V

1.3K 144 33
                                    

"Kayaknya.." Pena menatapku dan Delia dengan tatapan malasnya. "Merah gak bakal dateng ya?".

Delia terus menatap aspal di bawahnya. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Mungkin sibuk." Ucapku. Tapi aku merasa kurang yakin. Memang apa yang biasanya Merah lakukan di waktu luang? Dia tidak pernah bilang apa pekerjaannya.

"Udah mau siang gini.. Biasanya dia ke sini sambil bawa apa gitu buat makan bareng. Ya kan?" Ucap Pena. Aku mengangguk kecil. Hari libur seperti ini biasanya kita habiskan bersama-sama. Tapi tidak selalu. Mungkin lebih baik aku pulang saja sekarang.

Aku pun berdiri dari dudukku. "Ya udah. Gua duluan ya!" Ucapku le mereka berdua.

"Kakak serius?" Tanya Delia dengan tatapan sedih. Sedangkan Pena menatapku kesal.

"Bentar lagi aja ah. Gua laper nih!" Ucap Pena.

"Yah, kayaknya masih lama. Mendingan gua di rumah dari tadi." Sepertinya aku terdengar agak egois.

"Q, ayolah!" Teriak Pena. Dia terdengar seperti anak manja. Aku tidak akan bisa tahan di sini kalau Pena mulai jadi seperti itu. Delia menatap kami berdua. Mulutnya terkunci rapat. Perkelahian ini malah membuatnya merasa lebih buruk.

"Duluan!" Aku langsung meninggalkan gang itu. Dari pada acara perkelahian itu membuatku malas pulang. Sepertinya Pena tidak akan menyambutku lagi seperti biasa.

"Ya udah! Terserah!" Teriak Pena. Ia lalu bergumam kecil. Terlihat Delia menghela nafas panjang. Sepertinya aku baru saja membuat keputusan yang salah. Agak berat langkahku meninggalkan gang dingin itu. Tapi sudah terlanjur begini, ya sudahlah. Kutatap langit yang berawan. Apa mungkin siang ini akan hujan? Sepertinya sudah lama sekali tempat ini tidak tersiram air. Yang ada hanya awan di atas. Mungkin nanti sudah akan hilang ditiup angin yang kencang. Siang dan malam di sini hampir selalu sama. Dingin.

---

Kubuka pintu perlahan. "Aku pulang." Ucapku pelan.

"Apa maksud ibu?!" Eh? Ada apa ini? Aku langsung menutup pintu agar teriakan-teriakan di rumah tidak terdengar keluar.

"Udah! Aku gak mau lagi sama ibu! Apa-apaan.. Enakan gak ada ibu disini!" Apa yang Lem lakukan sekarang pastinya tidak baik. Aku dengan cepat melepas alas kakiku dan menaruhnya ke rak. Teriakan Lem sangat keras, namun untungnya tidak kedengaran di luar.

"Pergi! Pergi! Pergi!" Suaranya berasal dari dapur. Aku langsung mempercepat langkahku. Ini sudah sangat mengkhawatirkan.

"Ibu mati saja dari dulu!"

Kulihat Lem tengah duduk di atas pinggang ibu yang berada dalam posisi tiduran. Sekarang lantai dan dinding dapur sudah berdarah-darah. Sebuah pisau dipegang oleh Lem, dan ia terus menancapnya ke perut ibu.

"Pergi sana!" Lem mengacungkan pisaunya ke atas udara, lalu menancapnya dengan sangat kuat ke dada kiri ibu. Sangat kuat, hingga pegangan pisau itu tenggelam masuk ke tubuh ibu. Seluruh baju ibu basah karena darahnya sendiri. Tangan Lem seluruhnya tertutupi darah. Isi perut ibu tercerai-berai di sekelilingnya. Darah terlihat mengkilap terkena cahaya lampu. Bau darah ada di sekeliling ruangan. Dan wajah ibu.. Wajah ketakutan dan terkejut. Betapa kecewanya ia melihat anaknya sendiri membunuh dirinya.

Aku hanya bisa menatapnya, terlalu takut untuk bergerak. Aku meneguk ludahku sekali. Ada gejolak aneh di perutku. Sepertinya aku akan muntah..

"Ngh! Hoek!" Aku memuntahkan seluruh isi perutku didepanku. Cairannya berwarna kuning terang dengan beberapa benda padat. Aku berlutut di hadapan muntahku sendiri, hampir terjatuh. Kedua tanganku tertempel ke lantai, menumpu tubuhku. Setetes air mata turun dari pipiku. Kedua kakiku agak lemas. Tempat ini lumayan panas tapi keringatku dingin. Kulap bekas muntah di bibirku. Kulihat tanganku yang bergetar.

Pohon Abadi [discontinued]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang