"Berisik!!" Seru Zenosa penuh kekesalan.
Suara gaduh mesin yang tengah berjuang untuk bergerak terus menerus terulang setiap kali Den mencoba menyalakannya. Jika saja Zenosa tidak ada di dekatnya mungkin suara bising beserta keluhan itu tidak akan membuat Den naik darah. Ia bahkan sudah lelah untuk menyuruhnya duduk diam dan bersabar menunggu mobil menyala. Sementara selama kurang lebih satu jam ini penuh dengan argumen sia-sia mereka yang sama-sama tidak sabar dalam memperbaiki mobil.
"Oh!"
Knalpot mobil itu mengeluarkan asap hitam dan perlahan suara mesin yang semakin teratur mulai terdengar menandakan usaha mereka membuahkan hasil. Den langsung terduduk dan bersender di bagian depan mobil seraya menghela napas panjang, menarik napas beberapa kali dengan tergesa-gesa. Tangannya ia ayunkan di udara dan sebuah botol air mineral berhasil mendarat di telapaknya. Dua tegukan pun masuk ke tenggorokan dengan lancar.
"Busuk! Asapnya busuk sekali!!"
Den menoleh ke arah sumber suara, seperti tadi Zenosa masih bergumam dengan banyak keluhannya. Kali ini Den hanya bisa tertawa melihat itu.
-[3]-
[-------Seseorang------]
--
-"Oii bocah merah!"
"Apa? Airnya basi?"
Zenosa pun beranjak mendekatinya setelah mendapat isyarat. Ia berjongkok di samping Den yang tengah merogoh saku jaketnya.
"Bawa ini!"
Kompas yang mereka temukan sebelumnya ia sodorkan kasar ke dada Zenosa, benda panjang yang seharusnya terbuat dari rantai kini telah berganti menjadi tali tebal dari karet dengan panjang yang sama. Zenosa mencoba menariknya dan ternyata karet itu sangat kuat dan tidak terlalu elastis.
"Kalau seperti itu tidak akan berat jika kau kalungkan kan? Jadi tidak akan hilang meski kau yang membawanya."
"Kalung?"
"Maksudku begini."
Den mengambil alih tali kompas itu dan memasukkannya melalui kepala Zenosa. Kompas itu pun menggantung kesana-kemari sebelum akhirnya Den masukkan ke saku bagian dalam jaket.
"Kalau seperti ini, saat dikeluarkan kau tidak akan lupa di mana terakhir kali kau meletakkannya. Tidak berat kan?"
Zenosa mengangguk seraya mengamati kompas yang kini ada di saku jaketnya. Ia terdiam sebelum akhirnya melirik ke arah Den.
"Jadi kenapa aku yang bawa?"
"Kukira kau akan menggerutu kalau aku membawa benda yang kau temukan?"
"Tidak, kenapa juga? Lagi pula aku tidak tahu cara pakainya."
"Hehh... padahal aku mencoba bersikap baik loh, habisnya kompas itu kelihatan cukup mahal. Kan bisa kau jual saat kita sudah keluar nanti."
"Memangnya kau tidak butuh uang?"
Den mendadak tertawa keras, tanpa sadar sampai menepuk-nepuk bahu orang di depannya tanpa henti.
"Apa? Uang? Kau bercanda? Kuberitahu ya, gajiku ini sangat besar. Kompas seperti itu tidak ada harganya sama sekali untukku. Pakai saja buat jajanmu ahahahaha!"
"Sikap sombongmu sudah dari lahir ya, tidak, tunggu.... bukannya kau mahasiswa? Gaji apa??"
"Ah..."
Mendadak Den menutup mulutnya rapat, ia terdiam kemudian menundukkan kepalanya dan tersenyum tipis. Ia kembali memegang bahu Zenosa dan menatapnya tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZN1 : Tragedy of Miracle City
Science FictionWersnen mendapat julukan kota keajaiban, sumber dayanya begitu melimpah seakan tidak akan pernah habis, peristiwa yang terbilang langka selalu terjadi di sana, hewan yang nyaris punah pun masih berkeliaran di hutan rimbunnya. Kota itu seperti mendap...