dewa Bayu tunggangannya. Segera dihampirinya kuda berbulu hitam mengkilat itu. Beberapa saat dielus-elusnya leher Dewa Bayu. Kuda hitam itu meringkik halus, kemudian berbalik. Dan dengan kecepatan kilat, binatang ini pergi meninggalkan bukit.
"Ayo, kita berangkat sekarang! Tunjukkan padaku apa yang hendak kau perlihatkan!" ujar Rangga, begitu Dewa Bayu tidak terlihat lagi.
"Kargh...!"
"Hup!" Dengan gerakan manis sekali. Pendekar Rajawali Sakti melenting dan mendarat tepat di leher Rajawali Putih. Begitu indah gerakannya, sehingga tak terdengar suara sedikit pun ketika hinggap.
Rajawali Putih segera merentangkan kedua sayapnya. Dan ketika sayapnya dikepakkan, saat itu juga mereka melesat ke atas. Burung raksasa itu berputar sekali, lalu melesat ke arah tenggara!
Rajawali Putih memang bukan burung biasa. Dia seperti burung penjelmaan dewa yang sengaja turun hendak membimbing Pendekar Rajawali Sakti. Tak heran kalau kemudian Rangga di bawah asuhannya berubah menjadi pendekar yang pilih tanding. Bahkan namanya telah terukir sebagai pendekar pujaan atas yang memerangi keangkaramurkaan.
"Kaaakgkh...!" Burung raksasa itu berteriak nyaring, ketika hampir sampai di tujuan.
"Ya.... Aku juga melihatnya, Rajawali. Cepatlah menuju kesana!" ujar Pendekar Rajawali Sakti. "Hm.... Apa yang terjadi di sana? Cepat, Rajawali. Rendahkan terbangmu!"
Burung raksasa itu pun merendahkan terbangnya.
"Astaga!" seru Rangga kaget, begitu melihat pemandangan yang menggiriskan dibawah sana.
Ternyata Rajawali Putih membawa Pendekar Rajawali Sakti ke permukaan laut didekat gugusan pulau sebelah barat Pulau Jawadwipa. Dan tepat di dekat Pulau Perawan, terlihat mayat-mayat mengambang, dipermainkan ombak. Sebagian mayat-mayat itu merapat ke pantai. Tapi yang lainnya hanyut makin ke tengah.
"Seperti pembantaian...!" gumam Rangga, seperti tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. "Inikah yang kau maksud?"
"Kaaakgkh...!"
"Baiklah. Akan kita selidiki, apa yang terjadi di bawah sana. Bawa aku ke salah satu pulau kecil!" ujar Pendekar Rajawali Sakti, langsung menunjuk ke satu arah.
Rajawali Putih langsung menukik ke pulau yang ditunjuk Rangga.
"Begitu aku melompat, terbanglah kembali, Rajawali Putih! Tunggulah aku di atas sana. Awasi aku!" teriak Rangga, berusaha mengalahkan deru angin ketika Rajawali Putih menukik ke bawah. "Hup!"
Rangga cepat melompat dan mendarat di tanah, sementara rajawali raksasa itu kembali melesat. Segera dihampirinya beberapa sosok tubuh yang terdampar dipantai pulau ini.
"Hm.... Orang-orang ini sudah mati. Tubuhnya menggembung karena terkena air laut. Penuh luka senjata tajam," gumam Rangga pelan, sambil mengamati keadaan mayat-mayat itu.
Kini Rangga segera menyusuri pantai. Beberapa sosok tubuh lagi ditemuinya. Kebanyakan dari mereka adalah wanita berusia muda. Dan melihat dari wajahnya, rata-rata cukup cantik.
"Hm.... Cukup banyak juga jumlah mereka. Dari mana asalnya? Dan apa yang telah menimpa mereka?" gumam Rangga pendek, seraya melompat ke atas sebuah batu karang.
Begitu hinggap di atas batu karang, Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
"Sulit menentukan, dari mana asal mereka. Mayat-mayat ini agaknya telah lama di air. Paling tidak sejak tadi malam," lanjut Rangga lirih. "Tapi rasanya tidak berasal dari tempat jauh. Mungkin..., pulau besar itu!"
Rangga memandang tajam pada sebuah pulau yang paling besar, di antara sekian banyak gugusan pulau yang berada di sekitar wilayah ini. Jarak pulau besar itu dari tempatnya berpijak, dihalangi dua pulau kecil lainnya. Namun begitu, matanya masih melihat bagian lain dari pulau itu. Terlalu jauh untuk melihat, apa yang terjadi. Sebab hanya pepohonan belaka yang terlihat.
Rangga kembali melompat turun, dan kembali menyusuri pantai, sambil mengedarkan pandangannya. Baru saja kakinya melangkah beberapa tindak...
"Haaa...!"
"Hei?!" Pendekar Rajawali Sakti sedikit terkejut, namun cepat berbalik begitu terdengar sebuah suara dari belakangnya. Tahu-tahu dari balik semak-semak melompat seseorang mengayunkan sebilah golok.
Wut! Wuttt!
"Uts!" Dua kali sambaran ke leher dan pinggang, mudah sekali dielakkan Pendekar Rajawali Sakti dengan meliuk-liukkan tubuhnya. Saat gadis itu hendak menikam jantungnya, Rangga berkelit kekanan. Tiba-tiba ditangkapnya pergelangan tangan gadis itu lalu ditekuknya. Sementara tangan kanannya menotok ke tubuh gadis ini.
Tuk!
"Aaah...!" Saat itu juga, gadis dalam telikungan Pendekar Rajawali Sakti terkulai. Golok dalam genggamannya langsung terlepas.
"Nisanak, maafkan. Aku tidak bermaksud buruk kepadamu...," ujar Rangga, halus.
Tapi tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti terkejut ketika melihat perut gadis ini meneteskan darah segar. Barulah disadari kalau gadis itu telah terluka sejak tadi. Ketika bergerak, balutan lukanya terlepas. Dan luka yang mulai mengering kembali berdarah.
"Mari kubantu, Nisanak...!" Rangga cepat menotok beberapa bagian di sekitar lukanya untuk menghentikan pendarahan. Mula-mula gadis itu melotot marah. Tapi ketika tahu kalau pemuda itu hendak menolong, dia diam saja.
"Apa yang terjadi denganmu? Dan mayat-mayat siapa itu?"
"Apa gunanya kau tanyakan? Kau adalah bagian dari mereka! Dan lebih tahu, apa yang kau lakukan terhadap kami!" sahut gadis itu ketus.
"Nisanak! Aku tidak mengerti bicaramu...."
"Tidak perlu berpura-pura. Kau mungkin saja menolongku. Tapi aku tidak butuh pertolonganmu!" tukas gadis ini, masih dengan nada garang.
Rangga menghela napas pendek.
"Kau dalam keadaan terluka parah, Nisanak! Sebaiknya, singkirkan pikiran burukmu terhadapku!" ujar Rangga, kalem.
Gadis itu tidak menjawab. Sedikit pun matanya tak memandang Pendekar Rajawali Sakti.
"Maaf kalau terpaksa aku menotokmu. Kalau kau berjanji tidak menyerangku lagi, maka akan kubebaskan totokanmu. Aku bukan musuhmu. Percayalah!" kata Rangga, sambil tersenyum.
Tapi gadis itu tidak menoleh. Apalagi menyahut! Kembali tangan Rangga bergerak cepat. Dan....
Tuk!
Rangga melepaskan totokan. Namun gadis ini masih tetap tidak bergerak sedikit pun.
"Nisanak! Apa yang telah terjadi di sini? Siapakah kau? Dan siapa pula mayat-mayat itu?" tanya Rangga.
"Kau ingin tahu apa yang terjadi di sini? Hm.... Sebuah malapetaka. Namaku Mardani, salah satu penghuni pulau ini. Dan aku adalah korban malapetaka yang terjadi, disamping mayat-mayat itu!" jelas gadis bernama Mardani, sambil menunjuk ke arah mayat-mayat itu.
"Jadi mayat-mayat itu kawan-kawanmu? Apa yang terjadi dengan kalian?"
Gadis itu menoleh kepada Rangga dengan tatapan tajam.
"Siapa kau? Dan apa urusanmu dengan kami?" Mardani malah balik bertanya.
Nada suara gadis itu terdengar angkuh dan tidak bersahabat. Bahkan dengan raut mukanya, tampak sangat memandang rendah kepada Pendekar Rajawali Sakti.
"Namaku Rangga...," sahut pemuda itu ramah. "Aku memang tidak punya kepentingan pribadi."
"Kalau begitu pergilah. Dan tidak usah campuri urusan kami!"
Nada bicara Mardani betul-betul ketus. Dan sepertinya tidak mau bersahabat sedikit pun! Rangga hanya menarik napas panjang seraya bangkit berdiri.
"Baiklah, kalau memang demikian kehendakmu. Agaknya aku memang tidak perlu ikut campur urusan orang lain. Aku mohon pamit...!" desah Pendekar Rajawali Sakti seraya melangkah.
Tapi baru saja beberapa langkah, mendadak Pendekar Rajawali Sakti melihat sebuah perahu kecil menuju ke arah mereka, dari pulau yang paling dekat dengan pulau ini. Gadis itu tampak geram. Tapi buru-buru dia bersembunyi. Melihat itu, Rangga pun ikut bersembunyi tidak jauh darinya. Perahu itu memang mendarat di pulau ini. Dari dalamnya turun lima lelaki bertampang kasar yang masing-masing memegang sebilah golok panjang.
"Kurang ajar! Ke mana lagi harus kita cari mereka?!" desis salah seorang yang wajahnya dipenuhi bulu. Sejak turun dari perahu dia terus memaki-maki tak karuan.
"Diam, Panjalu. Tidak usah banyak ribut!" sentak seorang laki-laki bertampang penuh bopeng.
"Hei?! Kau tidak perlu membentak begitu, Sindu! Kau bukan majikanku!" balas orang yang dipanggil Panjalu dengan nada tidak senang.
"Yang menjadi pimpinan adalah Gagas Kelana. Dan dia adalah pimpinan kami! Apa mau kalian?!" balas Sindu tak mau kalah.
Panjalu dan Sindu terus bersitegang. Dan anehnya, kawan-kawan mereka sama sekali tidak melerai.
"He, jadi kau kira begitu?! Kau mengecilkan kehadiran Ki Muwangkoro?!" dengus Panjalu, geram.
"Tidak usah banyak mulut! Kalian sama-sama tahu, Ki Gagas yang memimpin penyerangan ini. Maka dialah yang menjadi pimpinan semua!" tukas Sindu.
"Brengsek! Apa maumu bicara soal pemimpin segala? Apa kau kira dengan begitu bisa berbuat seenaknya pada kami?!"
"Hehehe...! Kawanan kalian hanya sekumpulan tikus yang coba-coba mengaum di depan kawanan serigala!" ejek Sindu, lebih keras lagi.
"Jaga bicaramu. Keparat! Tidakkah kau sadar kalau aku bisa gelap mata dan membunuhmu?!" sentak Panjalu.
"Kau ingin membunuhku? Hehehe...! Meski kalian bertiga, belum tentu bisa membunuhku," sahut Sindu dengan sikap merendahkan.
Mendengar itu bukan main geramnya Panjalu. Amarahnya tidak bisa ditahan lagi. Apalagi, saat kedua kawannya mulai memanas-manasi.
"Sikat saja mereka! Biar orang-orang ini tahu, siapa kita!"
"Betul, Panjalu. Bereskan saja. Lalu katakan, bahwa mereka disergap musuh!" timpal yang seorang lagi.
Maka tanpa pikir panjang lagi, Panjalu langsung menghunus golok. Seketika tangannya cepat mengibaskan golok ke arah Sindu.
"Hih!"
"Uts!" Dengan mudah Sindu berkelit ke samping. Lalu kakinya terayun, melepaskan tendangan menggeledek.
"Yeaaa...!"
"Hup!" Namun Panjalu cepat melompat ke belakang, sehingga serangan Sindu luput dari sasaran. Sebelum Sindu mengejar, dua kawan Panjalu telah melompat lebih dulu untuk membantu.
"Jangan khawatir, Panjalu. Kita bereskan mereka secepatnya!" kata salah seorang kawan Panjalu.
Melihat pertarungan yang tidak seimbang, kawan Sindu juga tidak tinggal diam. Dia langsung melompat menghadang kedua orang itu.
"Biar kuhadapi Panjalu dan Gandung ini, Setiaji! Kau bereskan saja si Reksa," ujar Sindu.
"Beres!" sahut laki-laki yang dipanggil Setiaji.
Pertarungan tak dapat dielakkan lagi. Tapi meski dikeroyok dua, Sindu agaknya mampu mengatasi. Bahkan pelan-pelan mulai mendesak Panjalu dan Gandung.
"Yeaaa...!" Pada satu kesempatan, Sindu meluncur sambil membabatkan goloknya. Pada saat yang sama, Gandung juga melesat disertai sabetan golok panjangnya. Dan....
Trang!
Begitu terjadi benturan senjata, dengan gerakan dahsyat Sindu memutar goloknya, lalu langsung dikelebatkan ke perut Gandung. Sehingga....
Brettt!
"Aaakh...!" Gandung memekik kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung sambil memegangi perutnya yang robek ditebas golok Sindu. Panjalu bermaksud membantu, tapi Sindu terus memburu Gandung yang sudah ambruk di tanah dan tengah sekarat.
Cras!
"Aaa...!" Golok panjang di tangan Sindu tidak mengenal ampun. Langsung dibelahnya dada Gandung yang sudah tidak berdaya.
"Biadab!" desis Panjalu geram.
"Tidak usah banyak bicara! Kau akan mengalami nasib yang sama dengannya!" tukas Sindu, enteng saja.
"Aku akan menyeretmu untuk ke akhirat bersama kawanku!" Baru saja Panjalu berteriak sambil melompat menerjang....
"Aaa...!" Kembali terdengar jeritan. Kali ini Reksa yang menjadi lawan Setiaji menjadi korban. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Dada kanannya berlubang terkena tikaman senjata Setiaji.
"Heaaat!"
Panjalu membatalkan serangannya. Dan dia bermaksud melindungi kawannya yang bernama Reksa dari serangan Setiaji selanjutnya. Tapi Sindu ternyata lebih cepat bergerak. Golok di tangannya cepat dilemparkan ke arah leher Reksa yang terhuyung-huyung. Dan....
Cras!
"Hokh!"
"Hei?!" Kembali Panjalu terkesiap, melihat leher Reksa telah tertancap golok yang dilemparkan Sindu. Berarti dua kawannya telah tewas dalam waktu singkat secara mengenaskan.
"Biadab! Aku harus membalas kematian mereka berdua, lebih kejam daripada yang kalian lakukan!" bentak Panjalu penuh amarah.
"Tidak usah buang-buang tenagamu. Sebentar lagi kau akan menyusul mereka...," ejek Sindu, setelah mencabut goloknya yang tertancap di leher lawannya.
"Heaaat...!" Saat itu juga Sindu langsung melompat menyerang dengan ayunan goloknya. Pada saat yang sama, Setiaji dan Sindu sudah sama-sama meluruk dengan sambaran golok masing-masing. Namun apalah daya Panjalu saat ini? Apalagi kini harus menghadapi kerubutan dua orang. Kini tampak serangan masing-masing pihak akan bertemu di udara.
Trang!
Sambaran golok Setiaji berhasil dipapak Panjalu dengan memalangkan goloknya ke depan wajah. Namun pada jarak yang hampir bersamaan, Sindu membabatkan goloknya ke perut.
"Hup!" Cepat bagai kilat, Panjalu menjatuhkan diri ketanah. Namun, ternyata Sindu dapat mengejarnya.
Dan baru saja dia bangkit, Sindu telah melepaskan tendangan ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Duk!
Panjalu terhuyung-huyung ke belakang disertai keluhan tertahan, begitu tendangan Sindu berhasil bersarang di dadanya. Meski tidak terlalu keras, tapi cukup membuatnya lengah. Sehingga Setiaji yang telah siap sejak tadi cepat membabatkan senjatanya ke perut.
Crasss!
"Aaah...!" Panjalu kontan memekik keras, begitu perutnya robek mengeluarkan darah. Tentu saja, hal ini membuat gerakannya terhambat.
"Heaaat...!" Pada saat itu Sindu sudah melompat dengan senjata di tangan, siap menghabisi Panjalu.
"Yeaaa...!"

***

164. Pendekar Rajawali Sakti : Istana Tulang EmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang