⁠event horizon: point of no return

45 1 0
                                    


Video itu dimulai dengan "Halo, sayang", lalu diikuti dengan ucapan:

I love you, Sar. I love you, and I'm so stupidly in love with you that it does kind of hurt. Just in case I didn't say that a lot back home.

"Kalau saja raut mukaku sedikit lebih cerah dan sistem peringatan Lazarus tidak seberisik ini, mungkin aku bisa memberi kabar soal kepulanganku, ya? Maaf sudah mengecewakanmu berulang kali, Sar. Tapi sepertinya ini akan jadi kali yang terakhir."

Bunyi beep di pakaian luar angkasanya mulai mengambil porsi dari napasnya dan menaruh sesak di dadanya. Indikator di pergelangan tangan yang berubah merah menandakan bahwa kadar oksigennya telah masuk ke tingkat kritis.

"Lazarus hampir mati. Begitu juga kekasihmu ini. Ada kesalahan dekompresi yang menyebabkan sebelah sisinya hancur, dan hanya tersisa aku dan Edmunds di sisi yang tidak bisa juga dibilang utuh. The three of us are barely surviving.

Ingin kupaksa diriku pulang dengan pesawat yang nyaris mirip bangkai ini, but I'm afraid the odds aren't exactly in our favor right now. Aku dipaksa mengambil keputusan di antara dua pilihan untuk sama-sama dihancurkan. Dan aku tidak punya banyak pilihan di luar cepat atau lambatnya aku akan hancur."

Dilirik teman setimnya dari balik kaca pintu. Kepala tertunduk dalam dan bahu sedikit bergetar. Badan dan kakinya diam, mungkin tak berani ia langkahkan kaki masuk ke dan ambil kemudi dari salah satu lander Lazarus. Edmunds pun sama, meninggalkan cintanya di Bumi sana. Menangis pilu setelah merekam salam perpisahan, bersiap-siap menghancurkan diri bersama di kala mereka sadar takdir tak lagi berpihak pada si santo yang dulu dibangkitkan kembali oleh Yesus (walau kali ini, mungkin harus dibawa kembali ke liang lahat oleh commander-nya).

Aldebaran menarik napas panjang, kemudian dihembuskan napas tertahan itu dengan tersendat —ditariknya sebuah senyum tipis sedang netranya penuh nestapa, "Aku tidak akan pulang, Sar. Rasanya akan egois ketika kuceritakan seluruh kejadiannya ketika kamu mungkin masih kesulitan untuk mencerna berita ini, dan akan lebih egois lagi ketika kupinta kamu biarkan aku kembali. Kembali bukan untuk pulang ke rumah, tetapi kembali ke kodrat di balik namaku sebagai sang pengikut. Dulu pengikutmu, kini pengikut kerasnya gravitasi."

Aldebaran kembali menegakkan badan menghadap kamera. Senyumnya tak pernah luntur walau air mata itu tak pernah berhenti mengalir. "Dahulu kamu sering bertanya kenapa aku sangat menyukai Betelgeuse. Bukanlah yang paling terang, hanya bintang yang sekarat.

Ada banyak semesta di sini, Sar, dan tidak semua berjalan seiringan. Dengan jarak sejauh itu, Betelgeuse yang kita lihat mungkin sudah mati dan meledak menjadi supernova per hari ini. Lalu ada aku dan kamu yang mungkin tak sejauh jarak Bumi dan Betelgeuse hari ini, pun tidak sedekat Bumi dan Bulan pada perigee.

Dengan aku yang terombang ambing seperti ini, tidak yakin apakah waktu untukku dan untukmu masih berjalan beriringan, kuharap kau sudah menyerah padaku dan mencari bahagiamu sendiri di saat kantor pusat menangkap pesan ini dan meneruskannya padamu. Kuharap kau tidak terjebak dalam masa lalu sebagaimana kita yang mengamati sinar Betelgeuse enam atau tujuh ratus sekian tahun cahaya yang lalu, yang mungkin kini sudah hancur lebur dimakan penantian panjang."

"Semesta yang kini kupijak berjalan lebih lambat dibanding semesta yang kini kamu pijak, Sar..." lirihan pedih itu nyaris tak terdengar tertimbun ramainya peringatan kegagalan dekompresi udara di sayap kiri Lazarus, "Maka dari itu, kuhentikan laju semesta kita di sini. Sudah ya, sayang? Visi kita dulu adalah untuk berjalan bersama, tapi untuk apa tetap memaksa bila tak hanya pukul 8 kita yang tak lagi sama, namun juga hari ulang tahunmu yang bahkan sudah kulewati dalam 10 menit penentuan keputusanku untuk pergi dan hancur?"

Aldebaran pernah merasakan kandasnya cinta, tetapi tak pernah sepahit ini rasanya. Tak pernah sesakit rasanya dipaksa kandas di kala sedekat direngkuh kematian walau masih saling sayang. Tangannya gemetar dan kepalanya ia bawa menunduk, seolah betul-betul menyerah pada takdir yang banyak mau. Ia paham mengapa Edmunds sehancur itu tatkala usai mengucap izin berpisah pada sang terkasih.

"Kala kamu terima pesanku ini, mungkin ragaku sudah kembali menjadi materi bakal bintang. Pun kala kukirim pesanku ini, dapat kubayangkan malam Boston penuh kelip di atas Bumi dengan kamu, yang berusia 23 tahun saat ini, jadi salah satu kelipnya. Atau mungkin bahkan pesanku tak akan sampai dan tetap melayang di ruang vakum angkasa serta bayanganku tentang malam Boston hanyalah disorientasiku akibat hipoksia.

Yang aku tahu, akan kutitipkan cintaku pada cambukan panas gelombang matahari. Kupinta ia untuk jaga malaikatku yang mencintai arunika, yang mungkin kini tengah dipenuhi benci pada kekasih brengseknya karena tak dapat ia penuhi janji untuk pulang dengan selamat.

I'm not in pain, Sar. Rasanya seperti paru-paruku penuh dengan xylazine; sesak, tapi baal. Walau kurasa matiku akan sakit nantinya —bukan karena tubuh yang dipenuhi luka, tetapi karena hati yang dipenuhi damba ingin kembali pulang ke sang nirwana."

***


Aldebaran meniti langkah perlahan. Bukan karena hati-hati ⁠—sempoyongan karena perfusi oksigen ke otak kian menipis. Mungkin beberapa jaringannya sudah mulai mati, pikirnya, seiringan dengan dikubur mati asa untuk mendekap kembali sang empu hati.

Dilihat betapa silam sinar muka rekannya di kala ia selesai mengencangkan sabuk pengamannya. Tangannya yang gemetar menggenggam erat tuas kontrol, bersiap dalam misi bunuh diri.

"Lander 1, prepare to detach on my mark."

Apa lagi yang bisa diharapkan? Kehilangan tiga anggota tim, Lazarus yang hampir seluruhnya hancur, mereka yang dibuat sekarat oleh tipisnya sisa oksigen, serta bahan bakar yang hanya cukup untuk menarik diri dari gravitasinya dan tidak untuk kembali pulang.

"Three,"

To pull away and eventually die slowly among the ruins, they'd rather invite themselves to their fast inevitable death.

"two,"

And fast, they chose.

"one, detach."

***


Di suatu hari di mana terdengar ketukan dari pintu rumah, hadirnya wajah dua perwakilan dari Houston tanpa adanya Aldebaran di antara mereka sudah cukup untuk memberitahu Aksara bahwa penantiannya selama delapan tahun mungkin sia-sia.

Maka ketika diputar video terakhir dari kekasihnya, dengan suara bising kegagalan sistem di belakang dan napas yang agak tercekat, Aksara paham bahwa Aldebaran telah melebur jadi satu dengan pesawat yang ia piloti.

"Was he in a lot of pain, Professor?"

Aksara mungkin tidak menangis, namun retih suaranya menunjukkan betapa hebat remuk hatinya saat ini. Profesor Mann menggeleng pelan. "By calculating the time of when the hypoxia started, it is likely that he had already passed due to brain death when their spacecraft finally reached the event horizon."

Ucapan cinta Aldebaran dapat terdengar berkali-kali di balik speaker gawainya. Dibalasnya berkali-kali ungkapan tulus itu di dalam hati, just like how they used to be. Tetapi bukan ini yang Aksara inginkan —ia bahkan tidak peduli jikalau tak sanggup lagi Aldebaran katakan cinta, asal bisa dilihat sentrisnya utuh dan kembali pulang.

Walau Aldebaran betul pulang. Bukan sebagai Aldebaran yang sudah dikenal Aksara selama 18 tahun lamanya, tetapi sebagai debu bintang bagai Aldebaran si pengikut Pleiades. Tak ada satupun yang ia titipkan kecuali memory chip berisi salam perpisahannya yang sempat tersesat di ruang vakum dan senyuman terakhirnya yang tak pernah Aksara harapkan untuk lihat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 10, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

i'd graze stars upon your empty skiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang