III

1.8K 173 22
                                    

"Semua orang tau tempat ini. Ini tempat pohon abadi!" teriak pemuda dengan rambut yang hampir botak. Badannya tidak terlalu besar, dari jauh pemuda itu seperti batang korek api. Di tangan kanannya ada sebuah kotak makanan kecil. Sedangkan di sebelah pemuda pertama terlihat pemuda lain. Ia berjalan mengikuti pemuda awal dengan langkah yang lambat. Wajahnya terlihat datar.

"Lagi rajin nih, Pen?" tanya Q. Pemuda yang berteriak tadi, Pena, tertawa lepas. Sedangkan pemuda yang satunya lagi, Merah tentunya, hanya tersenyum tipis.

"Q, gua ngutang lagi nih sama si Merah," ucap Pena. Ia lalu meletakkan kotakan yang dipegangnya ke pohon abadi. Lem menatapnya dengan tatapan aneh. Pena menyadarinya.

"Kalau kita sering-sering ngasih persembahan dan doa sini katanya meninggalnya cepet dan gak sakit loh," ucap Pena. Lem hanya mengangguk kecil sedangkan wajah Q tersenyum lebar mendengar ucapannya itu.

"Denger dari mana lagi itu informasi Pen?" tanya Q.

"Biasalah, tetangga yang taat."

"Serius?"

"Ih, beneran! Elu mah gak percayaan mulu ama gua!" ujar Pena yang sepertinya mulai kesal.

Senyum Q melebar. "Kok mereka belum meninggal lagi sih?"

"... Sopan lu Q."

"Ei, gua becanda doang kok." Q tertawa canggung.

"Adekmu, Q?" tanya Merah sambil menatap Lem lekat-lekat. Q menganggukkan kepalanya sambil tersenyum ramah. Mereka berdua terdiam sebentar. Pena lalu membisikan sesuatu ke telinga Merah. Bisikan yang keras sehingga Q bisa mendengarkan setiap kata yang ia bisikan.

"Cakepan adeknya ya dari pada kakaknya," bisiknya sambil tersenyum-senyum. Merah berusaha menahan tawanya dengan seringai kecil. Lem yang mendengar bisikkannya hanya menundukkan kepala.

"Ih, adeknya pemalu masa!" teriak Pena. Ia langsung duduk di sebelah Lem lalu mengacak-acak rambut hitamnya.

"Entah kenapa, gemes gua sama adek lu Q," ucap Pena yang sekarang tangah mencubit pipi Lem dengan kedua tangannya. Lem hanya terdiam dan membiarkan kedua tangan teman kakaknya itu menyentuh dirinya.

"Dia buat aku aja lah ya... ntar ku pelihara baik-baik deh!" ucap Pena dengan pandangan memohon kepada Q.

"Heh, lu kira adek gua binatang gitu? Lu pelihara? Kalo lu mau ngubur mayat yang jadi korban dia sih gua setuju," ucap Q sambil tertawa.

"K-kakak jahat," ucap Lem. Dia agak kesulitan mengucapkannya karena Pena yang sampai sekarang masih menyubit pipi Lem sampai merah. Merah hanya menatap kelakuan mereka dari kejauhan.

"Tuh, dengerin katanya Elem. Mendingan dia sama aku, kamu kan jahat," ucap Pena. Ia menjulurkan lidahnya ke arah Q.

"Sejak kapan namanya jadi Elem?"

"Sejak dia jadi adekku."

"Eh, dia bilang kakak jahat itu bukan ke aku tau. Orang dia lagi ngomong ke elu. Udah gih, lepasin kedua tangan menjijikkanmu itu dari pipi lembut adek gua."

"Emang iya, Dek?" tanya Pena ke Lem. Lem mengangguk kecil. Pena langsung melepaskan cubitannya.

"Kuelus aja ya."

"Tetep gak mau." Lem ngambek.

"Yelah, gara-gara elu ini Q!" teriak Pena sambil berdiri dan menunjuk-nunjuk ke arah Q

Q memasang wajah polosnya dan menunjuk wajahnya itu dengan jari telunjuknya. "Apa salahku?" tanyanya sambil ikut berdiri.

Merah menghela nafasnya. Panjang dan berat. Wajahnya terlihat agak letih. Memang dia sudah melihat kedua orang yang lebih tua darinya itu berkelahi. Tapi... itu hal yang menjengkelkan.

Pohon Abadi [discontinued]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang