15

54 9 4
                                    

Dewandaru tertidur sejak pagi hingga nyaris petang setelah kepulangannya dari pondok berburu. Sekujur tubuhnya terasa sakit ketika digerakkan. Anehnya, hari itu tidak ada siapa pun yang membangunkannya, bahkan sekadar untuk makan atau mengabarkan kepulangan Manggala. Seperti sebelumnya, bau herbal yang pekat menyeruak penghidu Dewandaru ketika kesadarannya pertama kali terkumpul. Beberapa hari di tempat itu, Dewandaru telah nyaris terbiasa dengan bebauan herbal yang tadinya begitu mengganggu.

Semula Dewandaru tidak menyadari keadaan di sekitarnya. Entah berapa lama ia telah jatuh tertidur hingga embusan angin serta cahaya senja yang menyelinap masuk samar-samar ke dalam bilik dari celah jendela memberitahunya jika hari telah beranjak gelap. Dewandaru bangkit perlahan dari tilam yang menjadi pembaringannya hingga menimbulkan bunyi decit yang agak mengganggu pendengaran, lalu hendak melakukan sedikit pemanasan dengan merenggangkan otot-ototnya. Ia merentangkan kedua lengannya lurus-lurus ke atas lalu ke samping, ke kiri dan ke kanan, tanpa menyadari keberadaan siapa pun di dalam bilik temaram itu hingga suara lembut Utari menyapa pendengarannya.

"Kamu tertidur pulas sekali, Le."

Dewandaru terkejut. Dengan gelagapan, pemuda itu menurunkan kedua lengannya yang tengah terangkat tinggi, lalu mengedarkan pandang mengitari bilik dengan panik mencari empunya suara. Di dalam remang lampu minyak yang rupanya telah menyala, sosok Utari ternyata tengah duduk di ujung meja yang dipenuhi hidangan dan obat-obatan herbal di tengah-tengah ruangan bilik. Perempuan paruh baya nan anggun itu mengamatinya dengan seksama, barangkali sedang menilai gerakan yang sedang dilakukan pemuda itu, tetapi sedetik kemudian sorot mata teduhnya melembut.

"Jadi, Ibu membiarkanmu tertidur sedikit lebih lama. Barangkali kamu kelelahan," lanjutnya.

Dewandaru mengangguk canggung. Sejujurnya ia masih memikirkan bagaimana asumsi Utari terhadap apa yang dilakukannya barusan. Ia menimbang seberapa besar kecurigaan perempuan itu padanya. "Saya kelelahan, Bu." Hanya ucapan itu yang dapat lolos dari tenggorokan Dewandaru. Ia menelan segala tanya yang muncul di kepalanya atas nama keseganan terhadap Utari. Entah mengapa, perempuan anggun itu seolah menguarkan aura yang membuat Dewandaru tunduk.

Utari mengembuskan napas panjang. Parasnya masih sangat cantik, meski jejak usia telah terlihat jelas melalui kerut-kerut halus yang tercetak samar pada beberapa sisi kulit wajahnya. Rambut abu-abunya selalu disanggul dengan rapi dan sederhana membuatnya senantiasa terlihat anggun. Dan, sorot mata keibuan Utari membuat Dewandaru tak mampu melawan tatapannya, karena tatapan itu mengingatkannya pada kerinduan terhadap sang ibu.  Rasanya sudah sangat lama Dewandaru tak bertemu ibu kandungnya sebelum ketersesatan yang aneh ini menimpanya. Memikirkan itu, entah mengapa, membuat dadanya terasa sedikit sesak.

"Semakin hari, Ibu terkadang merasa semakin tidak mengenali putra Ibu sendiri," tuturnya lirih. Tatapannya jatuh menyusuri ukiran pada gelas jamu yang telah lama dingin di atas meja.

Dewandaru merasa tersindir. Bagaimanapun, tidak ada yang dapat mengalahkan presisi naluri seorang ibu. Utari barangkali tahu jika sosok yang berada di pembaringan putranya bukanlah Wirahandaka, meski fisiknya serupa. Dalam hal ini, Dewandaru hanya meneguk ludah beberapa kali, tanpa tahu harus menanggapi seperti apa.

Sementara Utari agaknya tidak memerlukan tanggapan, karena sedetik kemudian perempuan paruh baya itu kembali membuka suara. Kali ini sudut-sudut bibirnya sedikit tertarik. "Semoga ini hanya perasaan Ibu saja. Dan, semoga perubahanmu adalah penanda kedewasaanmu, Le."

Dewandaru masih bungkam. Ia mengangguk dan menggeleng di saat bersamaan, tak tahu harus menjawab apa. Namun, diam-diam pemuda itu mengembuskan napas lega karena Utari tidak memperpanjang bahasan mengenai perubahannya. Betapa Dewandaru ingin segera menghilang dari tempat itu sekarang juga. Kemudian, keheningan yang tercipta setelahnya membuat Dewandaru sangat tersiksa hingga merasa perlu untuk mengalihkan pembicaraan.

Dear Jonggrang (ON-GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang