Minggu

12 3 0
                                    

Esoknya, Adrian datang ke kafe lagi. Lagi-lagi aku hanya menatapnya dari jauh, dari sudut kafe ini.

Adrian membawa kaktus mungil kemarin dan meletakkannya di meja. Lalu dia memesan kopi hitam dan jus alpukat tanpa es. 

Satu-satunya pertanyaanku adalah mengapa dia datang di hari Minggu.  Biasanya dia hanya ke sini setiap Sabtu. Ini di luar jadwal kencannya. 

Aku masih memperhatikan pria tampan itu ketika lonceng kafe berdenting. Pandanganku beralih kepada sosok perempuan cantik yang baru masuk. Mata cantiknya yang tertutup kacamata bundar menyapu seisi kafe sebelum pria di samping jendela melambaikan tangan ke arahnya sambil tersenyum. Aku ikut tersenyum. Kuingatkan, senyuman Adrian adalah canduku. 

Perempuan itu duduk di kursi di seberang Adrian. Kini mereka duduk berhadapan dengan meja kotak sebagai pemisah. 

"Ini buat aku?" tanya perempuan itu seraya mendekatkan tangannya pada gelas jus. Bibirku tergelitik dan tersenyum. Jus itu bukan untuknya. Itu untuk kekasih Adrian yang belum datang. Perempuan itu pun tahu untuk siapa jus itu dipesan. 

Adrian tidak membalas gurauan itu. Dia malah mendengus kesal lalu bertanya, "Jadi, bagaimana?" Aku fokus mengamati keduanya. Entah apa yang akan mereka bahas. Aku tebak, mereka akan membicarakan kekasih Adrian yang sudah tidak terlihat selama beberapa hari terakhir.

Wajah riang perempuan itu berubah sendu. Dia meraih pot kaktus yang hanya sebesar genggamannya lalu mendekatkannya kepadanya. Dia mengamati kaktus cantik itu sebelum menatap Adrian dengan lekat. Ada kilatan kesakitan dan kesedihan di mata perempuan itu, apalagi setelah melihat betapa menyedihkannya pria di hadapannya.

"Kak Ian," buka perempuan itu. Dia menarik napasnya pelan, lalu mengembuskannya sama pelannya. Dia menggenggam kedua telapak tangan Adrian yang dalam sekejap ditepis oleh pemiliknya. 

Perempuan itu nyaris meneteskan air mata jika lengannya tak sigap menyeka genangan di matanya. Lalu dia berkata, "Kak Lilia udah enggak ada. Kakak harus bisa menerimanya."

Mendengar namaku disebut, aku penasaran. Aku mendekat tanpa ada yang sadar.

"Jia, kenapa sih kamu selalu bilang begitu? Lilia, kakakmu, kekasihku, dia masih hidup. Dia tidak akan meninggalkanku sendiri. Berhenti bilang bahwa kakakmu sudah tiada," keluh Adrian. 

Aku ingin menangis tetapi tidak bisa. Lihat, betapa Adrianku begitu mencintaiku. Dia mungkin bisa gila jika tidak secepatnya bertemu denganku.

Aku sedikit menyayangkan ketidakhadirannya dalam pemakamanku. Saat itu dia masih di rumah sakit, menjalani masa komanya setelah kecelakaan mengerikan yang menimpa kami. Adrian selamat, sedangkan aku kehilangan nyawaku ketika ambulans membawaku ke rumah sakit. 

"Kakak ingat, bukan, seminggu yang lalu kalian mengalami kecelakaan?" tanya perempuan bernama Jia itu. Aku menangis tanpa air mata. Sementara Adrian mulai menatap tajam ke arah Jia. "Kak Ian selamat, tetapi Kak Lilia enggak. Kecelakaan itu merenggut Kak Lilia dari kita, Kak." Jia menutup wajahnya dengan kedua telapaknya. Aku baru menyadari bahwa adikku itu begitu menyayangiku. Yang kutahu, selama ini dia selalu menunjukkan kedengkiannya terhadapku. Kupikir dia benar-benar dengki karena aku sering lebih beruntung darinya.

Adrian tersenyum miring. Dia berkata, "Aku tahu, kamu sangat iri kepada kakakmu. Karena itu 'kan kamu menyembunyikan Lilia dariku? Ayo, bawa aku kepada Liliaku! Aku sangat merindukannya."

Aku merasakan kerinduan itu, Adrian. Aku juga merasakan kepedihan itu, Jia. Kalian begitu mencintaiku, padahal aku sudah tiada. Oh, beginikah rasanya dicintai? Aku sampai enggan pergi karena orang-orang begitu mencintaiku dan enggan pula melepasku. 

Tuhan, tolong hibur pria baik itu. Setidaknya jika bukan aku, datangkan untuknya perempuan baik yang bersedia membuatnya bahagia.

Lilia [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang