[3] Kereta untuk Pulang

12 2 0
                                    

Hari itu pengumuman SNMPTN. Semua orang antusias, kecuali gadis itu. Gadis yang memilih duduk dan bertukar cerita dengan teman laki-lakinya dari SMP. Mereka bercerita di kantin pojok yang jarang dijangkau orang.

Bukan karena itu tempat para berandalan seperti di novel, tapi karena jualannya cepat habis. Jadi ramai kalau istirahat pertama saja, setelah dagangannya habis, biasanya buat nongkrong saja.

"Kamu sudah cek hasil SNM?" Tanya laki-laki itu.

Gadis itu menggeleng. "Nanti ah. Malas. Kalau kamu gimana, Bar?"

"Sudah."

"Lho, kapan?"

"Sebelum kamu ngajak ke sini."

"Terus, hasilnya?"

Akbar menggeleng. "Belum rezeki. Kamu cek saja sekarang."

"Nanti ah. Aku mau cek di depan Bapak sama Ibu."

"Ya---"

"Rin!!!!" Ucapan Akbar terpotong oleh pekikan seorang gadis yang baru saja berlari kecil dan heboh sendiri.

"Ngopo to?" Tanya gadis yang dipanggil Rin.

"Selamatttt!!! Congrasulasion!!"

"Congratulations, Dita." Ralat Akbar.

Dita memutar bola matanya. "Ya itulah pokoke!"

"Selamat opo seh?" Rin kebingungan.

"Kamu lolos SNMPTN lho heh!! Iso-isone main gak ngerti!!"

Rin mengerutkan dahi. "Aku lolos SNM? Serius kamu?"

"Duarius! Kalau aku bohong, kamu bisa pukulin Akbar."

"Lho heh, kenapa jadi aku?"

Rin tertawa. "Haha. Makasih ya Ta infonya. Nanti aku cek lagi. Kamu gimana?"

"Alhamdulillah lolos juga Rin. Kesampaian jadi mahasiswi kampus negeri. Kampus dalam kota jadi kepake hihi."

Rin tergelak mendengar sahabatnya bertutur kata.

***

"Rin lolos SNMPTN Pak, Bu," ucap Rin pada kedua orang tuanya yang kini duduk di hadapannya.

Mata Ibunya berair. Merasa bangga pada anak perempuan satu-satunya di keluarga ini. Sedang Bapaknya, masih belum menunjukkan ekspresi apa-apa.

"Alhamdulillah Nduk. Terus keterima di mana? Jurusan apa?"

"Di Semarang Bu, jurusan Seni Rupa Murni."

Senyum Ibunya semakin lebar, tapi masih dapat Rin temukan ketidaknyamanan di matanya.

"Ah, begitu. Yo wes, terus---"

"Kenapa kamu gak ambil Akuntansi atau Ekonomi saja? Haruskah seidealis itu?" Ucapan Bapak memotong kalimat Ibu yang belum selesai.

Rin sudah menduga, Bapaknya tidak akan setuju. "Rin bodoh dalam hal seperti itu Pak, yang Rin mampu dan Rin tau hanya menggambar."

"Kamu bukan tidak tau atau tindak mampu, kamu hanya tidak mau belajar melampaui batasmu."

"Untuk apa Rin belajar melampaui batas terhadap sesuatu yang Rin tau itu adalah ketidakmungkinan. Memangnya kenapa sih Pak dengan seni?" Rin menahan air matanya.

"Kamu lihat si Mansur, anaknya Haji Agus. Dia sukses karena masuk akuntansi. Kemudian Dewi, anak Hajah Rosalia. Sukses karena belajar ekonomi. Dengan belajar seni, kamu mau jadi apa?"

"Rin ingin jadi seniman, Bapak! Rin janji, suatu saat Rin akan bawa Bapak dan Ibu ke sebuah pameran seni yang di dalamnya ada karya Rin! Rin janji akan tunjukan kepada Bapak dan Ibu bahwa menjadi seniman bukan pilihan yang salah!"

Kereta untuk PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang