(END)[BL] Psychic (灵媒)

151-153

Psychic Chapter 151:

Peringkat "Dunia Luar Biasa" telah meledak lagi. Semakin banyak orang yang ingin tahu tentang Van Gogh. Tentu saja, mereka yang meragukannya semakin berusaha mencari tahu kekurangannya. Song Wenneng memukul besi sambil panas dan memberitahu semua orang untuk melaporkan ke stasiun TV bahwa dia telah merencanakan konten pengambilan gambar dari fase kelima dan keenam.

Ya, kali ini waktu pengambilan gambarnya cukup lama, dari jam 9:30 pagi sampai jam 8:30 malam, dua tembakan berturut-turut, karena foto "Ziweigong" yang dipotret sebelumnya diputuskan untuk dibuang setelah banyak pertimbangan. Agar tidak merusak bangunan kuno. Penonton yang didorong oleh rasa ingin tahu dapat melakukan segalanya, dan Istana Ziwei saat ini dalam kondisi perbaikan, dan pasti akan ada kelalaian dalam langkah-langkah keamanan.

Fangallo mengerti ini, dan setelah mengusir Xu Yiyang di pagi hari, dia pergi sendiri ke stasiun TV. Dia berjalan di tempat parkir bawah tanah yang redup tanpa mengembangkan medan magnet atau menyamar.Pengamanan di sini sangat ketat, dan tidak ada makanan tidak sah yang tiba-tiba akan muncul dari sudut mana.

Tetapi hari ini ada kecelakaan, sebuah suara serak datang dari belakangnya, yang menyiratkan perasaan cemas dan tak berdaya: "Apakah ini Tuan Vanga Luofan?"

Fangallo berbalik dan menjawab, “Ini aku.” Matanya yang tajam mengunci pria itu, dan matanya membolak-balik wajahnya yang kuyu, memandangi pakaian dan posturnya, tetapi kemudian tiba-tiba bergerak mundur, seketika. Menatap fitur wajahnya.

Bibir pendatang itu bergetar sedikit, tampak gelisah, tetapi masih berdiri kaku. Dia merasa seperti orang yang transparan, tidak mengabaikan apa pun di mata pemuda itu. Pria muda itu tampaknya telah melihatnya hingga selesai. Ini mungkin merupakan pengalaman yang sangat tidak nyaman bagi orang lain, tetapi itu membuat jantung pria itu yang hampir putus asa meledak dengan harapan yang mendesak.

Matanya melebar, dan dia melihat kembali dalam sekejap mata, seolah-olah ada ribuan kata untuk diucapkan, tetapi dia tidak tahu harus berkata apa. Ketika dia merenungkan kata-kata dengan hati-hati, Fangallo memberi isyarat: "Ikutlah denganku."

“Apa?” Pria itu linglung.

“Ikuti aku duluan, aku akan terlambat,” Van Gogh menunjuk ke arlojinya.

“Oh, baiklah!” Pria itu segera mengikuti langkahnya tanpa bertanya lebih banyak. Kulitnya berwarna perunggu dan kasar, dengan beberapa garis-garis halus di sudut matanya, yang menunjukkan bahwa dia sudah tua, dia tampak cukup tampan, tetapi wajahnya yang kurus mengurangi banyak hal, jaket kulit terlihat sangat modis , Bahannya sangat buruk, seperti barang; jeans berwarna terang memiliki beberapa lubang, dan sepasang sepatu ayah berwarna kuning cerah diayuh di bawah kaki. Gaun ini tidak benar atau salah, terlihat canggung untuk menonton, dan tidak cocok dengan usianya. Dia mencoba membuat dirinya tampil fashion kelas atas, tetapi efeknya justru sebaliknya.

Cukup masuk akal bahwa orang yang menyamar, gelisah, tidak dapat dijelaskan tiba-tiba datang ke pintu, dan kebanyakan orang akan jauh dan bahkan dihina, tetapi Van Gogh tidak mengajukan pertanyaan dan membawa orang itu ke lift.

Apakah dia tahu sesuatu? Apakah dia melihatnya? Pria itu berjalan sepanjang jalan dan berpikir, dan hatinya yang dingin kembali terasa panas. Dia mengangkat kepalanya dari waktu ke waktu untuk menatap punggung pemuda itu, dan kecemasan dan ketidakberdayaan di matanya menghilang tanpa sadar.

"Ini lounge saya. Apakah Anda duduk untuk sarapan dulu?" Van Gogh bertanya dengan sopan dan melepas mantelnya.

Lounge ini adalah dekorasi yang sangat mewah, sofa terbuat dari kulit, karpet dari wol, dan semua jenis dekorasi sangat mahal. Saudari yang merobek berjalan masuk dengan sekelompok asisten, meniup kentut pelangi guru, Kotak penyimpanan besar dibuka lagi, dan daftar kosmetik yang mempesona diletakkan di atas meja panjang. Mengajar kopi, berorientasi proses, dan berbicara dingin, semua jenis orang antar-jemput di sekitar sini, berisik dan kacau dan teratur.