BAGIAN 8

112 9 0
                                    

Seperti dua orang musuh yang saling melepaskan dendam kesumat masing-masing, Gagas Kelana yang memang sejak semula ingin menyingkirkan Ki Muwangkoro, sudah barang tentu tidak mau mengalah begitu saja. Demikian pula sebaliknya Ki Muwangkoro. Orang itu merasa dikhianati. Padahal, Gagas Kelana sudah dianggap sebagai kawan. Sehingga dendamnya semakin bergejolak dan tidak dapat ditahan lagi.
Kepandaian mereka sebenarnya seimbang. Sehingga sulit untuk menentukan, mana yang lebih unggul. Tidak heran kalau keduanya sama-sama mengalami luka parah yang cukup seimbang.
"Apa yang harus kita lakukan terhadap mereka?" tanya Kembang Taji.
"Tidak usah ditangkap atau dipisahkan. Untuk sementara, biarkan mereka saling baku hantam. Kita kumpulkan saja anak buah Muwangkoro itu ke sini."
"Prajurit-prajuritku segera melakukannya!"
Kembang Taji segera memberi isyarat pada seorang prajurit, lalu mereka bicara sebentar. Kemudian, prajurit itu segera berlalu.
Sementara menunggu, mereka kembali melihat pertarungan antara Gagas Kelana melawan Ki Muwangkoro. Keduanya sama-sama jatuh lemas. Gagas Kelana mendapat luka dipinggang, sedang perut Ki Muwangkoro robek disambar senjata. Meski begitu keduanya masih berusaha bangkit dan bermaksud menghabisi.
"Keparat kau, Gagas! Aku tidak akan puas sebelum kau mati!" desis Ki Muwangkoro.
"Huh! Kau kira bisa menghabisiku, Setan! Kaulah yang akan mampus di tanganku!" balas Gagas Kelana.
"Uhhh...! Hiiih...!" Ki Muwangkoro mengkertak rahang, lalu mengibaskan pedangnya. Namun Gagas Kelana cepat dapat menangkisnya.
Trang!
Pedang itu terus bergeser, menyambar pangkal leher Gagas Kelana.
Crasss!
Pada saat yang sama senjata Gagas Kelana menghunjam dalam ke jantung kiri Ki Muwangkoro.
Bles!
"Aaah...!"
Keduanya sama-sama terpekik. Gagas Kelana lebih dulu roboh dengan kepala nyaris putus. Sementara Ki Muwangkoro terhuyung-huyung ke belakang sambal memegangi pedang yang menancap di dadanya.
"To..., tolong...," ujar Ki Muwangkoro lemah, seraya menggapai-gapaikan tangan.
Rangga buru-buru mendekat, memeriksa lukanya. Namun baru saja memegang tubuh Ki Muwangkoro, orang itu telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Pendekar Rajawali Sakti hanya menggeleng lemah dan merebahkannya pelan-pelan ke tanah.
Pemuda itu kemudian bangkit berdiri, lalu menatap agak lama pada mayat itu. Kemudian kepalanya berpaling. Beberapa anak buah Ki Muwangkoro yang berada ditempat itu, buru-buru menghampiri jenazah pemimpinnya.
"Kisanak! Kami mengucapkan terima kasih atas bantuanmu...," ujar salah seorang anak buah Ki Muwangkoro yang tak lain Panjalu.
Memang dari Panjalu-lah Ki Muwangkoro serta yang lainnya mengetahui kalau mereka telah dikhianati Gagas Kelana.
"Kau juga membantu kami. Nah, mewakili mereka aku pun mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu dan kawan-kawanmu," sahut Rangga.
"Kami akan angkat kaki dari pulau ini sekarang juga...," suara Panjalu terdengar lesu.
Wajah Pendekar Rajawali Sakti mendongak ke atas. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat Dan di sekitar tempat ini, obor-obor telah dinyalakan sebagai penerangan.
"Kurasa Ratu Kembang Taji tidak keberatan, kalau kau dan kawan-kawanmu menginap barang semalam...," kata Rangga.
"Kalian boleh menginap satu malam ini. Lalu, besok pagi pergilah! Kami akan menyiapkan perahu-perahu untuk kalian!" sahut Kembang Taji cepat.
"Terima kasih, Ratu. Kami akan berangkat pagi-pagi sekali!"
"Dan ingat! Jangan coba-coba mempermainkan rakyat serta para prajuritku. Kecuali, mereka suka dengan sendirinya. Bila ada saja yang berani mengganggu, maka aku tidak akan segan-segan menghukum pancung kepala kalian!"
"Aku akan ingat hal itu. Sang Ratu...."
Kembang Taji memberi isyarat pada lima prajurit. Maka mereka segera mengajak Panjalu dan kawan-kawannya untuk beristirahat.
"Hm.... Kau memang seorang ratu yang bijaksana," puji Rangga.
Kembang Taji tersenyum.
