AYARA POV'S
Di hari yang hujan ini, aku memanjakkan diriku dengan berbaring di sofa ruang tengah sambil membaca buku novel sejarah ditemani secangkir coklat panas. Hari ini aku hanya ingin bersantai saja karena semua tugasku telah selesai. Tetapi kenikmatan itu seketika dipecahkan oleh suara pintu yang terketuk oleh seseorang.
Tubuhku rasanya sudah menjadi satu dengan sofa empuk ini. Bukannya aku membuka pintu tetapi aku malah mengambil handphoneku lalu membuka obrolan dengan Dimas.
"Kalo itu lo, buka aja," pesan itu ku kirim ke Dimas.
Tiada balasan darinya, tetapi satu menit kemudian pintu terbuka. Muncullah Dimas bersama Pak Warno.
"Yang tadi ketok pintu bukan gue, nih Pak Warno," ucap Dimas.
"Oh Pak Warno, maaf malah bikin Bapak jadi kehujanan di luar, mari masuk," kataku malu karena tidak enak.
"Gapapa neng, cuman jadi kedinginan aja, Ayah kamu ada?" ucap Pak Warno.
"Oh ada kok Pak, saya panggilin dulu. Mari Pak duduk, saya buatin teh anget," ucapku
"Gue kelapa muda anget satu ya," Dimas ikut-ikutan memesan tetapi aku hanya mengabaikannya, Pak Warno pun tertawa.Ayahku kemudian menemui Pak Warno, sedangkan tamu satunya lagi aku tidak tahu tujuannya ke sini untuk apa.
"Lo udah buat gue ke sini dan sekarang bikinin gue minuman yang sama kayak lo!" ucap Dimas menuntut.
"Bikin sendiri," ucapku yang tetap terfokus oleh buku bacaan.
"Ih tanggung jawab dong, lo dah bikin gue capek," Dimas menggerutu lagi.
"Lo sendiri yang bikin capek, padahal tinggal bales wa gue, kelar deh," aku sudah kesal dengannya.
"Ya terus kenapa lo nggak langsung bukain pintunya aja? kenapa harus wa gue dulu? pengen banget lo ketemu gue?"
"Gue mager, makanya gue wa tapi malah lu bikin repot," belaku.
"Ya elah ketimbang sana sini doang lu mager," Dimas masih saja membalasnya.
"Haduh berantem mulu kalo ketemu, ga pernah apa mesra-mesraan dikit?" Mama yang baru saja dari dapur melerai percapakan kita, walaupun pertanyaannya juga semakin membuatku kesal."Aya main yu," kata Dimas yang tiba-tiba merujuk.
"Gamau hujan," aku menolak.
"Aya ayo main," ajaknya lagi.
"Diem lo, nih baca sejarah," karena kesal aku memberikannya buku novel sejarah lainnya yang ku miliki. Ia pun akhirnya diam dan kemudian membacanya.Aku pun juga melanjutkan bacaan novelku yang sempat terjeda tadi. Lima menit telah berlalu, sebuah kepala tiba-tiba mendarat di pundakku dengan pelan.
Dimas yang baru saja membaca novel sejarah ini sudah diterkam oleh kantuknya. Aku terdiam kaku saat kepalanya di pundakku, pelan-pelan aku menjauhkan kepalanya dari pundakku.
"Bentar aja Aya, gue cape," keluhnya. Aku merasa dia benar-benar lelah dengan segala masalah hidupnya.
"Lo kenapa?" aku menanyainya.
"Biasa, ga perlu lo khawatirin," ucapnya.
"Berantem lagi?" tanyaku pelan.
"Diem Aya, aku mau tidur," ucapnya pelan. Aku terdiam karena dia mulai menggunakan kata "aku".Sebuah notifikasi pesan muncul dari ponsel Dimas. "Gausah pulang malem ini!" pesan tersebut yang muncul dari ponselnya. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi, tapi aku mengetahui dia tidak akrab dengan Mamanya dari dulu.
Aku merasakan sebuah tetesan jatuh ke pundaku. Aku menoleh ke arah Dimas, memastikan apakah Dimas menangis atau tidak, tetapi ia langsung mengalihkan wajahnya ke arah sofa.
"Dim?"
"Gue nginep semalem aja ya?" dia meminta.
"Kapanpun Dim,"Ia kemudian mengelap matanya di pundakku dengan menggelengkan kepalanya, lagi ada masalah saja dia masih kurang ajar.
"Main yuk, mana monopoli lo?" ucapnya dengan senyum kemudian. Aku ingin membantunya tetapi aku tidak tahu apa yang harus ku perbuat jadi aku menurutinya saja.
"Senyum dong Aya, males gue kalo lo ga senyum," ucap Dimas. Aku hanya tersenyum kecut.
"Gue order sushi ya, lo suka sushi kan?" tawar Dimas.
"Dimas, lo yang luka kenapa gue yang diobati?" tanyaku.
"Karna obat gue juga terluka, jadi perlu diobati dulu biar dia berfungsi," ucapnya sembari memesan makanan. Aku tersenyum."Ke caffe aja yuk, udah mulai terang," ajakku. Dimas mengangguk. Kami pun menghabiskan waktu dengan melayani pelanggan di caffe. Hari ini mungkin menjadi hari terberat bagi Dimas. Aku tidak ingin memaksanya untuk bercerita, biarkan ia sendiri yang berbicara.
Kami mulai membuka caffe yang sebelumnya tutup. Dua jam telah kami lewati dan ternyata banyak pelanggan datang meskipun hari sedang hujan. Caffe mulai sepi pelanggan seiring hujan mulai reda menyisakan gerombolan abg yang tergila-gila dengan Dimas.
"Mbak tolong kasih ini ke masnya dong," ucap seorang perempuan kepadaku saat aku sedang membersihkan meja, ia bersama kelima temannya yang gelagatnya seperti cacing kepanasan saat melihat Dimas. Aku menatapnya dengan sangat jutek karena malas dengan tingkah mereka. Salah satu dari mereka menyeletuk "Dine in kopi, take away masnya," lalu tawa mereka pecah, aku hanya memutar bola mataku.
Gerombolan ini sudah sering datang ke caffe hanya demi melihat Dimas. Awalnya hanya salah satu dari mereka, tetapi semakin hari ia mulai membawa rombongannya se-RT. Tidak apalah, mereka juga sumber panganku. Untung saja tiap individu dari mereka selalu memesan minuman, bukan satu minuman untuk bersama.
"Nih dari tikus-tikus lo," ucapku kesal dengan memberikan barang tersebut. Dimas hanya tersenyum kemudian pandangannya beralih ke gerombolan abg yang memberikannya barang tadi. Ia mulai memainkan mata genitnya yang sangat membuatku geli, tetapi yang diberi mata kedipan tersebut mulai terbang melihatnya.
"Najis lo," ucapku pada Dimas.
"Lo mau juga? lo bakal dapet yang lebih dari sekedar ini," ucapnya genit.
"Idih lo kek om-om pengangguran yang suka nongkrong tiap ada cewe lewat langsung disiul deh," aku mengatai Dimas.Dimas memang terbiasa seperti itu terhadap perempuan-perempuan tersebut karena menurutnya itu lucu saja, ia serasa memiliki fans. Dimas juga tidak akan menggoda mereka jika mereka tidak memancingnya duluan. Tenang saja, Dimas tidak sekurang ajar itu dan tidak pernah melewati batas.
Bunyi lonceng diatas pintu berbunyi, menandakan ada seorang pelanggan yang masuk. Selamat datang kuucapkan kepadanya saat aku sedang sibuk mengurusi kopi. Tidak ingin membuat pelanggan tersebut menunggu aku menghampirinya untuk menuliskan pesanannya.
"Matcha latte hangat satu sama roti bakar mbak," ucapnya. Ia mendongak ke arahku setelah membaca menu.
"Lah lo lagi," ucapku kepada pelanggan itu, siapa lagi kalau bukan pria pembawa sendok.
"Aa-" ia tak dapat bicara, buru-buru ia memberikan sejumlah uang kepadaku.
"Kembaliannya ambil aja," bukannya memilih meja tetapi ia malah pergi meninggalkan caffe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teenage Life
Teen FictionTeenage Life Berceritakan tentang permasalahan kehidupan remaja yang dimulai sejak SMA hingga memasuki lika-liku perkuliahan yang semakin rumit. Perasaan senang, sedih, haru, dan kekecewaan menjadi satu seperti menaiki roller coaster kehidupan. Ayar...