#4 - Bersamamu

29 19 20
                                    

"Yes dapet traktiran," aku bergumam setelah pria itu pergi.
"Kenapa?" tanya Dimas kepadaku.
"Lo mau roti bakar ga?" tanyaku.
"Mau," jawab Dimas.

Aku pun segera membuat roti bakar dan matcha latte untuk aku konsumsi sendiri.
"Ayo Dim makan dulu mumpung sepi," ajakku pada Dimas setelah jadi.
"Sepiring berdua banget nih? segelas berdua banget nih?" tanya Dimas menatap makanan yang ada di meja karena aku hanya membuat makanan yang dipesan oleh pria pembawa sendok itu tadi.
"Oke kalo lo maksa, itung-itung lo cemburu ama yang tadi kan? nih buktinya lo bakal dapet yang lebih, bisa sepiring berdua. Ga sekalian mau satu sedotan nih?" tanya Dimas sembari melahap roti bakar tersebut.
"Najis," jawabku.
"Yaelah, nih makan," Dimas menyodorkan roti itu ke mulut ku tanpa persetujuan.

Bel pintu berbunyi kembali, pertanda ada pelanggan baru.
"Astaga ternyata ownernya lagi pacaran disini," seru pelanggan tersebut, yaitu Ardina dengan membawa pasangannya yang pernah ku lihat waktu perlombaan kemarin.
"Kita bisa double date dong," tambah cowok Ardina.
"Eh Din sini, ide bagus mari kita double date," Dimas kemudian menatapku sembari menaikan kedua alisnya.

Aku mengernyitkan alis, ogah melakukan hal tersebut. Ardina kemudian menghampiri meja kami.
"Idihh, sepiring berdua banget nihh," goda Ardina.
"Iyanih, Aya yang maksa," jawab Dimas. Aku meratapi kebodohanku karena hanya membuat satu roti bakar saja dan aku tidak menduga hal ini akan terjadi.
"Ih ih Ayara mukanya merah ahahahah," goda Ardina lagi. Aku tidak bisa menjawab, aku hanya diam dan kikuk.

"Din mau pesen apa gue bikinin," untuk mengalihkan pembicaraan aku menawarkan menu.
"Ahahah, kamu mau makan apa yang?" tanya Ardina kepada pacarnya.
"Aku ngikut kamu aja," jawabnya.
"Roti bakar aja deh biar sama kaya kalian ahahah," Ardina menggodaku kembali. Aku hanya memutar bola mataku dan pergi membuatkan pesanan mereka.

"Sini yang aku bantuin," ujar Dimas setelah menyusulku di meja barista.
"Yang yang peyang. Telat lo, ga guna," ucapku sembari menoyor kepalanya.
"Mau dipanggil apa terus?" tanyanya.
"Ndoro Ayu," jawabku ketus dan pergi untuk mengantarkan pesanan Ardina.

Sejujurnya aku geli tetapi hanya kutunjukkan dengan wajah datar melihat gaya berpacarannya mereka dengan mencubit-cubit pipi dan saling melontarkan gombalan kemudian terkesima sendiri. Aku tak menyangka gadis multitalenta seperti Ardina gaya pacarannya seperti itu. Tapi hal tersebut hanya kuungkapkan dalam hati dan tidak kuutarakan pada mereka karena aku tidak punya hak mengubah gaya pacaran mereka. Biarkan mereka melakukan apa yang mereka sukai.

"Gedek gue," gumamku setelah nengantarkan pesanan dan duduk di dekat meja barista.
"Sama," jawab Dimas. Aku kaget karena ia tiba-tiba di sampingku.
"Bikin gue kaget aja, kenapa?" tanyaku.
"Alay," Dimas memang orang yang terang-terangan jika berkomentar. Aku hanya tertawa.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul tujuh malam, kami sudah disuruh pulang oleh orang tuaku, tetapi caffe tetap dilanjutkan oleh karyawan sampai dini hari nanti.

"Laper, mau makan ga?" tanyaku.
"Kan udah disuruh pulang," jawab Dimas. Tak lama handphoneku bergetar menandakan pesan masuk.

"Mama lupa bilang, kamu beli makan di luar ya? Tadi Ayah sama Mama pergi makan berdua hehe," pesan dari Mama.

"Nih liat, lo traktir hehe," aku menyodorkan handphoneku pada Dimas.
"Yaudah, makan apa?"
"Mau nasi goreng," jawabku.
"Tumben, biasanya bilang terserah," kata Dimas.
"Lagi ngidam," jawabku.
"Hamil lo?" tanyanya. Tak mau memperpanjang masalah aku menyuruhnya untuk cepat jalan.
"Siap Ndoro Ayu," ujarnya, aku hanya tertawa karena dia menyeriusi perkataanku.

Hampir satu jam akhirnya kita telah sampai di rumah. Dengan perut yang sangat kenyang aku pun turun dari motor Dimas.
"Huh kenyang banget, beneran hamil nasi goreng gue," keluhku.
"Perut lo kenyang, gue kanker," ucap Dimas dengan ketus.
"Hah? lo kanker?" tanyaku heboh.
"Kantong kering anjing," jawabnya dan langsung masuk saja ke rumahku.
"Heh rumah gue, main nyelonong aja!"

Di depan pintu sudah ada Mama dan Ayah yang menyambut. Dimas kikuk karena ia main nyelonong saja tanpa permisi. Aku kemudian muncul dari belakangnya.

"Yah, Ma, Dimas mau nginep," izinku pada orang tuaku.
"Iyaa boleh, Dimas tidur di sofa gapapa? soalnya kamar kosongnya dipake si mbak," ucap Mama.
"Gapapa tante, saya tidur di genteng juga gapapa," jawab Dimas.
"Halah gayamu," ucapku.
"Yaudah sekalian nguli," sambung Ayah, kami pun tertawa.

"Tante ambilin selimut ya, kamu kalo mau ke kamar mandi di situ," ucap Mama.
"Yah tante kayak saya baru ngerepotin hari ini aja," ujar Dimas.
"Kamu ini tau diri tapi agak ngeselin juga ya," ucap Mama sambil menggelengkan kepala.
"Hehe, makasih ya Tante" Dimas hanya cengar-cengir.

"Cewek, sstt sstt sini dulu," Dimas yang sudah berselimut memanggilku dengan catcalling.
"Sat sut sat sut, punya nama ye," aku memarahi Dimas.
"Nama lo celat ga si aslinya? harusnya Azahra tapi jadi Ayara ahahah," ujar Dimas.
"Gue panggilin Mama buat ngusir lu ye," ancamku sembari menjitak kepalanya.
"Iya iya maaf. Btw Aya, duduk dong." Aku kemudian duduk di karpet sedangkan Dimas sudah terbaring di sofa dengan tubuhnya yang sudah berselimut.

"Lo pernah berpikiran untuk ga hidup di dunia ini ga si?" tanya Dimas serius. Aku menoleh ke Dimas, ia menatapku dengan mata yang serius penuh pengharapan.
"Enggak, gue bersyukur banget bisa hidup karena kalo gue ga dilahirkan di dunia ini gue ga akan-" perkataanku terpotong oleh Dimas

"Ga akan ketemu sama Dimas tamvan," ujarnya dengan percaya diri yang tinggi.
"Apaan si lu, lu tuh sebenernya sebelas duabelas ama pacarnya Ardina," ucapku kesal.
"Ahahah iya kenapa tadi lanjut,"
"Gue ga akan ngerasain lika-liku hidup seorang manusia," jawabku.

"Lo menikmati segala proses senang, sedih, dan semua hal yang sifatnya berbanding terbalik?" tanya Dimas lagi.
"Iya, dari situ gue ngerti berbagai rasa macam perasaan. Bahkan perasaan tersebut bisa saling bercampur," jawabku.
"Lo paling suka perasaan apa?"
"Perasaan ketika gue menemukan perasaan baru," ucapku.

Lelah ditanyai terus menurus, aku berbalik bertanya.
"Lo lagi ngerasain menyesal dilahirkan?" pertanyaanku mungkin langsung tepat sasaran dengan apa yang dirasakannya kini. Dimas hanya terdiam menatap plafon rumah.

"Apapun perasaan lo itu, lo selalu ngeliat dari satu sisi aja. Mungkin lo sekarang baru ditahap merasakan perasaan menyesal. Tuhan ga mungkin nyiptain umatnya tanpa suatu alasan. Dan sekarang tergantung gimana lo menyikapi hal itu, kalo lo nyerah sekarang, mungkin lo ga akan merasakan perasaan berikutnya. Siapa tahu perasaan berikutnya itu adalah bahagia? Semua kembali lagi gimana lo berusaha," ucapku.

Menyebalkannya ia malah menutup matanya pura-pura tidur.
"Gue gebuk ye perut lo!"
"Ahahah anying, serem amat," Dimas kemudian terbelalak mendengar perkataanku.
"Iya iya gue dengerin, makasih ya. Dah balik sana ke kamar," Dimas mengusirku.
"Dih sok-sokan deep talk," ucapku kesal, tetapi aku melihat mata Dimas mulai memerah seperti menahan nangis. Aku terdiam sejenak menatap matanya.

"Udah balik sana, I'm fine bro!" ucapnya sambil mengelap matanya. Aku kemudian memegang pundaknya dan mulai menegelus punggungnya perlahan, biasanya hal ini bisa membantu seseorang untuk menangis. Dimas mengarahkan matanya menghadap ke atas. Sekali lagi ia menahan nangis.

"Ga perlu gengsi untuk nangis," ucapku.
"Enggak Aya, ini masih level biasa kok. Lagian diusir sehari doang, paling besok udah kangen gue lagi. Udah balik sana, perlu banget gue anterin?" Dimas selalu saja menolak.

"Ada gue, lo ga sendiri," ucapku kemudian pergi menuju kamar. Dimas tersenyum.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 01, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Teenage LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang