Sial sekali bagi Zahra.Hardian telah membawanya pergi ke sebuah tempat yang sangat asing, yang bahkan tak Zahra ketahui dimana lokasi tepatnya.Apa Hardian berniat membuang Zahra? Jika itu benar maka Zahra akan mengucapkan selamat.Usaha ayahnya tersebut berhasil.Karena Zahra tak mungkin tahu kemana harus pulang.
Sekarang dia mengutuk dirinya sendiri yang tertidur saat perjalanan tadi.Bodoh."Zahra ayo kita bertemu kyai dulu." Hardian mulai menyeret koper yang Zahra yakini berisi barang barang miliknya menuju sebuah bangunan yang tak jauh dari tempat mereka memarkir mobil.Sementara itu Zahra masih diam mematung, menatap tak suka pada Hardian.
'Ah,sialan.' Dia merutuk.Entahlah Zahra selalu tak bisa membenci Hardian sekeras apapun jalannya.Padahal sudah jelas dia tak menyayangi Zahra lagi.Dia telah tega menipu Zahra dan membuangnya ke pesantren.Tapi kenapa sekedar membenci Hardian adalah hal yang teramat sulit untuk Zahra lakukan?
"Tenang Zahra.Tarik nafas buang.Semua bakal baik baik saja." Zahra berusaha menyemangati dirinya sendiri tapi tetap saja itu tak membuatnya serta merta tenang.
Zahra hendak melangkah mengekor Hardian saat sebuah pick up lewat dihadapan dan rombongan pemuda yang duduk dibak terbukanya melihat kearah Zahra.Tatapan mereka sangat heran.Apalagi pemuda berkaus hitam itu, ia bahkan tak berkedip sama sekali melihat Zahra.Saat yang lain berbondong bondong memalingkan wajah dan mengelus dada pemuda itu justru tetap menatap kearah Zahra.Membuat gadis itu bergidik ngeri.Wajahnya sangat mirip dengan om om yadong menurut Zahra.
"Lihat lihat mata lo copot baru tahu rasa," Protes Zahra, tetapi mungkin seruannya itu tak sampai terdengar oleh mereka karena pick up yang semakin menjauh.
Pada akhirnya Zahra memutuskan untuk menyusul Hardian yang terlebih dahulu masuk kebangunan yang menurut instingnya merupakan kantor kepala pesantren.Zahra menatap bangunan itu cukup lama.Menghela nafas terpanjangnya dan,
'Selamat datang dinerakamu Zahra.'
°Perindu Suara Adzan°
Zahra dan ayahnya duduk didalam sebuah ruangan bercat putih tulang.Dihadapan mereka ada seorang lelaki tua yang mengenakan pakaian panjang serta sorban penutup kepala.Umur pria itu kira kira menginjak tujuh puluh tahun.Dia memiliki tubuh yang sehat kendati sedikit nampak kurus.Wajahnya sangat kalem, begitu menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang penyabar.
"Jadi begini kyai, saya mau menitipkan anak saya untuk belajar dipesantren ini jika diperkenankan." Hardian membuka pembicaraan, membuat atensi Kyai Abdurrahman beralih menatap Zahra.
Gadis itu terlihat urakan sekali.Berbekal celana jeans hitam ketat yang sobek diarea lutut serta kaos abu abu polos yang dibalut jaket kulit berwarna merah terang ia duduk dengan santai menghadap Kyai Abdurrahman."Dengan senang hati pihak pesantren menerima kedatangan putri anda untuk belajar disini." Kyai Abdurrahman tersenyum semakin memperjelas kerutan yang ada diwajahnya.
"Oh ya namamu siapa, nak?"
Zahra yang sedari tadi memainkan jemari dan mengetuk lantai dengan ujung kaki menoleh.Nampak cengo menunjuk dirinya sendiri, "Kyai nanya saya?"
Kyai Abdurrahman mengangguk.Zahra manggut manggut entah kenapa.
"Oke perkenalkan nama saya Azzahra Rafiq.Umur delapan belas tahun.Anak semata semata wayang tuan Hardian yang mencoba ia buang ke pesantren ini.Sekian terima kasih," Jawab Zahra sekenanya berusaha menyindir sang ayah yang sepertinya peka terhadap kalimat itu.Terbukti dengan rahangnya yang mulai mengeras dari sebelumnya.
"Zahra kamu bicara yang sopan sama Kyai.Dan lagi ini pesantren tempat menimba ilmu bukan lokasi untuk menelantarkan anak," Tegas Hardian yang sama sekali tak dihiraukan Zahra.
"Sudahlah nak Hardian jangan memarahi Zahra.Beberapa santri dan santriwati yang baru pertama kali masuk kesini juga banyak yang berpikiran seperti Zahra.Namun insyaallah suatu saat Zahra akan mengerti apa maksud nak Hardian sebenarnya.Dan lambat laun Zahra pasti akan terbiasa dengan keadaan disini dan menganggapnya sebagai rumah." Kyai Abdurrahman lagi lagi mengembangkan senyumnya.Namun dibalas senyum sinis dari Zahra.
'Dasar lelaki tua.Tanpa menunggu waktu pun aku sudah tahu bahwa papa bermaksud membuangku.Dan lagi dia bilang pesantren ini rumah untukku?Selamanya tempat ini hanya akan menjadi penjara untukku.'
°Perindu Suara Adzan°
Zahra berjalan mengikuti seorang wanita berhijab biru panjang yang tengah memandunya menuju asrama pesantren.Dia adalah ustadzah Kamila, salah satu pengurus pesantren yang merupakan keponakan dari Kyai Abdurrahman.Perempuan itu memiliki wajah yang keibuan dengan pandangan mata lembut dan suara halus yang menenangkan.Persis sekali dengan mendiang ibu Zahra.Membuat Zahra tak berhenti untuk memperhatikannya secara diam diam.
Ustadzah Kamila membuka salah satu pintu asrama santriwati sambil mengucapkan salam.Didalam kamar tersebut ada tiga onggok manusia yang lekas menjawab salam dan mendadak menghentikan aktivitas seraya menoleh ke titik yang sama.
"Ustadzah Kamila," Seru gadis berkerudung hijau yang tergopoh menghampiri seseorang yang baru ia sebut namanya.Menjabat tangan wanita bersahaja itu sopan dimana tindakannya itu diikuti oleh kedua orang temannya.
"Hari ini kalian ada teman sekamar baru.Namanya Zahra.Ustadzah harap kalian bisa berteman baik dengannya."
"Tentu saja Ustadzah," Jawab penuh antusias Sarah,gadis pemilik tahi lalat didekat bibir yang langsung sumringah mendengar mendapatkan teman sekamar baru.Dari namanya saja Sarah dapat membayangkan bahwa gadis yang baru saja dibicarakan Ustadzah Kamila adalah gadis yang lembut dan ah ia jadi tak sabar melihatnya.
"Dimana santriwati baru itu ustadzah?" Fatimah menatap penuh ustadzah Kamila dengan mata bulat besarnya.Sementara Rahma, gadis berkerudung hijau itu hanya diam menanti jawaban Ustadzah Kamila.
Ustadzah Kamila menggeser tubuhnya merapat bingkai pintu hingga nampaklah jelas di belakangnya seorang gadis berjaket merah terang yang membuat ketiganya seketika tercengang.Apalagi Sarah, realita sungguh menamparnya telak.Ekspektasi yang semula memenuhi pemikirannya menguap seiring kenyataan yang ia lihat.
"Zahra mereka ini Sarah, Fatimah dan Rahma.Mereka akan menjadi teman sekamar kamu."
"Oh," Singkat Zahra menanggapi penuturan Ustadzah Kamila.
"Zahra kamu kok nggak pake hijab?" Itu Rahma,bertanya dengan suara halusnya.
"Ogah.Ribet."
"Trus celana kamu itu sobek kenapa?Kesangkut apa?" Polos Fatimah seraya menatap celana berlubang Zahra yang sedari awal mencuri perhatiaanya.
"Kesangkut pohon rambutan," Jawab Zahra asal.Sungguh itu adalah pertanyaan paling bodoh menurut Zahra.Ingin rasanya Zahra menenggelamkan diri dikali cililiwung saat itu juga.Tempat ia berada sekarang dipenuhi orang orang kolot yang membosankan.
"Rambut kamu juga beda.Kamu mewar—"
"Kena wereng." Kalimat Fatimah terpotong oleh Zahra.Lagi lagi gadis itu menanyakan hal bodoh yang membuat Zahra ingin sekali berteriak didekat telinganya.
Sementara itu Fatimah merengut karena pertanyaannya yang dipotong secara tiba tiba, padahal ia ingin tahu sekali alasannya.Rahma hanya menyembunyikan senyumnya karena jawaban asal dari Zahra yang menurutnya lucu.Kena wereng? Padikah rambut Zahra?
Ustadzah Kamila hanya geleng geleng melihat kelakuan mereka.Meski tanggapan Zahra tak sesuai harapannya namun setidaknya Zahra mau merespon pertanyaan dari Rahma dan Fatimah.Namun sedari tadi Sarah hanya diam, memandang sedikit tak suka ke arah Zahra.Gadis itu urakan sekali.Tapi kenapa kyai Abdurrahman mau menerimanya di pesantren? Mungkin itu yang tengah Sarah pikirkan.Puas memandangi Zahra, Sarah membuang pandangannya asal.Hari harinya pasti akan terasa panjang.TBC
Jum'at, 9 Juli 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Perindu Suara Adzan
RandomTentang Zahra yang hidupnya berubah semenjak sang ibu meninggal dan sang ayah yang berencana menikah kembali dengan seorang wanita yang tidak dikehendaki Zahra. Suatu hari suatu tragedi mengharuskannya untuk menjejakkan kaki disebuah pesantren y...