Hujan di luar tak kunjung reda. Setiap tetesan yang jatuh ke tanah terdengar begitu jelas di indra pendengaran. Menembus lapisan dinding yang menghantarkan suhu dingin hingga ke tulang.
Gadis dengan baju lusuh itu terbaring tanpa alas di sudut ruangan berbentuk persegi bersama 12 orang lainnya yang sekarang sedang menggigil dan mengeluhkan perut mereka yang sakit akibat kelaparan. Mata beningnya menembus celah-celah jeruji besi yang kokoh, melihat hal yang sama terjadi di ruangan di depan sana. Gerutu dan tangisan memenuhi ruangan sempit itu. Ia mencoba untuk tidak peduli dan memilih menutup mata dan telinga. Tapi teriakan histeris dari ruangan sebelah membuatnya terkejut dan kembali membuka mata.
"Dia tidak bernapas! Tolong! Penjaga! Adikku! Kumohon bawa adikku ke rumah sakit!" Suara panik seorang pria dengan isak tangis memancing perhatian semuanya.
Dua penjaga datang membuka pintu ruangan sebelah. Tidak ada yang tahu apa yang dilakukan setelahnya. Hanya terakhir, terdengar suara penjaga mengatakan bahwa adik pria itu meninggal. Disusul tangisan yang menyayat hati saat seorang mayat balita perempuan digotong tidak layak seperti karung beras keluar dari dalam ruangan dan dibawa pergi entah kemana.
Ini bukan pertama kalinya seseorang meninggal di tempat itu. Sejauh ini, ada 5 orang yang meninggal dalam seminggu terakhir. Kelaparan dan kedinginan adalah penyebab utama. Tidak ada yang tahu, siapa korban selanjutnya.
Gadis itu menghela napas lelah. Ia bangkit dari baring dan memilih duduk sambil bersandar di dinding yang sebagian catnya mengelupas. Di tangannya ada selembar foto yang sedari tadi diamatinya dalam-dalam. Foto pria paruh baya dengan senyuman manis yang terpancar dari wajahnya yang mulai keriput. Dari mata mereka yang serupa, dapat disimpulkan jika itu foto ayahnya.
"Aboeji! Kapan kau datang menjemputku? Aku sudah tidak tahan di tempat ini. Aku merindukanmu," gumamnya kecil.
Jika dihitung, hampir 9 bulan dirinya menghabiskan waktu menjadi tawanan di tempat kotor dan menjijikan itu. Tempat penampungan untuk anggota keluarga para agen mata-mata negara. Yah, Ayah dari gadis itu adalah seorang agen mata-mata yang ditugaskan di Korea selatan untuk sebuah misi yang gadis tersebut tidak ketahui pasti. Setiap hari, dirinya selalu berdoa dan berharap ayahnya datang menjemputnya dan mereka dapat pulang bersama ke rumah kecil mereka. Memasak sup ayam gingseng dan tidur di tempat hangat seperti biasa yang mereka berdua selalu lakukan. Entah kapan penantian itu berakhir.
"Tahanan 127!" Seorang penjaga memanggil dari balik pintu jeruji.
"Ne!" Gadis itu menyahut. Ya, itu adalah nama panggilannya di tempat tersebut.
Penjaga itu membuka pintu. "Ikut denganku. Kolonel Han ingin menemuimu," ucapnya.
Gadis itu mengerutkan dahi. Berpikir sejenak, mengapa Kolonel Han memanggilnya?
Apa ayahku sudah pulang?
Apa aku akan dibebaskan?
Pikirannya gelisah membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di depan sana. Dan ia berharap itu hal yang baik.
"Ya! Apa kau tidak mendengar?!" bentakkan penjaga itu menyadarkan gadis tersebut dari lamunannya.
"Maaf!" Gadis itu bergegas bangkit dan melangkah pergi mengikuti penjaga tadi.
****
"Kim Ha Ye, benar?" Pria berseragam tentara dengan lencana yang hampir memenuhi pundaknya itu mengeja sebuah nama di kertas yang sedang dipegangnya.
Gadis di depannya mengangguk pelan. Dia tahanan 127 yang dibawa oleh penjaga tadi. Nama yang disebutkan oleh Kolonel Han adalah nama aslinya.
"Berapa umurmu?" tanya Kolonel Han seraya bangkit dari kursi kerjanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boom
FanfictionKim Ha Ye seorang gadis muda yang harus menjalani hidup kerasnya sebagai agen mata-mata Korea Utara menggantikan ayahnya yang tewas di Korea Selatan. Gadis cerdas itu, harus berpura-pura menjadi sosok culun dan bodoh di lingkungan barunya. Dengan id...