CYTMTR 3

0 0 0
                                    

'Sakit.'

Lihatlah, manusia yang keras kepala ini mulai membenarkan ucapan sang penyenggol bahu. Benar, mungkin dia sebentar lagi akan menjadi beban orang lain, lantaran sakit perut yang tak kunjung berhenti, dan semakin menjadi-jadi.

Dia pun menundukkan kepala karena tak sanggup lagi, bodoh memang. Biarlah dia kapok, agar dia belajar untuk tidak keras kepala lagi. Juga belajar agar memperhatikan asupan tubuh, karena dia sering sekali melewatkan jam makan, dan menyepelekan akibatnya. Sekarang dia mendapat karma, impas, kan?

Dia duduk di pojok, namun hal itu tidak membuat sang guru melepaskan pengawasan sedikitpun.

"Rafian?" seketika dia menegakkan tubuhnya sedikit memaksa.

"I...iya pak."

"Kamu tidur?"

"Ng...nggak pak."

"Hm, perhatikan dengan baik pelajaran saya, saya tidak suka diabaikan."

"Ba...baik pak!" seluruh pandangan manusia di kelas menuju kepadanya, dia segera membuang pandangan ke arah jendela, berusaha meyakinkan dirinya bahwa dia baik-baik saja.

"Cih." salah satu di antara mereka mendecih tidak suka.

"Nggak usah caper, lo!" seorang wanita menatapnya tidak suka. Namun Rafian pura-pura tidak mendengar.

Setelah mengoceh atau lebih tepatnya menjelaskan, Pak Terry Rafian lebih suka menyebutnya pak Teri itu menyudahi pelajarannya, tidak ingin berlama-lama dia segera keluar kelas tanpa memberikan tugas, karena ada urusan yang harus dikerjakannya. Sungguh, sebenarnya Rafian tidak peduli dengan itu. Dia hanya butuh makanan dan obat saat ini.

5 menit setelah itu bel pun berbunyi tanda istirahat pertama berlangsung.

Rafian pov.

Uh, akhirnya perderitaan gue berkurang, gue harus langsung beli makanan dan minta obat ke UKS.

Tapi, kok?

"Uh." perut gue malah makin sakit?

'Brakk...'

Gue langsung ngeliat ke arah pintu. Ck, memang kebiasaan buruknya tidak bisa diubah.

"Piannn..." Nayra, dengan suara pelan segera berlari ke arah gue.

"Loh? Lo kenapa?" dia langsung megang dagu gue.

"Ck, kalian berdua emang sama-sama cocok, dasar rendahan!" Gue cuma berusaha buat nggak peduli, begitu juga dengan Nayra.

"Nggak usah didengerin, sampah doang mulut mereka." kita memang sudah biasa diperlakukan seperti itu, tapi yaa...tinggal menunggu waktu yang tepat untuk membalas, semoga saja mereka akan merasakan hal yang jauh lebih memalukan.

"Sekarang, gue tanya sekali lagi. Lo kenapa?" kali ini tatapan matanya tajam.

"Hehe..." Nayra dengan otomatis melotot, ketika pertanyaannya hanya dijawab oleh cengiran.

"Mau gue robek mulut lu?!"

"Nggak, anjir."

"Kalo gitu, jawab!"

"Anjir, galak banget lo."

"Gue nggak butuh komentar lo. Gue butuh jawaban yang singkat, padat, dan jelas."

"Gue belum makan."

"Sejak kapan?"

"Kemarin siang."

"Mau mati lo?!" Nayra terlihat geram, tapi sebisa mungkin gue masang wajah datar.

"Dari pada lo mati gara-gara alasan konyol, alias maag. Mending lo mati ditonjok sama tangan gue." serem bor, sahabat gue kalo marah.

"Pin, lo harus peduli sama kondisi lo. Lo nggak boleh kek gini terus-terusan." sahabat gue ini udah keliatan frustasi gara-gara tingkah gue yang kekanakan.

"Iya, iya."

"Gue nggak butuh jawaban lo yang nggak serius, Apin. Gue butuh bukti."

"Iya, bawel. Bentar, lo tuh sebenernya manggil gue apa sih?"

"Mau gue panggil lo Pian, Apin, Afi, Rafi, ataupun Rara, itu hak guelah, suka-suka gue." banyak bat dah nama panggilan gue.

"Sebenernya juga ok-ok aja lo mau panggil gue apa. Tapi, buat yang terakhir...please, deh. Gue bukan cewek. Masa gue dipanggil Rara?!"

"Siapa suruh punya muka imut menjurus ke cantik?" gue auto melotot denget jawabannya.

"Masih imutan lo, juga. Terus apa hubungannya muka gue sama nama Rara." nggak sadar diri emang manusia satu ini.

"Yaa...karena lo imut menyerempet cantik jadinya cocok." ini anak sengklek emang, mana ada laki-laki yang mau dipanggil 'Rara' woy!

"Sinting, lo!"

"Bodo! Pokoknya gue bakal manggil lo dengan nama itu." kata Nayra keras kepala.

"Serah lu dah."

"Perut lo masih sakit?" sakit yang mendadak hilang gara-gara pertengkaran kecil, kini kembali.

Gue cuma bisa ngangguk kecil dan menekan perut untuk meredakan sakit.

"Masih kuat jalan?" gue bisa denger nada cemas yang tersirat di dalamnya.

"Gu..gue nggak yakin."

"Gue papah lo ke UKS kalo gitu."

"Jangan sok-sokan kuat, kalau ujung-ujungnya jadi beban orang."
Bener, itu yang sekarang terjadi, gue memang jadi beban buat orang lain.

.
.
.

Bye, bye.

Salam hangat Moyu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 21, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Can You tell me the reason? [bxb]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang