Gelombang bergerak, klepsidra mengalir, bunyi terdengar—
—dan kesalahan pertama jatuhkan tirai.
· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·
Hujan bergulir diterpa angin, deras, cukup untuk ciptakan kubangan air lunakkan tanah, cukup untuk padatkan sentimen dalam materi tak terdefinisi. Aroma bakar hilang cirinya, buram bersama petrikor, jadi kelabu buat tenang atau sungut. Langit pecah air mata, ikut sedih atas hilangnya sebuah cerita; tatkala atma lepas dari tubuh utama, diputus oleh sosok bengis tanpa hati yang megah. Alam murka, terjang dengan derita, bahkan mentari tak sudi berikan cahaya. Tapi figurnya masih berdiri selayak batu tak bertuan, merah netra mengilap patah arang, gerutu samar keluarkan berang.
Ia yang memulai.
"Wake up."
Ia yang berulah.
"Don't make me say it twice."
Namun, apa memang semua ini adalah akhir yang ia harapkan?
"Wake up, you fool, I have never given you permission to die."
Tenggelam diantar obsesi, ia lakukan kesalahan pertama, dan jadi yang terburuk dalam untai kata terlupakan.
Janji tercipta,
pun angan,
sesal,
sekaligus kutukan.
· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·
"Kau gila."
"Aku akan menganggapnya sebagai pujian," senyuman mekar, dilempar sebagai tamparan, memicu tawa gelegar dari lawan bicara.
Di sudut terujung bangsal rumah sakit, takkan ada seorang pun mendengar obrolan picik, dari dua orang paling sinting. Di tengah senyapnya fajar, remang menggores seluruh kanvas, hingga mengaburkan pilar moral. Di masa depan, kala dirinya temukan alasan, esensi dari segalanya, lahir dari sesal dan angan, dan emban tanggung jawab tak bertuan. Di sana; iris kuning ungu yang bahkan tak mampu amati merah, tertawa, miris, hidup dalam birama elegi.
"Kau harus istirahat."
Ia memang harus istirahat.
"Sike! Itadori-kun doesn't have the patience to get rid of his guilt," pandangan diarah lurus menuju pintu, atau lebih tepatnya, ke arah figur yang berdiri di balik pintu sejak lima menit lalu, "right?"
Sisi goblok dari Gojo Satoru juga butuh istirahat.
Pintu bergeser terbuka, tunjukkan raut muram nol keberanian untuk tidak menundukkan kepala. "Kalau begitu aku akan pergi, membereskan sisanya. Jangan terlalu keras pada Itadori-kun, oke?"
Yang diminta hanya naikkan bahu, tidak memberi jawaban pasti, dan mengundang helaan napas dari yang bertanya. Lelah, sedikit, mungkin, pada akhirnya tungkai melangkah keluar, beri kedamaian bagi obrolan selanjutnya, tinggalkan kedua insan terdiam.
Canggung, tentu.
Keberanian Itadori Yuuji merosot drastis, meremas ujung pakaian tak berdosa hingga kusut dibuatnya. Sampai tekad membulat padat, cukup masif menjadi jaminan bersuara.
"Hisamaki—"
"Aru."
Dan kembali ciut saat dipotong dengan kejam.
"Aru ... -san. Aku ingin—"
Mengecil sampai nyaring irama katanya.
"Kau bisa langsung mengatakan tujuanmu."
Lelaki ini, sama sekali tidak berdosa, bukan salahnya, tapi ia kena batunya. Tekanan berat berbanding terbalik dengan suhu mendingin, sukses buat sukma hampir lepas dari tempat, nyaris tewas berdiri akibat rasa bersalah yang tidak jelas. Ia hanya bocah enam belas tahun namun sudah hadapi tajamnya belati, sesaknya simpul mati, dan kesalahan orang lain. Untung pandangan turun amati sang wanita, duduk bersandar pada bantal, tenang—
—tidak. Jemari lentik bermain pada sudut halaman, dan ia sadar bahwa Hisamaki Aruha cemas.
"Apa kau ... ingin berbicara dengannya?"
"Meratakan Yokohama bukan tujuanku, jadi, tidak," cara menolak dengan membuat lawan bicara merasa bersalah bukanlah sebuah hobi, memang bukan, justru memang sudah menjadi kebiasaan yang tak bisa dilepas.
Itadori Yuuji goyah. "Tapi," ujarnya, nada suara berat akibat bimbang, namun tetap pada niat meyakinkan, "kau mungkin tidak percaya, tapi sepertinya dia ingin bicara."
"Ia bisa muncul di manapun di bagian tubuhmu, kenapa harus—"
Lelaki satu ini tak mungkin memenangkan debat, jadi, memotong ucapan sang lawan bicara saat itu adalah sebuah keajaiban, respon sesaat akibat kebingungan. "Mungkin, ia ingin privasi, kau tahu. Aku akan memastikan ia tidak menghancurkan apapun, janji."
Hening, tak ada jawaban maupun respon kecil setelah pernyataan diungkap. Itadori Yuuji menganggapnya sebagai sebuah izin, garis hitam perlahan timbul, iris kuning berubah merah, walau tak bisa dikatakan benar-benar berubah. Hei, apa yang bisa diharapkan dari seorang buta warna protan? Mentari belum sepenuhnya terbit, ruangan itu sengaja dibuat remang, memang sejak awal Hisamaki Aruha berniat tidur jika Gojo Satoru tidak datang pukul dua dini hari, semua perubahan itu tentu tidak begitu terlihat jelas, apalagi ia sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari halaman buku yang sama di tangan.
Dan satu menit terlewat begitu saja.
Seorang Ryomen Sukuna muncul dan tidak membawa kehancuran adalah sebuah kemustahilan, dan kini, di detik ini—
"It's you."
—ia memegang janjinya.
Ujung bibir mengernyih, pilu dirasa buat tawa satir ikut keluar, "What do you mean, it's me?"
Sejak awal, sejak kelopak mata belum terbuka, ia tahu kemana obrolan mengalir. Semua mimpi dari ribuan derita, dan penemuan dari usaha yang mengancam nyawa, semuanya, hanya untuk ketahui fakta bahwa ia hidup atas janji, angan, dan kutukan seseorang. Semua penjelajahan di tempat yang rusak hukum alamnya, semua pencarian di potongan perkamen tua, semua ia lakukan hanya untuk temukan bahwa ia hidup karena kesalahan pertama seseorang.
"Because no one else makes sense."
Dan Hisamaki Aruha, mungkin, akan memilih kesalahan itu.
· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·
Pasir berganti, pendulum memantul, garis bersatu—
—dan gravitasi dua simpul ditemukan.
· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·
「 "That man is the world I wish to save, even if it takes an eternity, a different time and world line." 」
「 "Anything. For the sake of my old story." 」
「 "My unfinished symphony." 」
「 "And my, first, unbiased fallacy." 」
· ─────── ·fin· ─────── ·
20 Mei 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
One Stares
FanfictionTatapan tak sengaja membentuk untaian benang, mengikat keduanya di antara takdir yang telah ditentukan. Inilah cerita dari para otp yang dipublikasikan untuk pertama kalinya! · ─────── ·· ─────── · Jujutsu Kaisen © Gege Akutami One Stares © JUJUTORY