8

134 23 43
                                    

Roro Jonggrang terlahir dari rahim seorang putri rupawan yang lembut hati tujuh belas warsa silam. Meski ramandanya adalah keturunan raksasa yang sakti mandraguna, tak sedikit pun wujud buruk rupa itu menitis kepada sang putri. Hal itulah yang seringkali membuat ramandanya meradang. Orang-orang tak mempercayai jika Roro Jonggrang adalah darah dagingnya mengingat kesempurnaan paras yang dimiliki sang putri.

Maka, sejak Ibunda Prameswari Dalem meninggal dunia, hidup Roro Jonggrang berubah drastis. Sang prabu lebih senang mengurungnya di kaputren dan tak membiarkan siapa pun mendekatinya agar tidak ada yang membanding-bandingkan dirinya dengan sang putri. Lambat-laun, Roro Jonggrang menjadi kesepian dan tak seorang pun yang berani menjadi temannya.

Satu-satunya orang yang selalu berada di sisi Roro Jonggrang, hanyalah biyung embannya. Beranjak dewasa, begitu banyak hal yang ingin Roro Jonggrang lihat di luar kaputren. Pengetahuan biyung Gayatri yang terbatas dan keingintahuannya yang begitu tinggi meluap-luap, membuat gadis itu selalu penasaran. Alhasil, setelah mati-matian membujuk sang biyung, Roro Jonggrang berhasil mendapat izin untuk keluar dari keraton secara sembunyi-sembunyi satu atau dua kali dalam sepekan.

Melihat dunia luar dengan menyamar menjadi bagian rakyat jelata, membuat perasaan Roro Jonggrang jauh lebih baik. Dia tak lagi kesepian dan rasa keingintahuannya akan banyak hal terobati. Dari sana, ia belajar menjadi manusia dan hal-hal yang luput dari pengajaran biyungnya. Namun, darah raksasa sedikit banyak mengalir di dalam pembuluh darahnya, membuat keangkuhan dan sikap senang memberontak melekat pada dirinya. Meski Biyung Gayatri berusaha keras memperbaiki berbagai sifat buruk itu, darah tetaplah lebih kental dari setetes air hujan.

Mengingat betapa besar jasa biyung embannya, Roro Jonggrang tak akan bisa membayangkan jika perempuan di ambang senja usia itu akan dihukum. Jangankan hukuman, sedikit luka sudah cukup membuat emosi Roro Jonggrang berkobar. Untuk itu, menyelamatkan Biyung Gayatri adalah satu-satunya upaya terbaik yang bisa ia lakukan untuk melindungi orang yang ia sayang dari angkara murka sang prabu.

Roro Jonggrang telah membulatkan tekad, bahwa apa pun risikonya, ia akan membawa Biyung Gayatri meninggalkan keraton. Tanpa menunggu pagi, sang putri membawa perempuan itu kabur dengan membengkas salah satu jendela kaputren.

Di bawah temaram cahaya bulan, dua sosok berjubah abu-abu itu lantas keluar dari gerbang keputren yang lengang  setengah berlari dan mengendap-endap. Bayangan pepohon Asoka menyamarkan pelarian pada dini hari yang sunyi itu. Sesekali mereka bersembunyi di balik tiang ataupun tembok keraton saat nyaris berpapasan dengan prajurit yang sedang berjaga. Beruntung, bagian belakang keraton terbilang sepi penjaga sehingga mereka dapat dengan leluasa mencapai tembok pagar.

"Kita akan memanjat lewat tembok itu, Biyung. Aku akan membantumu. Dari sini, Biyung hanya perlu berjalan beberapa depa untuk mencapai Pengging. Pengging tempat yang aman untuk biyung. Lagi pula sepagi ini biasanya para penjaga perbatasan telah jatuh tertidur," bisiknya saat berlari sambil menarik satu pergelangan tangan Gayatri melintasi kebun belakang yang dipenuhi tanaman obat.

"Ndoro Putri, Biyung tidak bisa," lirih Gayatri.

"Kita sudah aman sejauh ini biyung, kita harus bisa."

"Biyung tidak ingin meninggalkanmu ... Bagaiman nasib Ndoro setelah ini."

Roro Jonggrang menoleh pada biyung embannya. Mereka telah tiba tepat di depan tembok batu. "Aku tidak apa-apa biyung. Jangan pikirkan aku. Ramanda Raden tidak akan membunuhku. Yang terpenting bagiku adalah keselamatan Biyung," ucap sang putri dengan mata berkaca-kaca. Tangannya meraih tangan sang biyung menggenggamnya erat sesaat untuk memberikan keyakinan.

"Biyung tidak bisa---

"Biyung harus bisa. Beberapa hari ke depan saat hukuman dari Ramanda sudah kuterima, aku akan pergi mencari Biyung ke Pengging. Aku berjanji."

Dear Jonggrang (ON-GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang