"Ayo bangun! Udah jam delapan ini, yang lain udah pada absen!"
Teriakan Mama menggugahku untuk bangun di pagi hari. Tentunya aku sudah terlambat hari ini, tapi tenang, aku tidak perlu mandi dan siap untuk berangkat ke sekolah. Hanya dengan menekan tombol on pada laptop aku sudah bisa dikatakan sekolah.
Laptop pun menampilkan layar lockscreen bergambar suami khayalanku, Nanon Korapat, pria asal Thailand yang aku idolakan. Bergegas aku memasukan kata sandi dalam laptop kemudian menekan icon Zoom untuk melakukan video call dengan teman-teman serta guruku.
Dan benar saja, aku sudah telat setengah jam untuk mengikuti pembelajaran daring ini.
"Selamat pagi Ayara Erinna, baru bangun?" sapa Bu Dani guru Sosiologi.
"Maaf Bu, sinyalnya jelek tadi," jawabku dengan suara lemas.
"Sinyal jelek sampai setengah jam ya? Ga usah banyak bohong kamu, sekarang jawab pertanyaan Ibu! Jelaskan pengertian teori teologis menurut Auguste Comte!"
"Teori yang menjelaskan dimana masyarakat masih percaya segala hal sangat berhubungan dengan kepercayaan supranatural."
"Oke bagus, besok jangan terlambat lagi ya!"
"Baik Bu."Aku menghela nafas lega karena dapat menjawab pertanyaan Bu Dani dengan benar. Pembelajaran daring pun dilanjutkan hingga pukul 12.00.
Pandemi ini menyebabkan segala aktivitas di setiap sektor berubah secara daring. Awalnya sekolah hanya mengumumkan dua minggu libur, tetapi terus berlanjut sampai satu tahun.
Bosan? Tentu. Awalnya para murid berpikir senang saja saat sekolah di rumah, tetapi ketika sudah berjalan satu tahun justru rindu suasana sekolah.
Aku meregangkan otot-otot ku karena pegal harus duduk berjam-jam menatap layar kaca. Kemudian aku menuruni tangga untuk pergi makan siang karena sarapan sudah aku lewati tadi.
Suara pintu terketuk terdengar olehku, pasti itu Dimas yang ingin meminta makanan.
"Hehe," seyum meringis ia berikan padaku.
"Hmm, masuk aja."
"Makasih bro"Dimas, ia adalah teman masa kecilku yang selalu meminta jatah makan siang. Hal itu dikarenakan ia memiliki masalah dengan Mamanya. Mamanya selalu sibuk dengan urusan pekerjaan sehingga tidak ada waktu untuk mengasuh Dimas, sedangkan Papanya sudah meninggal.
Keluargaku selalu menerimanya karena ia adalah teman kecilku dan sudah menganggap Dimas keluarga sendiri.
"Eh Dimas, sini duduk pas banget makananya baru aja mateng," Mamaku mengajak Dimas.
"Iya Tante,"
"Gatau diri," kataku
"Diem lo nyet," kata Dimas memaki dengan berbisik.Bercandaan seperti itu sudah biasa kami lakukan karena kami sudah dekat semenjak kecil. Kami juga harus tahu kapan kata-kata tersebut digunakan sehingga tidak akan menimbulkan perasaan sakit hati di antara kami.
"Enak banget Tante, serius," kata Dimas sembari mengunyah makan.
"Iyalah gratis," kataku.
"Nambah lagi juga boleh kok Dim atau mau bawa pulang?" tanya Ayah.
"Take away bayar," kataku.
"Yah Om sejak kapan ada yang malakin?" tanya Dimas.
"Semenjak negara api menyerang," kata Ayah melontarkan candaan.
"Aelah Ayah jokes bapak-bapak WhatsApp," kataku menyindir."Aya, keluar kuy," Dimas mengajakku keluar selepas makan.
"Kemana?" tanyaku.
"Go to my universe, azek,"
"Apesih gembel, kemana serius?"
"Biasalah."
"Bentar gue ganti dulu."
"Gausah."Tanpa basa-basi ia langsung menarik tanganku dan menuju ke rumahnya untuk mengambil motor. Ia memakaikan helm di kepalaku dan memberikan masker kepadaku. Aku pun kemudian duduk di kursi penumpang tepat di belakang Dimas.
Motor yang dikendarai Dimas melaju dengan lincah memecah jalanan yang dipenuhi mobil.
"Kita mau kemana sih?" tanyaku.
"Temenin gue ke theater," jawab Dimas. Theater yang ia maksud adalah Theater JKT48 yang berada di fX Sudirman, Jakarta Pusat. Ia sangat menggemari idol grup ibu kota turunan dari negeri sakura sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teenage Life
Teen FictionTeenage Life Berceritakan tentang permasalahan kehidupan remaja yang dimulai sejak SMA hingga memasuki lika-liku perkuliahan yang semakin rumit. Perasaan senang, sedih, haru, dan kekecewaan menjadi satu seperti menaiki roller coaster kehidupan. Ayar...