18.55
Levi memelankan laju scoopy hitamnya dan berhenti di depan gerbang berwarna hijau tua. Lelaki berambut hitam itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya lalu menuliskan pesan singkat kepada seseorang.
di dpn. sni cpt sblm aku berubah pikiran.
Tak lama kemudian seorang perempuan berkaca mata berjalan kearahnya sambil tersenyum lebar.
“Pas jam 7 kan? Aku gak telat sedetik pun”, ucap perempuan itu sambil menutup kembali gerbang rumahnya.
“Hm. Kamu udah bilang sama sepupu kamu itu kan? Aku gak mau dikira penculik lagi.”
“Mike gak ada di rumah. Ntar aku chat aja”, balas Hange sambil memasukkan ponselnya ke tas lalu memakai helmnya.
Levi mengamati sosok yang tengah berdiri di hadapannya. Hoodie abu-abu, celana jeans plus sneakers. Tipikal Hange Zoe sekali. Rambut cokelatnya dikuncir seperti biasa. Tidak lupa pula dengan kacamata oval yang membingkai mata cokelatnya.
Setelah Levi pikir-pikir Hange memang jarang dan hampir tidak pernah berdandan seperti perempuan seumurannya. Rambutnya selalu diikat, hanya sesekali digerai setelah keramas. Kukunya dipotong pendek dan rapi. Tidak pernah di cat warna-warni. Hange juga tidak suka memakai parfum.
“Aku suka bersin kalo cium bau parfum”
Itu adalah jawaban Hange dulu saat ditanya kenapa ia tidak suka pakai parfum. Tapi anehnya Hange tidak pernah bau badan. Dia seperti punya aroma khas Hange Zoe.
Hari ini juga sama, tidak ada yang berubah dari sosok sahabatnya itu. Selain ikat rambut biru dengan hiasan kupu-kupu yang sempat Levi lihat sekilas tadi.
Tunggu... Sejak kapan Hange memakainya? Bukankah dia selalu memakai ikat rambut warna hitam pemberiannya?
“Faii...Levi jadi jalan gak? Kok kamu bengong sih?” Pertanyaan Hange berhasil membawanya kembali ke realita.
“Ya udah. Buruan naik”, sahut Levi sebisa mungkin mengatur nada suaranya agar tetap terdengar datar.
Ia memutuskan untuk menanyakannya nanti.
Seperti yang sudah direncanakan, keduanya menuju ke toko buku terlebih dahulu. Setelah berhasil menemukan buku referensi untuk skripsi dan beberapa novel yang tidak bisa Hange tolak untuk tidak dibeli. Akhirnya mereka meninggalkan toko buku tersebut.
Sepanjang perjalanan seperti biasa Hange akan berceloteh tentang banyak hal. Mulai dari penelitian dan skripsinya, teori-teori dari buku yang ia baca, bahkan sampai ke hal yang tidak penting sama sekali.
Tapi Levi tidak pernah keberatan mendengar ocehan temannya itu. Yah..walaupun terkadang Levi juga sebal karena Hange tidak akan berhenti bicara sebelum dia lelah atau lapar.
Pukul 20.37 Levi dan Hange sampai di alun-alun kota. Setelah memarkirkan sepeda motor, keduanya bergegas menuju ke tempat pedagang sate langganan mereka.
Sebenarnya Levi ingin segera pulang setelah selesai makan. Tapi Hange merengek minta dibelikan es krim. Dan seperti biasa, Levi tidak bisa menolak sama sekali.
Akhirnya keduanya kini duduk disalah satu bangku taman sambil menikmati es krim di tangan masing-masing.
“Han, kamu pernah nganggep aku sebagai cowok gak?”, Levi berkata setelah menghabiskan es krim bagiannya.
“Kamu kan emang cowok Fai, kalo kamu lupa”, balas Hange sambil menyendokkan es krim ke mulutnya.
“Bukan gitu. Maksudku..kamu pernah anggep aku lebih dari teman gak?”
“Maksud kamu kayak cowok yang di drama atau novel-novel gitu?”
“Iya. Kayak cewek cowok yang pacaran gitu”, Levi berucap sambil mengusap tengkuknya.
“Hmm...” si rambut cokelat berdengung sebelum melanjutkan “Kayak pacaran yang jalan bareng, makan, atau ngedate gitu?”
“Iya. Pernah gak?”
Hange menghentikan kunyahannya dan menatap Levi heran.
Entah kenapa tatapan Hange yang seperti itu membuat Levi merasa was-was menunggu jawaban yang akan keluar dari gadis di sampingnya.
“Tapi Levi... kita sudah pernah melakukan semuanya. Kita sering jalan-jalan bareng. Kamu juga selalu antar jemput aku. Makan bareng hampir tiap hari, nonton bioskop, belanja. Bahkan kita sering tidur bar-”
*Pletak
“ADUUHH!! KENAPA MALAH MEMUKULKU!? SAKIT TAU!” Hange berteriak kesal sambil memegang dahinya yang sakit akibat ulah Levi.
“Jangan keras-keras bodoh! Orang-orang bisa salah paham”, Levi mendesis kesal.
Hange menatap sekeliling untuk memastikan omongan Levi. Syukurnya orang-orang disekitar sana terlalu sibuk dengan urusan masing-masing hingga tidak menyimak percakapan bodoh mereka.
Levi menghela napas sambil memijat pelipisnya. Yaah..Hange tidak sepenuhnya salah. Mereka memang terlalu sering menghabiskan waktu bersama. Bahkan orang-orang sering mengira mereka berpacaran.
Bedanya, diantara Levi dan Hange tidak pernah ada sesuatu yang berbau romantis. Kalau kata orang, jika kita bersama dengan sosok yang kita cintai maka jantung kita akan berdetak dua kali lebih cepat. Nyatanya Levi tidak merasakan hal itu saat bersama Hange.
Bersama Hange, ia justru merasa tenang dan nyaman. Hange memang sering membuat Levi kesal dengan segala tingkahnya. Tapi Levi sama sekali tidak pernah merasa terbebani dengan keberadaan Hange. Entah sejak kapan sosok Hange Zoe seolah menjadi sebuah kebiasaan baginya.
Seingat Levi, dulu ia pernah merasakan debaran itu ke Hange. Saat mereka berdua masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Hange menangis tersedu sedu setelah cintanya ditolak oleh siswa pindahan bernama Erwin Smith. Dia menangis sepanjang malam dipelukan Levi. Saat itu lah Levi merasakanya. Tapi sayang, Levi mengabaikannya. Ia menganggap itu sebatas rasa empati ke sahabatnya.
“Levi..pulang yuk. Aku gak sabar pengen baca novel ini hehe”, ujar Hange membawa kesadaran Levi kembali.
Levi menoleh ke entitas di sebelahnya sebelum berujar.
“Kerjain skripsi kamu tuh. Katanya mau cepet lulus”.
“Iya ya..besok aku kerjain lagi”, balas Hange sambil berdiri dari posisi duduknya dan mulai berjalan menuju ke parkiran.
“Mungkin memang lebih baik tetap seperti ini”, gumang Levi pelan sambil mengikuti langkah Hange dari belakang.
Untuk sekarang biarlah keduanya tetap menjalin hubungan seperti ini. Hanya dua orang yang terbiasa dengan kehadiran satu sama lain.
Kedepannya..tidak ada yang tau kan?
-fin or tbc?
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Friend ?
Fanfiction~ Oneshot Levihan Alternate Universe ~ Levi Ackerman x Hange Zoë Tentang hubungan antara dua entitas yang terbiasa dengan kehadiran satu sama lain.