"Aku belajar banyak dari pengalaman. Juga dari Guru Suci. Aku belajar untuk bersikap arif pada musuh," jelas Kembang Taji.
"Rakyat serta seluruh penghuni negeri ini pasti suka padamu."
"Terima kasih...."
Sementara itu, Panglima Kijang Merah telah kembali bersama Guru Suci dan para Guru Tua, serta Nenek Kampar Ilir. Kembang Taji segera memberi hormat pada mereka. Demikian pula Rangga.
"Hm.... Inikah pemuda gagah yang telah membantu kita?" tanya Guru Suci dengan suara bergumam dan bibir tersenyum.
"Guru Suci! Masih ingatkah kau dengan salah satu ketentuan di kerajaan ini?" tanya salah seorang dari Guru Tua yang berjumlah lima orang.
"Hm, tentang apa itu?" Guru Suci malah balik bertanya.
"Setiap laki-laki yang berjasa bagi negeri, maka derajatnya akan kita tinggikan...."
"Ya, aku ingat itu." Guru Suci memandang Pendekar Rajawali Sakti. Lalu diusapnya kening dan dahi Rangga.
"Dengan berkatku, mana kutinggikan derajat serta martabatmu, Anak Muda!" seru Guru Suci.
"Terima kasih. Aku senang sekali dengan pemberkatan kalian. Tapi harap tidak salah mengerti. Aku berasal dari dunia luar. Dan selama ini, selalu berpendapat bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama. Ada pun mereka yang hina adalah yang melakukan kejahatan...," ucap Rangga, kalem.
"Hehehe...! Benar sekali kau, Anak Muda...!" seru Nenek Kampar Ilir. "Tapi seperti yang telah kau katakan, kau dari dunia luar. Maka di sini, hal itu penghargaan yang tiada tara. Kau diberkati langsung oleh Guru Suci!"
Rangga terdiam sejenak.
"Ya, mungkin Nenek ini ada benarnya," ucap Pendekar Rajawali Sakti lirih.
"Nenek Kampar Ilir adalah penasihatku, sekaligus penasihat kerajaan...," jelas Kembang Taji.
"O, ya? Pantas. Kata-katanya sungguh bijaksana!" seru Rangga seraya tersenyum.
Tapi Nenek Kampar Ilir sama sekali tidak tersenyum. Orang tua itu malah menatap tajam kepada Pendekar Rajawali Sakti.
"Anak Muda, hati-hati bicaramu! Kau berada di pulau ini, dan segalanya harus pakai aturan!" desis Nenek Kampar Ilir.
"Nenek Kampar Ilir! Terima kasih atas nasihatmu. Aku bisa menjaga diriku sendiri!" Setelah berkata begitu, Nenek Kampar Ilir melengos dan meninggalkan tempat ini.
Guru Suci serta para Guru Tua jadi tidak enak hati. Terlebih lagi Kembang Taji. Agaknya antara pemuda itu dengan Nenek Kampar Ilir tidak saling cocok. Namun begitu, sebagai seorang ratu, dia harus bertindak bijaksana. Maka dengan ramah diajaknya, Pendekar Rajawali Sakti masuk ke dalam istana.
Tapi tidak berapa lama. Guru Suci serta para Guru Tua meninggalkan mereka berdua. Menyusul, Panglima Kijang Merah serta para prajurit lainnya yang tadi mengikuti.
"Kenapa mereka pergi...?" tanya Rangga heran.
"Mereka merasa malu denganmu...."
"Malu kenapa?"
"Seorang laki-laki, ternyata menjadi dewa penolong kami. Padahal negeri ini telah telanjur menganggap rendah derajat laki-laki. Lalu ketika Guru Suci memberi, anugerah, ternyata Nenek Kampar Ilir seperti tidak setuju. Dan yang lebih membuat mereka malu, karena kau pun ternyata tidak mau menerima anugerah itu," jelas Kembang Taji.
Rangga terdiam, dan mengerti apa yang terjadi. Pemuda itu merenung beberapa saat.
"Maaf.... Sebenarnya aku tidak bermaksud begitu," ucap Rangga, lemah.
Kembang Taji tidak menjawab. Gadis itu terdiam. Pikirannya menerawang entah kemana. Rangga menunggu beberapa saat. Dan ketika gadis itu belum juga berpaling, pemuda ini memberanikan diri untuk membuka pembicaraan lagi.
"Mungkin kehadiranku disini tidak diperlukan lagi...."
"Eh, apa? Oh, maaf! Aku tidak bermaksud membuatmu susah!" ucap Kembang Taji.
"Aku telah cukup menyusahkan kalian, bukan?" tanya Rangga.
Kembang Taji tidak langsung menjawab. Gadis itu menarik napas agak panjang.
"Kita berasal dari dunia yang berbeda. Baik adat istiadat dan kebiasaan. Sehingga setiap benturan yang terjadi, hendaknya bisa disadari dan tidak menimbulkan pertikaian. Apalagi sampai menciptakan permusuhan. Rangga! Aku tidak pernah berpikir bahwa kau menyusahkan. Bahkan dengan jujur kukatakan, bahwa kau adalah pahlawan kami. Semua orang di negeri ini pasti akan mengingat dan mengenangmu," tutur Kembang Taji, lirih.
