Ayah Dan Zahra

12 1 1
                                    

Sebuah mobil sedan putih yang terparkir dihalaman rumah berpagar hitam itu menghentikan langkah seseorang yang baru saja memasuki gerbang.Ia sedikit memiringkan kepala menatap mobil yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri sembari membenarkan posisi tas punggung yang tersampir dibahu sebelah kanannya.

'Pasti papa sudah pulang.'gumamnya dalam hati.

Benda silinder berwarna putih yang terapit diantara telunjuk dan jari tengah segera ia hempas begitu saja.Membiarkan benda yang pucuknya masih menyala merah dan mengeluarkan asap tipis itu tergeletak ditanah.Kemudian diinjak dengan sadis benda itu oleh kaki kanannya hingga benar benar padam.Lantas dengan langkah santai ia memasuki rumah, tanpa mengucapkan sepatah katapun apalagi salam.Meskipun ia tahu benar bahwa didalam sana ada seseorang yang sedang menunggu kedatangannya.

"Dari mana saja kamu?" Baru saja memasuki rumah pertanyaan bernada tegas itu menyeruak indra pendengarannya.Pertanyaan tersebut berasal dari seorang pria paruh baya yang tengah duduk di sofa beludru tak jauh dari tangga.

"Kuliah lah.Kemana lagi?" Jawabnya dengan tiada menekankan kata santun.Bahkan sangat tak acuh.

"Jangan membodohi papa, Zahra.Kuliah macam apa yang mengharuskan maba sepertimu pulang selarut ini?"

Gadis itu,Zahra, menghentikan langkahnya diujung tangga ketika melihat benda yang diletakkan dengan keras oleh ayahnya ke atas meja.Ditatapnya kertas beramplop itu lalu setelahnya ia merotasikan bola matanya sembari berdecak lirih.

'Sial, bagaimana Hardian bisa mendapatkannya.' Batinnya lagi.Seingat Zahra dia telah melempar benda itu ke tempat sampah kemarin malam.Apa barangkali Bi Dar yang memungutnya dari tempat sampah di kamar? Entahlah, yang jelas karenanya Zahra terpaksa harus menghela napas penat.Jujur dia sungguh tak menyukai isi dari amplop itu.Karena artinya sebentar lagi ia akan menerima ceramah berkepanjangan yang menurutnya sangat unfaedah.

"Kamu dapat surat peringatan karena sering bolos dan membuat keributan di kampus kan?" Tiada jawaban dari Zahra.Gadis itu justru mengedarkan pandangannya kearah lain seolah pertanyaan ayahnya hanya sebuah angin lalu.

"Zahra jawab papa." Hardian sedikit meninggikan intonasi bicaranya.Membuat Zahra terpancing emosinya.

"Ya, memang kenapa?" Sarkas Zahra menanggapi pertanyaan ayahnya.

"Kamu baru kuliah satu semester tapi sudah mendapatkan surat peringatan.Sebenarnya pikiran kamu dimana sih, Ra? Kamu papa kuliahin biar jadi orang yang berpendidikan bukan berandal." Hardian memijit pelipis, sungguh tak habis pikir dengan kelakuan putri semata wayangnya.

"Yang suruh papa kuliahin aku siapa? Aku enggak minta."

"Ra, papa kuliahin kamu karena papa peduli sama masa depan kamu.Tapi kepedulian papa justru kamu permainkan kayak gini.Mau kamu apa?"

"Peduli?" Zahra tersenyum sinis,"enggak usah repot repot peduliin Zahra, pa.Papa urusin aja perempuan setan itu."

"Zahra."

Hardian naik darah dengan sekejap menghampiri Zahra dan menamparnya cukup keras.Hingga di pipi gadis itu kini tercetak jelas bekas jemari Hardian.Ia cukup tahu siapa yang Zahra maksud dengan perempuan setan dan sayangnya ia mengutuk sebutan itu.

"Jaga ucapan kamu! Tante Mala itu calon ibu kamu.Enggak seharusnya kamu berbicara buruk tentang dia."

Zahra justru terkekeh sembari memegangi pipinya yang terasa panas.

"Bahkan perempuan itu sudah berhasil mengubah papa jadi kayak gini.Papa itu terlalu naif dengan mengira dia mencintai papa tulus seperti mendiang mama." Zahra berhenti sejenak untuk mematut iris ayahnya, "perempuan itu,yang papa banggakan didepan Zahra tak lebih dari wanita matre.Dia hanya mentingin uang.Zahra berulang kali lihat dia jalan dengan banyak pria.Apa papa tahu?" Zahra berusaha memojokkan ayahnya.

Perindu Suara AdzanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang