01

8 1 0
                                    

Pada minggu malam, seorang gadis cantik ditemani soal-soal yang menguras otak. Namun senyumnya terus terukir dibibir manisnya, matanya tidak lagi terfokus pada soal. Berganti menatap ponsel yang terletak di holder Handphone tepat didepan wajah cantiknya yang sedang menampilkan sosok laki-laki yang kini tengah terduduk di atas kasur.

"Ngerjain apa sih lo?" Ujar Dera disebrang telfon.

"PR biologi. Dera enggak ada tugas?"

Dera berdeham dan berganti posisi menjadi tengkurap. Matanya terlihat letih. Bukan letih karena menghadapi kehidupan, namun letih karena bermain bola seharian.

"Ada. Lo mau ngerjain punya gue?"

Thafana menggeleng, bibirnya mengerucut lucu. "Enggak ah, aku sibuk."

"Gaya lo sibuk. Ngapain VC kalo lo sibuk?" Sentak Dera.

Thafana melotot, "Lhohh, kan yang VC tadi Dera duluan. Kok nyalahin Thafana?"

"Ya lo ngapain ngangkat, bego!"

"Ya udah Thafana matiin," ujar Thafana sedikit tidak ikhlas.

"Telat, Belajar sono! "

"Jadi ga usah dimatiin nih?" Tanya Thafana memastikan. Dera itu penuh dengan teka-teki.

"Hmm." Dera bergumam mengiyakan.

Tidak ada kata jalan berdua dimalam hari. Dera sibuk bermain dan Thafana yang berpura-pura menyibukkan diri.

Thafana memulai mengukir tinta hitam di lembaran kertas putihnya dengan Dera yang terus menatapnya lewat layar ponselnya.

Sedikit gugup, namun hatinya berbunga. Sesederhana itu caranya. "Besok aku dijemput?" Tanya Thafana.

"Lo kira gue supir," Gas Dera

"Yaudah besok aku naik bis aja. Gak usah nge-gas juga kali, "

"Jam setengah tujuh, telat semenit gue tinggal!"

Senyum Thafana merekah. "Shiap busque!"

Thafana terus mengerjakan PR biologinya ditemani Derajat. Meski hanya sesekali mereka mengobrol, lalu hening. Hingga tak terasa malam semakin mencekam. Bahkan suara jangkrik pun sudah bersautan.

"Gue tutup, bye!"

Tanpa menunggu ucapan kalimat dari Thafa, layar ponsel Thafana sudah menampilkan layar hitam.

"Selamat tidur Dera, semoga bahagia selalu," gumam Thafana.

***

Dipagi yang cerah, seorang gadis menatap dirinya dipantulan cermin. Memperbaiki penampilan-nya agar segera menuju kesekolah. Gadis itu tersenyum puas setelah merasa penampilannya perfect.

Dia Thafana Kamila gadis remaja berumur 17 tahun yang telah memasuki jenjang SMA kelas 11. Kaki pendeknya menapaki anak tangga dengan sedikit terburu-buru. Tangannya memperbaiki letak tas punggungnya.

"IBU THAFANA BERANGKAT SEKOLAH DULU YA. ASSALAMU'ALAIKUM," Teriak gadis itu.

Ibunya yang berada didapur berlari kecil menghampiri anak gadisnya itu. Menggeret tas yang dikenakan Thafana.

"Sarapan dulu, gak sopan teriak-teriak pagi gini. Abang-abangmu masih pada tidur," Ujar ibu

"Thafa langsung berangkat bu, mas pacar udah nungguin nih didepan gang,"

"Jemput cewe kok didepan gang. Gak berani itu si Dera ketemu ibu?"

Thafa menggeleng kuat dengan mata sedikit melotot. "Enak aja, Dera itu pemberani ya bu. Dia cuma malas kalo jemput di depan rumah. Tetangga-tetangga ibu ganjen semua sih," Elak si Thafa.

"Udah bu, nanti aja. Thafa buru-buru ini. Thafa berangkat dulu, assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam, hati-hati."

Thafana mengangguk, bergegas pergi setelah mencium punggung tangan ibunya. Dengan sedikit berlari, Thafa membuka gerbang dan keluar dari rumahnya tanpa menutup kembali gerbang.

Untung saja rumahnya berada di urutan kelima dari depan gang komplek-nya. Didepan sana, ada cowo yang duduk di atas motor matic.

Dengan semangat 45 Thafa mendekati cowo itu yang tak lain adalah Derajat Basupati sang kekasih. Mendapati sang pacar berwajah masam, Thafa cengengesan dan meminta maaf telah membuat Dera menunggu lama.

"Maaf, lama ya."

Dera berdecak. "Dahlah, naik cepet!"

Thafa mulai menaiki dan duduk di jok belakang motor Dera. Kedua tangannya nerpegangan pada masing-masing bahu Dera. Membuat Dera berdecak sebal. Dera mengambil tangan Thafa dan memindahkannya agar melingkari pinggangnya. Thafa tersenyum malu dibuatnya.

Dera mulai melajukan motornya menuju sekolahan.

Sesampai di SMA, Dera menautkan tangan-nya dengan tangan milik Thafana. Thafana tersenyum merasa senang dengan hal-hal kecil yang diperbuat Dera untuknya dan dengannya.

Keduanya berjalan menyusuri koridor sekolah hingga menuju ke kelas mereka. Sepasang manik mata Thafa menangkap sosok sabahatnya, senyumnya semakin melebar melihat Humaira Azahra sering disapa Aira yang notabene-nya sahabat karibnya.

Tangan yang tidak digengam Dera pun terangkat melambai-lambai memanggil sahabatnya. "AIRA!" Teriak Thafa lantang.

Aira menoleh, berlari kecil mendekati Thafa dan memeluknya seolah telah lama tak jumpa.

"Apakabar, Thafa?" Tanya Aira lalu sedikit melirik Dera. "Apakabar, Dera?"

"Kabar baik. Dan aku bahagia sekali. Lalu, kamu gimanaa?"ujar Thafa. Dibalas dengan anggukan semangat dan acungan jempol dari Aira.

Kalimat apakabar? Mungkin terdengar sederhana dan terlalu berbasa-basi. Namun maknanya sangat mendalam. Sedekat atau jauhnya jarak-mu padanya. Maka bertanyalah kabarnya. Karena tersenyumpun tidak bisa mewakili perasaanya saat itu.

Thafana berpamitan pada Dera untuk memisahkan diri. Setelah Dera berjalan menuju kelasnya, Thafana mengajak Aira menuju kelasnya sendiri.

Sesampai di kelas XI IPA 6 , Thafa beserta Aira duduk dibangku paling depan. Lalu dibangku kedua ada Irma Casya yang tak lain sabahat Thafana.

"Eh cuy, liat PR biologi dong," ujar Casya seraya menjawil masing-masing bahu kedua temannya.

Aira berdecak. "Alasan apalagi yang lo pake saat ini. Kenapa gak ngerjain?"

Casya cengengesan, tangannya menggaruk kulit kepalanya. "Emm, anu. Lupa,"

"Gak bakal maju tu idup lo, kalo lo lupa-lupa mulu," smash Aira.

Aira itu terlihat diam, namun sekali ngomong bisa bikin insecure. Tapi mampu menyadarkan sebagian orang, jika orang itu tau diri. Aira itu juga penuh dengan teka-teki. Dia akan bertanya apa kabar, namun jika ditanya balik, dia hanya tersenyum dan memberikan kedua jempolnya.

Jika Aira selalu menjadi tempat curhat. Namun dia tidak pernah sekalipun membagikan kegundahan hatinya. Dia selalu menyembunyikannya, seolah-olah tidak ada rasa risau didalam hidupnya.

Lalu dengan Irma Casya, dia begitu lugu dan pelupa. Selalu jadi bulan-bulanan Aira. Berbeda dengan Aira, Casya lebih terbuka. Dia akan selalu menceritakan setiap waktu yang dia lalui.

Seperti itulah lingkaran pertemanan, mereka tidak akan ada yang sama, penuh dengan perbedaan. Mungkin terlihat sama, itu yang terlihat bukan yang semestinya. Mereka hanya menempatkan dimana yang harus menjadi posisinya.

"Nih," Thafana menyerahkan buku biologi nya kepada Casya.

"Makasih, Thafana cantikku."

"Tuman lo!" Gertak Aira.

"Biarin,"

***

Bersambung...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 14, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Relation-shitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang