Wajah Gagas Kelana terkesiap kaget, tapi perlahan-lahan mengembangkan senyum. "Agaknya kau terlalu mencurigai kami, Sobat. Mana mungkin kami akan berbuat begitu? Kalian adalah kawan sendiri. Dan kita telah sepakat, bahwa harta benda serta seluruh kekayaan yang ada di sini akan dibagi rata," ujar Gagas Kelana berkilah.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Kita telah taklukkan mereka. Dan kita telah memperoleh apa yang diinginkan! Kenapa tidak lekas angkat kaki dari sini?" tanya Ki Muwangkoro.
"Sabarlah, Sobat. Masih banyak yang harus kita temukan di sini. Tidakkah kau lihat, bahwa tempat ini amat menakjubkan?" kilah Gagas Kelana.
"Kami tidak butuh hal-hal lain, Gagas Kelana. Tentukan bagian kami. Dan kami segera akan angkat kaki dari sini!" dengus Ki Muwangkoro.
"Hm.... Kenapa terburu-buru? Apakah kau dan anak buahmu tidak ingin bersenang-senang dulu? Disini segalanya tersedia. Bahkan wanita-wanita cantik tinggal pilih saja. Lagi pula, beberapa anak buahmu masih belum kembali. Juga beberapa lainnya tengah menemani anak buahku untuk melapor pada si Hiu Perak."
"Kau boleh melapor pada pimpinanmu. Sedang aku tidak kau berikan perahu untuk melapor pada pimpinanku!"
"Sabar, sabar...! Bukankah Ki Seta telah menyerahkan urusan ini pada si Hiu Perak? Dia mempercayainya. Lalu, kenapa kau malah mencurigai kami? Apakah kau sengaja hendak merusak persahabatan yang telah terjalin diantara mereka?"
"Gagas Kelana! Aku tidak pandai bersilat lidah! Harap kau kabulkan saja keinginan kami. Berikan harta bagian kami, termasuk separuh wanita-wanita muda yang mendiami pulau ini. Setelah itu, kami akan angkat kaki dari sini!" sentak Ki Muwangkoro.
"Hahaha...! Tenanglah, Sobat. Itu soal mudah. Mana mungkin aku berani mengangkangi harta benda ini semua. Tentu saja akan kita bagi dua. Tapi kalau kau menginginkannya, Ki Seta akan kecewa sekali. Sebab dengan begitu kau telah menyerahkan pulau serta istana yang indah kepada kami...."
Ki Muwangkoro terdiam sesaat. Apa yang dikatakan Gagas Kelana memang benar. Bila dia meninggalkan tempat ini berarti istana serta isinya telah sah menjadi milik si Hiu Perak. Dan kalau pun dia meminta bagiannya segera, bukannya tanpa alasan. Ki Muwangkoro mulai mencium adanya ketidakberesan. Orang-orangnya mulai menghilang satu-persatu. Sementara, anak buah Gagas Kelana seperti mulai menguasai seluruh pelosok pulau ini.
"Bagaimana, Sobat...?" tanya Gagas Kelana sambil tersenyum-senyum kecil.
"Biar kuputuskan bersama anak buahku...."
"Hahaha...! Kau pemimpin mereka. Apa yang kau katakan mereka pasti menurut. Lagi pula, usulku itu tidak buruk. Karena demi kepentingan kita bersama. Kalau saja aku bermaksud buruk, maka tidak akan kuberitahu padamu tentang hal itu."
Ki Muwangkoro terdiam lagi untuk beberapa saat.
"Sudahlah, lebih baik kau kembali ke tempatmu dan bersenang-senang. Kenapa harus mempersoalkan hal-hal sepele yang bisa menimbulkan perselisihan diantara kita...?" ujar Gagas Kelana.
"Mungkin juga kau benar. Aku permisi dulu...!" sahut Ki Muwangkoro, pendek.
Orang itu segera meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi, diiringi senyum Gagas Kelana. Di depan pintu, dia bertemu salah seorang anak buah Gagas Kelana yang hendak ke dalam. Mereka sempat bertegur sapa, namun Ki Muwangkoro terus melangkah keluar.
"Kenapa tidak kau suruh aku membereskan orang itu?" tanya anak buah Gagas Kelana seraya duduk seenaknya di dekat pimpinannya.
"Tidak sekarang, Garlika. Kita jangan ceroboh dan tidak boleh seorang pun yang boleh lolos. Mereka harus mati, tanpa menyadari bahwa maut tengah mengintainya!" sahut Gagas Kelana sambil tersenyum-senyum.
"Huh! Sudah muak aku melihat mereka!" dengus laki-laki yang dipanggil Garlika.
