12

85 10 18
                                    

Dewandaru tiba-tiba sangat merindukan jam tangan Rolex Cosmograph-nya, meski sebenarnya ia bukan tipikal seseorang yang tepat waktu atau semacamnya. Hanya saja, kegelapan di belantara asing membuatnya menerka-nerka tentang waktu. Tidak ada petunjuk yang mampu menjelaskan pukul berapa ia menunggang kuda bagai kesetanan dengan seorang gadis asing di dalam pelukan malam itu. Beruntung bulan purnama penuh sedang bertakhta di atas langit Medang beserta taburan bintang-bintang yang rasanya terlihat lebih banyak dan jelas jika dibandingkan dengan melihatnya dari langit kota Jogja, sehingga terang menuntun pelariannya.

Seumur hidupnya yang baru 19 tahun, Dewandaru sesungguhnya bukanlah pemikir. Kalau bisa dibilang, ia nyaris tidak pernah berpikir ketika melakukan apa pun. Baginya tindakan jauh lebih penting, sehingga tak jarang ia melakukan kesalahan sebelum akhirnya menyadari perbuatannya setelah segala sesuatunya terlambat. Pemuda itu selalu melewatkan hal-hal kecil dan remeh seperti langit malam dan benda-benda angkasa yang menghuni kegelapannya. Hal-hal semacam itu terlalu sia-sia untuk dipikirkan. Namun, berada jauh dari keramaian dan di tengah keterasingan seperti ini membuat Dewandaru memberi sedikit atensi pada hal tersebut. Barangkali, hal ini hanyalah sekadar pengalihan di tengah pikirannya yang kacau, tetapi dengan mengamati langit beserta isinya, Dewandaru merasa sedikit lebih tenang. Setidaknya, langit dan segenap penghuni yang ditemuinya di Medang sama dengan langit Jogja.

Pemuda bertubuh atletis itu nyaris saja melupakan keberadaan Malini yang meringkuk di dalam pelukannya dan hanyut dalam pemikiran sendiri, andai saja gadis itu tidak bergerak, lebih tepatnya menggeliat. Di bawah naungan bulan purnama keemasan di antara bayang-bayang ranting pohon, Dewandaru menunduk dan mendapati kelopak mata Malini yang tertutup. Rupanya gadis rupawan itu tengah tertidur dan mungkin sedang bermimpi. Raut ketus dan galak yang selalu ditampilkan gadis itu telah menguap sepenuhnya entah ke mana, berganti kedamaian. Dan, detik itu juga jantung Dewandaru lantas berdetak kencang.

Dewandaru membuang pandangan pada kegelapan yang melingkupi sekitar, meski bayang-bayang kecantikan Malini masih berkelebat dalam penglihatannya. Bahkan, di antara deretan pepohonan gelap nan rapat, wajah cantik Malini masih membayang. Reaksi selanjutnya yang dirasakannya adalah sesuatu bergolak di dalam perutnya, seolah ada makhluk bersayap yang terperangkap. Hal itu sontak membuat Dewandaru mengumpat pada kegelapan. Tidak, tidak di saat seperti ini!

Riuh serangga malam masih bergaung dari seantero hutan seolah mendapat pengeras suara tak kasat mata, ditambah sesekali lolongan serigala atau barangkali anjing hutan di kejauhan saat Dewandaru memecut kuda hitam untuk melaju lebih kencang. Namun, hewan itu sama sepertinya, barangkali merasa kelelahan hingga sama sekali tidak menambah kecepatan. Berputar-putar di dalam kegelapan hutan di atas tunggangan barangkali hal paling aman yang bisa Dewandaru lakukan sepanjang malam agar dapat bertahan hidup. Akan tetapi, dengan Malini yang tengah terlelap, hal itu menjadi mustahil.

Di tengah-tengah kemelut pikirnya, tiba-tiba kuda hitam meringkik keras hingga membuat Dewandaru kaget dan refleks menarik tali kekang. Hewan itu berhenti, sementara Malini kembali menggeliat dan bergumam tidak jelas di dalam rengkuhannya.

"Ada apa, Hitam? Kenapa berhenti mendadak!" keluh Dewandaru seolah makhluk itu dapat memahami ucapannya.

Kuda hitam itu menghentakkan kaki-kaki depannya dan meringkik sekali lagi sehingga membuat Dewandaru mengedarkan pandangan ke sekitar mencari pemicu reaksi aneh si kuda hitam. Ranting pepohonan yang jauh lebih rimbun di tempat itu menyembunyikan sebagian besar cahaya bulan, menyebabkan suasana menjadi jauh lebih temaram dari sebelumnya. Dewandaru sampai harus mengernyit guna menyesuaikan penglihatannya pada tingkat cahaya yang jauh lebih rendah. Samar-samar pada salah satu sisi hutan yang berada di bawah bayangan hitam sebatang pohon besar, berdiri sebuah pondok kayu yang tidak terlalu besar. Dewandaru yakin ia tidak salah lihat atau berhalusinasi. Dinding-dinding pondok itu terbuat dari kayu, sementara atapnya tersusun dari rumbia. Seketika pengharapan Dewandaru berkobar.

Dear Jonggrang (ON-GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang