Lonceng kafe berdenting ketika pintu dibuka. Seorang pria muda masuk dengan raut cerah, seolah akan bertemu dengan pujaan hatinya.
Dia Adrian, mahasiswa semester lima di salah satu kampus negeri di Indonesia. Setiap Sabtu sore dia mengunjungi kafe ini dengan membawa bunga mungil yang hidup dalam pot untuk sang kekasih. Hari ini dia membawa kaktus mungil dalam balutan pot plastik berwarna cokelat.
Adrian menempati meja di samping jendela—seperti biasa. Dia meletakkan kaktusnya di atas meja.
Seorang pelayan kafe datang setelah Adrian memanggilnya. "Kopi hitam dan jus alpukat tanpa es," bisikku persis seperti yang diucapkan Adrian. Ah! Aku memang terlalu hafal dengan kebiasaannya.
Seperempat jam berlalu. Seorang pelayan yang berbeda mendatangi meja Adrian dengan nampan di tangannya. Dia meletakkan segelas jus alpukat tak dingin dan secangkir kopi hitam yang asapnya masih mengepul di atas meja Adrian.
Ini bagian favoritku: Adrian tersenyum manis. Dia mengucapkan terima kasih sebelum pelayan itu tersenyum, mengangguk, dan pergi. Tinggallah Adrian bersama dua minuman berbeda dan kaktus mungil di hadapannya.
Adrian menyesap kopinya dengan mata terpejam. Sesaat kemudian jakunnya bergerak naik-turun pertanda bahwa campuran bubuk-kopi-dan-air itu baru saja melewati kerongkongannya. Setelahnya dia tersenyum. Itu juga favoritku. Ah, senyumannya memang selalu menjadi favoritku! Itu adalah candu bagiku. Entah bagaimana aku bisa lepas darinya.
Tiga puluh menit berlalu. Adrian tampak gelisah. Alisnya bertautan. Dia melirik jam bundar yang melingkari pergelangan tangan kanannya, lalu ponselnya yang masih mati sejak dia datang.
Aku tebak, Adrian sedang bertanya-tanya. "Di mana kamu sekarang?" "Mengapa kamu tidak datang juga?" "Lilia, tidakkah kamu merindukanku?"
Sungguh, jika bisa, aku akan mendatangi Adrian dan menghiburnya. Aku sungguh tak ingin melihat Adrian bersedih.
Lonceng kafe berdenting lagi. Adrian melirik pintu kaca itu dengan semangat. Sayang sekali, itu adalah pengunjung kafe yang baru pergi. Tuhan, tolong hibur pria baik itu. Setidaknya jika bukan kekasihnya, datangkan untuknya perempuan baik yang bersedia membuatnya bahagia. Aku … akan sangat rela jika itu untuk kebahagiaan Adrian.
Kulihat Adrian menyesap kopinya lagi. Cangkir putih itu kehabisan asap sementara gelas jus di sampingnya masih belum tersentuh.
Aku menatap iba pada Adrian. Aku penasaran, seberapa besar cintanya untuk kekasihnya? Dia sampai bersedia menghabiskan empat puluh lima menitnya dengan duduk sendiri di sana.
Satu hingga berjam-jam waktu berlalu, tetapi Adrian masih betah duduk di kursinya. Bahkan, seorang pelayan sampai menegurnya dengan mengatakan bahwa kafe akan segera tutup. Adrian tampak kecewa, tetapi dia tidak bisa meminta kafe tetap buka untuk kekasihnya.
Adrian pun pergi. Aku mengikuti langkah Adrian sebelum akhirnya aku hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lilia [Selesai]
Short StoryJudul awal: Cerita Cinta Adrian Aku sedikit menyayangkan ketidakhadiran Adrian dalam pemakamanku. Saat itu dia masih di rumah sakit, menjalani masa komanya setelah kecelakaan mengerikan yang menimpa kami. Adrian selamat, sedangkan aku kehilangan nya...