"Hehehe...! Kau ini kenapa tidak bisa bersabar? Kalau terus begini, jangan-jangan kau malah membahayakan kedudukanku?!" kata Gagas Kelana.
"Sial kau, Gagas!" umpat Garlika. "Aku bukan sekadar anak buahmu. Tapi juga kawanmu sejak kecil. Apakah kau tidak mempercayaiku?!"
"Hahaha...! Aku hanya berkelakar, Sobat. Aku tahu, diantara kawan-kawanku, kaulah yang paling bisa dipercaya."
"Nah! Lalu urusan apa kau hendak memanggilku ke sini?"
Gagas Kelana tidak langsung menjawab. Tapi disuruhnya pergi kedua gadis itu dari ruangan ini lebih dulu.
"Kau tahu, harta disini cukup banyak. Kita bisa berbuat apa saja dengan harta ini, bukan?" ujar Gagas Kelana, berbisik.
"Benar. Maksudmu, akan kita kelabui saja si Hiu Perak itu?" tanya Garlika seperti kurang percaya.
"Hehehe...! Kau sungguh pintar, Sobat. Aku telah mengirim orang-orang yang bisa kupercaya menghadap kepadanya. Lalu disini, pelan-pelan akan kita singkirkan dulu si Muwangkoro beserta anak buahnya. Tapi sebelum itu, aku masih membutuhkan tenaga mereka. Oleh sebab itu, tidak perlu terburu-buru melenyapkan mereka," jelas Gagas Kelana.
"Pintar sekali kau, Sobat!" puji Garlika sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Hehehe...!" Gagas Kelana ikut tertawa girang bersamanya.
Pada saat itu muncul seorang dengan tergopoh-gopoh. Mukanya pucat dan tubuhnya gemetar.
"Celaka, Kang! Ada seorang pemuda sedang mengamuk!" lapor orang itu.
"Apa?! Kurang ajar! Tangkap dia. Dan bunuh sekaligus!" sentak Gagas Kelana.
"Tapi Kang.... Pemuda itu kuat sekali. Ba..., banyak anggota kita yang tewas di tangannya...."
"Kurang ajar!" dengus Gagas Kelana menggeram. Namun sebelum laki-laki itu semakin murka, Garlika cepat berdiri.
"Biar kulihat, siapa bocah itu. Tenang saja. Sobat. Akan kubereskan segera!" ujar Garlika, lalu melangkah lebar meninggalkan ruangan ini.
Memang, apa yang dikatakan orang tadi tidak salah. Sebagian anggota si Hiu Perak kini berkumpul di satu tempat, dan beramai-ramai mengerubuti seorang pemuda berbaju rompi putih. Dan Garlika tidak sempat memperhatikan, kalau anak buah Ki Muwangkoro ternyata tidak ikut membantu. Dia terlalu sibuk melihat korban yang jatuh semakin banyak.
"Berhenti semua! Biar kubereskan bocah ini!" bentak Garlika dengan suara menggelegar.
Saat itu juga, pertarungan berhenti. Sementara para anak buah Gagas Kelana segera menyingkir dan memberi jalan pada Garlika begitu mengetahui siapa yang muncul. Dan Garlika memandang sinis pada pemuda yang dikeroyok. Perlahan-lahan didekatinya dengan sikap mengancam.
"Bocah busuk! Kau cari mati berani datang ke sini!" desis Garlika geram.
"Tidak usah banyak mulut! Kedatanganku ke sini justru ingin mencabut nyawa busuk kalian semua!" sahut pemuda berbaju rompi putih itu, dingin. Dia tak lain memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Setan!" bentak Garlika geram.
Sret!
Laki-laki berusia sekitar tiga puluh delapan tahun itu langsung mencabut golok panjang dari pinggang. "Mampus kau! Yeaaa...!"
Disertai teriakan keras, Garlika meluruk kearah Pendekar Rajawali Sakti dengan sabetan goloknya. Tapi yang dihadapi Garlika adalah Pendekar Rajawali Sakti, seorang pendekar tingkat atas. Dengan pedang di tangan yang berhasil direbutnya dari tangan salah seorang lawan, Rangga menangkis senjata Garlika.
Trang!
Begitu habis terjadi benturan, Pendekar Rajawali Sakti cepat menyerang ganas. Sedangkan Garlika terkesiap. Ujung pedang itu nyaris menebas lehernya kalau tidak cepat melompat ke belakang. Dan baru saja menjejakkan kaki, serangan Pendekar Rajawali Sakti telah datang lagi. Dengan sebisanya, Garlika menangkis dengan golok panjangnya.
Namun Garlika kontan meringis, begitu telapak tangannya terasa linu dan sakit sekali sehabis menangkis. Dan dengan kerepotan, dia terpaksa membuang diri kesamping untuk menghindari tebasan senjata Pendekar Rajawali Sakti yang bertubi-tubi.
"Heaaat...!" Tubuh Pendekar Rajawali Sakti melompat dan mengejar Garlika yang bergulingan menghindarkan diri dari sambaran pedangnya.
"Hup!" Dan baru saja Garlika bangkit, satu tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di dadanya.
Des!
"Akh...!" Garlika memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal kebelakang. Dan sebelum sampai menyentuh tanah, senjata Pendekar Rajawali Sakti meluncur dengan serangan kilat.
"Hiiih!"
Bles!
"Aaa...!"
Gerakan Pendekar Rajawali Sakti cepat sekali. Bahkan orang-orang yang berada di sekitarnya tidak mampu mengikuti dengan pandangan mata. Yang terlihat, tahu-tahu pedang pemuda itu menancap dijantung Garlika. Tubuh Garlika terhempas ke belakang dengan darah mengucur deras dari luka di dada kiri. Nyawanya lepas beberapa saat kemudian.
"Siapa yang ingin menyusul, maju ke sini!" dengus Pendekar Rajawali Sakti, dingin.
Pandangan mata Rangga tajam mengawasi mereka satu-persatu. Dan untuk sesaat tampak mereka ragu-ragu melanjutkan serangan. Tapi sejurus kemudian, mungkin orang-orang itu menyadari kalau jumlah mereka banyak. Maka saat itu juga terdengar teriakan beberapa orang yang melompat menyerang Rangga secara serentak.
"Heaaat...!"
"Yeaaa...!"
"Huh!"
Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tidak tinggal diam jika tak ingin celaka. Sebelum mereka sempat melayangkan senjata, maka Rangga telah lebih dulu berkelebat menyerang dengan pengerahan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Sementara pedang di tangannya berkelebat bagai kilat, menyambar-nyambar.
Trang! Trak!
Cras! Bret!
"Aaa...!"
Korban-korban kembali berjatuhan. Namun begitu mereka terus bersemangat menyerang tanpa mengenal rasa takut. Sedangkan Rangga sendiri agaknya betul-betul ingin menunjukkan pada mereka, kalau mampu bertindak kejam. Sehingga pedangnya seperti tidak bermata dan menyambar siapa saja yang berada didekatnya.
Pada saat kemudian, mereka dikejutkan teriakan-teriakan nyaring dari arah lain. Beberapa orang anak buah Gagas Kelana tersungkur berlumuran darah. Tentu saja hal itu membuat mereka terkejut. Terlebih lagi ketika mengetahui bahwa orang-orang yang melakukan pembunuhan itu.
"Keparat! Mereka orang-orangnya Ki Muwangkoro!" seru salah seorang anak buah Gagas Kelana.
"Singkirkan mereka!"
"Bunuuuh...!"
Pasukan itu terpecah menjadi dua bagian. Tapi Rangga agaknya tidak membiarkan mereka pergi begitu saja. Pemuda itu kembali mengamuk, untuk mengejutkan mereka.
"Heaaa...!"
Tring! Breeet!
"Aaa...!"
Beberapa orang kembali ambruk bermandikan darah disambar pedang Rangga. Sehingga membuat yang lainnya semakin kalut. Sebab dengan begitu, anak buah Ki Muwangkoro akan terus menghajar mereka habis-habisan.
"Aaa...!"
Dalam pada itu kembali terdengar jerit kematian dari mana-mana. Dan banyak di antara anak buah Gagas Kelana yang tewas menemui ajalnya. Kali ini mereka dikagetkan, sebab yang menyerang adalah pasukan yang terdiri dari wanita. Penduduk asli pulau ini!
Dengan adanya serangan-serangan mendadak dalam waktu dekat membuat anak buah Hiu Perak yang berada di bawah pengawasan Gagas Kelana kocar-kacir. Sebagian malah terbirit-birit melarikan diri menyerbu pantai dan berebutan mencari perahu-perahu. Sementara yang terjebak dalam kepungan itu melawan mati-matian.
"Yeaaa...!" Pada saat itu juga mencelat sesosok tubuh, dan langsung menghantam anak buah Ki Muwangkoro.
Crass! Cras!
"Aaa.... Akh!"
Dua orang tewas seketika ditebas pedang panjang milik orang itu. Tapi ketika hendak menyerang lawan yang lain, Pendekar Rajawali Sakti telah melompat menangkis.
Trang! Wuuut!
"Uhhh...!" Sosok itu kontan terkesiap. Tangannya bergetar setelah menangkis senjata yang dipegang Pendekar Rajawali Sakti.
"Kaukah pemuda pengacau itu?!" dengus sosok ini geram.
"Bukan. Kau salah duga. Aku malaikat maut yang hendak mencabut nyawamu!" sahut Pendekar Rajawali Sakti, dingin.
Pada saat itu Ki Muwangkoro muncul dengan pedang masih berlumur darah.
"Sobat muda! Serahkan keparat Gagas Kelana itu padaku! Dia telah membunuh anak buahku!" dengus Ki Muwangkoro geram.
"Ki Muwangkoro! Apa-apaan ini?! Kau malah membela pemuda ini, dan bukannya bersatu denganku?!" hardik sosok yang ternyata Gagas Kelana.
"Gagas Kelana! Tidak perlu menjelaskan lagi. Kau memang pandai bersilat lidah. Tapi kali ini, aku tidak mau tertipu olehmu. Seorang anak buahku telah kembali. Dia menceritakan, bagaimana niat busukmu! Kau sertakan anak buahku mencari ratu mereka, tapi ternyata hal itu hanya siasat busukmu! Kau perintahkan anak buahmu membunuh mereka. Maka, kini aku menagih nyawa mereka dengan kepalamu!" sahut Ki Muwangkoro lantang.
Kelihatan sekali kalau Ki Muwangkoro tidak bisa menahan amarahnya. Langsung diserangnya Gagas Kelana dengan satu kelebatan yang cepat bagai kilat.
"Mampus kau!"
"Uts!" Gagas Kelana berkelit gesit. Kemudian senjatanya dikibaskan cepat balas menyerang. Namun, Ki Muwangkoro yang tengah diliputi amarah, dengan gerakan tidak kalah gesit cepat mengelak. Saat itu juga pertarungan sengit terjadi.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti tidak peduli pada pertarungan. Dia kembali menghajar anak buah Gagas Kelana.
"Heaaa...!"
Trang! Bret! Cras!
"Aaa...!"
Pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak mencari korban. Dua orang tewas seketika dengan leher nyaris putus. Dan seorang lagi menyusul dengan pinggang robek.
"Hup! Yeaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti terus melompat ringan, mendekati satu orang dari pasukan yang terdiri dari para wanita itu. Dia bermaksud melindungi dari serangan.
"Maaf, Kembang Taji...! Aku sedikit lengah, sehingga lupa tanggung jawabku...!" ucap Rangga seraya mengibaskan pedang, ketika ada dua serangan datang.
Trak! Cras!
"Aaa...!" Dua orang yang berada di dekatnya kontan memekik kesakitan ketika pedang Pendekar Rajawali Sakti menebas leher.
"Tidak apa. Aku mampu melindungi diriku...," sahut sosok yang tak lain Kembang Taji.
"Sudah bertemu Guru Suci serta para Guru Tua?"
"Sudah."
"Syukurlah."
Sementara itu, Kijang Merah bertempur dengan semangat menyala-nyala. Banyak musuh yang tewas di tangannya. Sedangkan para prajurit yang lainnya yang tadi dibebaskan, kini melampiaskan dendam pada orang-orang Gagas Kelana yang berbuat sesuka hatinya pada mereka. Sehingga begitu ada kesempatan membalas, maka mereka pergunakan sebaik-baiknya.
Anak buah Gagas Kelana agaknya tidak punya nyali lagi untuk bertahan dari serangan. Mereka yang masih sayang dengan nyawanya, berusaha menyelamatkan diri dan kabur dari tempat itu.
"Kejar! Jangan biarkan seorang pun dari mereka lolos!" teriak Kijang Merah, memberi perintah pada anak buahnya.
Maka dengan serta-merta para prajurit wanita itu mengejar orang-orang itu ke mana pun mereka pergi. Meskipun panglima mereka tidak memberi perintah, tetap saja gadis-gadis itu akan mengejar dan membinasakan lawan-lawannya. Bahkan sampai yang tengah berperahu pun dikejar dan diserang dari bawah laut.
Sedangkan sisanya, menjadi bagian anak buah Ki Muwangkoro. Mereka pun agaknya punya dendam yang sama meski kejadiannya berbeda. Orang-orang itu merasa dikhianati, setelah mengetahui kalau kawan-kawan mereka dibantai orang-orang yang selama ini dianggap kawan sendiri.
"Hm.... Agaknya semua berjalan sesuai rencana...," ujar Kembang Taji sambil tersenyum kecil.
"Syukurlah...," sahut Rangga.
Anak buah Gagas Kelana tinggal sedikit saja. Demikian pula anak buah Ki Muwangkoro. Sedangkan pimpinan mereka saat ini tengah terlibat pertarungan, ditonton Pendekar Rajawali Sakti dan yang lainnya.***
KAMU SEDANG MEMBACA
164. Pendekar Rajawali Sakti : Istana Tulang Emas
ActionSerial ke 164. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.