Kamar itu masih terlihat sama, seperti terakhir kali Ha Ye tinggalkan. Terletak bersebelahan dengan kamar ayahnya. Dia mendapat kamar tidur di sebelah barat yang menghadap ke halaman depan. Kamar itu sangat nyaman, itu kamarnya sejak dirinya berusia 7 tahun.
Lantai kayu, dinding lavender, warna kesukaannya. Langit - langit berwarna sama, tirai marun berenda yang membingkai jendela. Semua itu bagian dari masa kecilnya, tak ada yang berubah. Satu-satunya penambahan yang dibuat ayahnya adalah mengganti tempat tidur Ha Ye menjadi lebih besar dan menambahkan lemari pakaian yang juga berukuran besar. Ada juga sebuah rak buku. Di rak itu ada puluhan buku dengan topik berbeda-beda.
Sekarang, ia sendirian di kamar itu. Memasukan dan merapikan bawaannya. Rasanya menyenangkan bisa kembali ke sini, mengobati kerinduan walau tidak lagi bersama ayahnya.
Ia memandang sendu ke arah pas foto yang memperlihatkan dirinya bersama ayahnya saat kelulusan sekolah menengah atas. Mereka berdua nampak tersenyum bahagia saat itu.
Napas Ha Ye tiba-tiba sesak. Matanya memanas. Buliran krisytal bening meluncur bebas tanpa aba-aba. Ia memeluk pas foto itu erat.
"Bagaimana kau bisa meninggalkanku seperti ini, aboeji?" Suara Ha Ye tak terdengar jelas. Tangisnya pecah.
Kejam adalah kata yang tepat untuk dilontarkan pada Tuhan. Diri-Nya dengan tega membiarkan ia menjalani takdir mengerikan ini sendirian. Mengapa Tuhan juga tidak mengambil nyawanya?
Tok, tok, tok!
Ha Ye menghentikan tangisnya saat seseorang mengetuk pintu kamarnya.
"Kita harus segera pergi!" Suara penjaga dari balik pintu terdengar.
Ha Ye menyeka air matanya dengan lengan baju, lalu bergegas bangkit. "Ne. Aku akan segera turun," jawabnya datar.
Ha Ye dengan cepat mengemasi barangnya, memasukkan baju-bajunya ke dalam koper, tak lupa pas foto tadi dan beberapa barang serta buku yang dianggapnya penting untuk dibawa. Saat tak sengaja menjatuhkan sebuah buku dari rak, ada beberapa lembar surat juga ikut terjatuh--berasal dari dalam buku. Ha Ye mengambil buku itu, kemudian membukanya. Ia sedikit terkejut saat tahu buku itu bukanlah sebuah buku melainkan sebuah kotak yang didesain khusus mirip seperti buku dan berisi puluhan surat.
"Apa ini milik aboeji?" Ha Ye bertanya-tanya.
"Waktu kita tidak banyak, cepatlah!" seruan dari luar terdengar lagi.
"Ne!" Ha Ye bergegas merapikan semuanya. Ia juga mengikutkan kotak dan surat-surat itu ke dalam kopernya.
Setelahnya, ia keluar dari kamar dan pergi bersama para pengawalnya.
****
Butuh waktu sehari semalam perjalanan menuju Korea Selatan menggunakan mobil. Ha Ye sampai di Seoul pukul 10 pagi. Jendela mobil yang ia tumpangi dibiarkan terbuka. Suhu kota Seoul berada di 23° C, langit cerah, biru tanpa awan.
Gadis itu tak berhenti menatap kagum keluar jendela. Terlihat jelas keindahan kota besar itu sekaligus perbedaan mencolok antara negara asalnya dan negara yang sedang dikunjunginya saat ini. Beberapa orang tertawa lepas dan mengumpat satu sama lain tanpa harus takut apa yang terjadi setelahnya. Sungguh, kebebasan yang banyak diimpikan rakyat di negaranya.
Mobil menepi. Dua pengawal yang mengantar Ha Ye menurunkan gadis tersebut di halaman depan sebuah restoran.
"Masuklah. Katakan kau ingin memesan Dumpling 404," ucap pria yang menjadi supir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boom
FanfictionKim Ha Ye seorang gadis muda yang harus menjalani hidup kerasnya sebagai agen mata-mata Korea Utara menggantikan ayahnya yang tewas di Korea Selatan. Gadis cerdas itu, harus berpura-pura menjadi sosok culun dan bodoh di lingkungan barunya. Dengan id...