Matahari bersinar terik, awan-awan berlalu pergi bersama angin. Aroma hangat matahari tercium hingga mengusik mimpi indah Zenosa. Hidungnya terasa gatal, kelopak matanya masih tidak mau terbuka meskipun ia menggaruknya beberapa kali.
Aroma lain kembali memenuhi hidungnya. Baunya hangat dan sedikit manis, ada juga wangi bunga yang selama ini nyaris ia lupakan. Seakan aroma pasir dan udara kering yang selama ini menemaninya hanya mimpi. Tapi Zenosa sangat tahu, ia segera membuka matanya paksa, ia tahu aroma yang terhirup ini jauh lebih seperti mimpi.
Tidak ada cahaya menyilaukan yang menyambut matanya, tidak ada kain terpal atau alas keras yang membuat punggungnya kaku, tidak ada langit biru yang seharusnya ia pandang karena tertidur di dalam mobil. Yang ia lihat adalah permukaan datar berwarna putih dengan sebuah lampu yang menggantung. Begitu sepenuhnya sadar ternyata tempat yang ia tiduri adalah sebuah kasur, jujur membuatnya sedikit kaget, Zenosa segera bangkit dari posisinya dan mengedarkan pandangan.
Sebuah kamar tidur yang kecil, hanya ada satu kasur yang cukup untuk satu orang. Tepat di sampingnya ada meja yang di atasnya telah disediakan roti gandum dan segelas teh beralaskan nampan. Di belakang meja itu ada jendela yang terbuka dengan gorden putih tertiup angin pelan. Cahaya yang terpancar dari jendela itu berwarna putih terang menandakan siang hari.
Matanya mengerjap sekali, Zenosa memegang dadanya mencari benda yang seharusnya menggantung di sana, namun tidak ada. Jaketnya juga tidak ada, hilang bersama kompas yang dititipkan padanya. Itu mengingatkan Zenosa bahwa Den juga tidak terlihat di sana.
Ia segera berdiri dan mengitari ruangan yang tampak kosong tanpa seorang pun mencari suatu pesan atau tanda keberadaan Den. Namun ruangan itu tampak rapi tanpa adanya barang milik mereka. Hingga Zenosa menyadari ada lemari di sudut ruangan yang tertutup oleh tanaman hias. Ia pun membukanya dan benar saja, jaketnya dan milik Den sedang menggantung di sana, kompasnya pun masih ada di saku.
"Kita.... berhasil keluar dari sana...?" Zenosa mengehela napas panjang, namun ia masih belum tenang.
Kakinya melangkah menuju pintu, tangannya pun sudah memegang gagangnya, tapi entah kenapa ia berpikir jika ia keluar dan semua baik-baik saja Den akan menjulukinya bocah bermasalah lagi. Zenosa pun mengurungkan niatnya, ia beralih membuka gorden jendela lebih lebar. Sebuah gang kecil dan dua ekor burung yang tengah hinggap di tangga rumah sebelah menjadi pemandangan pertama yang ia lihat.
Tidak ada lagi debu pasir yang berterbangan.
Tidak ada lagi bangunan runtuh yang penuh retakan.
Tempat ini bukan lagi Wersnen.
Tapi kenapa Den tidak membangunkannya begitu sampai?
Justru ia ditinggalkan sendiri dalam sebuah kamar asing yang tampak berbeda dengan lingkungannya dulu. Ia tidak pernah melihat lemari dari bahan mirip plastik, atau lampu yang tidak menempel di langit-langit dan berbentuk oval seperti itu. Dan juga gaya bangunan yang atapnya datar dan dapat di pijaki.
Bagaimana bisa dunia luar berubah hanya dalam 2 tahun?
Atau mungkin pandangannya saja yang terlalu sempit?
Ceklek!
Pintu perlahan terbuka membawa seorang perempuan yang sedikit lebih pendek dari Den dengan rambut digulung di belakang leher masuk mengucapkan permisi. Zenosa reflek membalikkan badan dan menatap perempuan itu dengan terkejut.
"A-ah maaf saya lancang, tuan yang memesan kamar ini meminta saya membangunkan anda jam 12. Tapi sepertinya sudah tidak perlu. Maaf sudah membuat anda terkejut."
Suaranya yang terdengar tulus meminta maaf itu menurunkan penjagaan Zenosa. Ia langsung tahu bahwa saat ini ia ada di penginapan.
"Kalau berkenan kami menyediakan masakan lain di restoran lantai basement, mungkin anda kurang puas dengan roti dan teh yang kami sediakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
ZN1 : Tragedy of Miracle City
Science FictionWersnen mendapat julukan kota keajaiban, sumber dayanya begitu melimpah seakan tidak akan pernah habis, peristiwa yang terbilang langka selalu terjadi di sana, hewan yang nyaris punah pun masih berkeliaran di hutan rimbunnya. Kota itu seperti mendap...