"Terima kasih...," desah Rangga, halus.
"Kau tidak merasa tersinggung, bukan?"
Rangga tersenyum. Sebagai seorang yang hidup di lingkungan yang tidak menghargai arti laki-laki, rasanya agak janggal bila Kembang Taji menanyakan perasaannya. Tapi sebagai seorang ratu, agaknya Rangga bisa menilai bahwa gadis ini lebih arif ketimbang yang lainnya.
"Tidak," jawab Rangga, singkat.
"Syukurlah...."
"Eh, aku sampai lupa! Bagaimana anak buah Gagas Kelana?"
"Para prajuritku telah membereskan mereka!"
"Tapi sayang, sebelumnya mereka sempat bertolak. Mungkin saat ini, si Hiu Perak tengah mempersiapkan armada untuk menyambut kemenangan anak buahnya."
"Ya! Aku pun tengah memikirkan hal itu," sahut Kembang Taji masygul. "Jumlah prajurit kami berkurang banyak. Dan rasanya tidak akan sanggup menahan seandainya mereka menyerang kembali...."
"Ya, aku bisa mengerti. Mestinya Ki Muwangkoro dan anak buahnya bisa kita manfaatkan. Tapi kalau mereka tidak kembali, pemimpinnya tentu akan bertanya-tanya. Dan bukan tidak mungkin, akan bertolak kesini," kata Rangga.
"Aku jadi merasa bahwa kemelut ini akan semakin kacau dan tak ada akhirnya," desah Kembang Taji.
"Kau ingin aku membantumu lagi?"
"Aku sungkan untuk memintanya."
"Aku akan membantu kalian tanpa diminta."
Kembang Taji terdiam sesaat.
"Bagaimana caramu membantu kami?"
"Malam ini juga, akan kupastikan kalau atasan Ki Muwangkoro mengetahui kalau mereka telah dikhianati kawannya sendiri. Dengan begitu, kuharap mereka akan saling berperang!"
"Bagus sekali! Tapi bagaimana caranya?"
"Akan kubawa Ki Muwangkoro menghadap pemimpinnya malam ini juga!"
"Malam ini? Bagaimana mungkin? Perairan di sekitar pulau ini sering mengganas di malam hari. Kalian tidak akan selamat. Lagi pula, hal itu memerlukan waktu cukup lama!" tanya Kembang Taji, heran.
"Tidak usah khawatir...," sahut Rangga, enteng.
"Maksudmu?"
"Sudahlah.... Yang jelas setelah aku berhasil meyakinkan pemimpin mereka aku tidak bisa kembali lagi," kata Rangga.
Kembang Taji terkesiap. Di pandanginya pemuda itu sejurus lamanya, seperti tidak percaya akan pendengarannya tadi.
"Kau..., kau akan pergi meninggalkan kami...?"
"Kehadiranku di sini hanya untuk membantu kalian. Bila segalanya telah selesai, maka aku harus pergi. Banyak orang lain yang mungkin memerlukan pertolonganku," sahut Pendekar Rajawali Sakti sambil tersenyum.
"Berarti kita tidak akan bertemu lagi?"
"Kita akan bertemu bila panjang umur. Dan kau bisa saja menemuiku kapan saja kau suka!"
"Di mana?"
"Di sebuah negeri bernama Karang Setra. Negeri itu terletak di tanah Jawadwipa di bagian timur. Bila kau mendarat di pulau besar yang berada di utara itu, maka teruslah ke timur. Bila menunggang kuda, maka akan tiba empat hari perjalanan setelah diselingi istirahat," jelas Rangga.
"Karang Setra? Hm.... Aku akan mengingatnya. Orang-orang di sana pasti akan mengenalmu?" tanya Kembang Taji.
"Ya! Mereka akan kenal Pendekar Rajawali Sakti."
"Pendekar Rajawali Sakti? Begitukah mereka memanggilmu?"
"Begitulah orang-orang persilatan memanggilku," sahut Pendekar Rajawali Sakti.
Kembang Taji tersenyum kecil.
"Aku berangkat sekarang. Akan kupastikan segala sesuatunya beres. Dan tidak usah khawatir. Sebab bila pemimpin Ki Muwangkoro tidak mau kuhasut, akan kuhancurkan mereka. Juga, si Hiu Perak itu," tandas Pendekar Rajawali Sakti.
"Terima kasih...."
Rangga segera meninggalkan tempat itu untuk menemui Ki Muwangkoro, lalu pergi meninggalkan pulau ini sekarang juga. Sementara Kembang Taji masih memperhatikan pemuda itu dari jendela kamarnya. Wajah gadis itu tampak muram. Bola matanya berkaca-kaca. Dan entah kenapa, kedua pipinya terasa hangat ketika beberapa tetes air mata membasahi. Entah apa yang dirasakannya saat ini.

***

TAMAT

🎉 Kamu telah selesai membaca 164. Pendekar Rajawali Sakti : Istana Tulang Emas 🎉
164. Pendekar Rajawali Sakti : Istana Tulang EmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang