Gadis pemilik kemilau adiratna yang menyatu dengan retina mengayunkan kakinya, menapaki adimarga dengan tempo semenjana. Kausa? Baskara saja masih tersipu untuk memancarkan pendar, bahkan halimun tipis masih menyertai atmosfer sekitar. Toh, tidak apa. Tidak perlu terburu-buru juga.
Angin pagi menerpa surai selembut sutera, sorot mentari mulai terpantul pada seragam yang ia kenakan, menembus rongga-rongga puspa yang selalu identik dengan nuansa merah muda.
Perlu diketahui, semua aktivitas yang ia lakukan pagi ini bukanlah suatu kegaliban; bangun tidur ketika fajar baru saja menyingsing, memasak bekal dua porsi, berangkat sekolah ketika dingin masih menyergap. Pemicunya? [Name] ingin membalas terimakasihnya pada pemuda yang kebetulan kini tengah berpapasan dengannya di persimpangan jalan.
"Selamat pagi, [Lastname] -san," sapanya terlebih dahulu.
"Selamat pagi. Mau berangkat bersama?" Entah darimana ia mendapatkan nyali sebesar itu, padahal tempo hari kontak mata saja mati-matian ia hindari. Setidaknya jawaban yang lolos dari bibir pemuda itu membuat hati kecilnya lega. "Ayo.""Apakah kau selalu berangkat sepagi ini?" tanya [Name] sekedar siasat untuk memerangi keheningan yang ada.
"Ya. Kau sendiri?""Jika aku ingin saja."
"Oh."
Hanya 'Oh'?
Dan siasatnya pun gagal, ia tak memiliki bahan pembicaraan untuk mengiringi langkah mereka berdua.Yah, Shinsuke Kita tetaplah dirinya, wujud lain dari pangkal poros buana yang berkamuflase menjadi manusia. Kendatipun begitu, sekali, ia pernah memperlihatkan sisi lain dirinya; konon, kata saksi yang tengah berjalan di sampingnya, persona tersebut sehangat arunika.
Tak memiliki topik untuk mengusir kesunyian, [Name] mendesah dalam hati. "Aku harus bagaimana?" Hingga ia merasa ada seseorang yang menepuk bahunya dari belakang. Mulanya ia kira Shinsuke, namun tatkala ia menoleh yang ia dapati adalah seorang pria dewasa. Dengan sesungging senyum ia menawarkan kepada [Name] dan Shinsuke surat kabar yang ia bawa.
"Gratis," ujar pria tersebut. [Name] dan Shinsuke menerimanya sekedar untuk menghargai. "Terimakasih." Dan pria itu pun berlalu.
Manik aurum menelusuri aksara yang tertera pada surat kabar. Tatapannya terhenti pada penulisan tanggal yang ternyata telah terlampau kedaluarsa. Shinsuke merasa ada yang janggal, menaruh curiga ia pun menoleh ke belakang selagi pria itu masih berada dalam jangkauan matanya. Dan benar saja, di tangan kiri pria tersebut terdapat ferum pipih, tajam nan berkilau.
Shinsuke beralih menatap [Name].
"Apakah kau baik-baik saja?"[Name] mengernyitkan dahi.
"Apa maksudmu?"
"Coba balik badanmu," titahnya. [Name] mengikuti instruksi Shinsuke."Dasar pria mesum."
"Huh?" Sang gadis memutar badannya kembali, memandang heran pemuda di hadapannya yang kini tengah menanggalkan jaket yang ia kenakan. Dengan santun kata 'permisi' terucap, lantas mengaitkan kedua lengan jaket merah ke pinggang perempuan malang."Orang tadi merobek rok mu."
Spontanitas kedua matanya membeliak kaget, bola mata perlahan turun, mengerling jemari lentik yang menjamah tekstil merah. [Name] balik menengadah, beradu pandang dengan sepasang netra lainnya. Sorot mengintimidasi, menjerat memaksa kuntum mawar merah merekah di kedua pipi.
Angin pagi kembali menerpa, gerimis puspa merah muda menabiri roman yang mengilaskan kegugupan. Sedikit menunduk dan tersenyum jengah, sekali lagi mengucapkan "Terimakasih." Kendatipun lidahnya terpatah-patah.
Pemuda membalasnya dengan anggukan kecil, lantas kedua persona yang bukan sejoli kembali melanjutkan langkah. Persis seperti keadaan sebelumnya, hening tetap bersikukuh untuk menjadi orang ke-tiga.
___
Wajar jika [Name] menjadi sorotan sepanjang hari hanya karena jaket klub voli yang melingkar di pinggangnya. Beberapa pasang mata meliriknya dengki, beberapa pula tak acuh padahal penasaran setengah mati. Bagaimana tidak? Klub voli sendiri merupakan klub bergengsi di akademi Inarizaki. Selain kuat, tim mereka beranggotakan cowok-cowok populer yang menjadi idaman para gadis.
Lirikan sarkas semakin menjadi-jadi tatkala gadis tersebut mengetuk pintu gym dan secara terang-terangan berucap "Permisi, adakah Kita Shinsuke di sini?"
Sosok yang dicari membuka pintu.
"Ada apa?"
"Aku ingin mengembalikan kotak bekalmu," ujarnya, ujung tangan menjulur, menyodorkan kotak bekal berwarna biru yang diserahkan nenek Shinsuke tempo hari.Pria tersebut menerimanya, agaknya terkejut dengan massa bekal yang tak semestinya.
"Kau repot-repot mengisinya, huh?"
"Sekedar ungkapan terimakasih. Ngomong-ngomong masakan nenekmu kemarin sangat lezat, bisakah kau sampaikan salamku padanya?"Singkat, padat dan jelas ia menjawabnya dengan satu kata.
"Ya."
"Dan jaketmu–"
"Kau bisa mengembalikannya di lain hari."___
Bagaikan intel, para remaja yang dimabuk cinta oleh tuan tanpa celah saling berbisik dan mendengki pasca menguping perbincangan.
Tinggal menunggu waktu. Cepat atau lambat rumor tentang mereka berdua pasti akan segera beredar.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
ORION: Kita Shinsuke x Reader
Fanfiction"Aku tidak pernah bermain-main dengan perkataanku. [Name], apa yang ku katakan itu sungguhan." "Kalau begitu, mengapa kau begitu tega menggantung perasaanku?" Sejatinya, [Name] sendiri tak pernah mengungkapkan perasaannya pada Kita Shinsuke. . . ...