TANAH WARISAN part 2
"Lu ya nyari ribut hah, mati aja lu. Semenjak lu datang semua jadi berantakan. Mati aja lu gobl*k" lantangnya ia berteriak sembari menentengkan sebilah pedang samurai.
Sontak aku berdiri membelakangi putriku."Lu itu pendatang, tanah itu gw beli. Tempo hari lu bikin gw malu gobl*k. Mati ajalah lah set*an, semua gw habisin hari ini juga!" lantangnya dengan tangan dan tubuh gemetar.
Bukannya takut aku justru tersulut emosi, bagaimana tidak. Kasus ini masih basah tempo hari di selesaikan secara kekeluargaan. Yang mana gubuk dan sisa tanah sedikit itu menjadi bagianku, ya sisa tanah. Tapi ini kembali di usik, saat suamiku tak ada di rumah pula. Aku sama sekali tak gentar dengan tentengan samurai di lengannya, perkara hidup dan mati semua orang pasti ada waktunya.
Padahal tempo hari aku telah menanggap semua selesai saja. Karena bagiku harta tidak di bawa mati, yang membuatku kecewa sangat-sangat sederhana. Karena aku tidak di ajak bermusyawarah kala tanah itu di bangun.
Dulu bangunan rumah mendiang orang tuaku persis di pinggir jalan, sejajar dengan bangunan kakak tertuaku. Ukurannya tidak banyak paling sekitar 300 meter namun memanjang. Namun kini bangunan itu telah berubah wujud menjadi gubuk kecil yang kini kutempati, tepat di belakang bangunan tanah sengketa.
Sembari memegang tangan putriku yg kini tepat di belakangku, badannya gemetar dan syok melihat apa yang di hadapannya kini.
Tapi tak ingin kalah akupun menyuarakan semua fakta yang ada. Padahal kala itu tangan lainnya tak memegang apapun."Duh gusti, susah ya urusan sama orang begini. Ribet, ga ada otak, ga tau diri. Lu sadar dong dari sejak lu nikah sama adik gw, belasan tahun lu numpang di tempat orang tua gw. Tanah bagian gw lu embat juga buat rumah menantu lu, dengan dalih di beli dari ibu gw yang mana kala itu keadaan sakit dan di ancam. Manusia macam apa lu, ngancam nenek-nenek dengan bilang gak akan di urus masa tuanya yang sakit-sakitan. Yang gobl*k di sini lu, ngatain gw pendatang. Gak pantes lu di sebut manusia, kelakuan ibl*s macam lu pantas di neraka jahanam!" seruku. Jangan sebut namaku, bila ada di jalan yang benar aku tak pernah takut dengan apapun.
"Mana buktinya di masa-masa sakitnya lu urus nggak, lu sama bini lu ngasih makan aja pake alas daun gobl*k. Itu ibu gw, lu pindahin di gubuk kecil yg cuma pantes di tinggalin kambing. Sedangkan lu enak-enak tinggal di tanah sengketa. Kalo aja perlakuan lu baik dan layak. Sedikitpun gw ga akan ngungkit tanah sepetak yang gak seberapa. Makanya jaga kelakuan dan mulu lu gobl*k!" seruku. Amarahku memuncak, dan tak ingin kalah menimpali perkataannya yang tak kupedulikan.
"Mendiang ibu gw sakit, gw yang di depan. Lu semua gak ada yang nanggung biaya rumah sakit selain dari gw. Gw yang bawa dia ke rumah sakit tanpa nanya biaya harus gotong royong. Gw yg bopong sama suami gw, lu cuma nyerahin ke gw kan. Tapi kelakuan lu begini, gw gabisa terima. Ayok sini nih gw sodorin leher gw kalo lu berani ban*ci. Cuihhh!" seruku.
Ya, dia adik iparku yang mana telah belasan tahun hidup menumpang di tanah almarhum kedua orang tuaku.Si Gaga terkesima, yang mana bingung dan ingin melerai. Ia segera menghampiri kami, waktu itu tepat sehabis dzuhur. Sangat jarang orang karena desaku kecil. Di sana ada tetanggaku yg kebetulan lewat dengan motornya, ia juga bergegas menghampiriku.
Namun tak di sangka senjata itu tengah melayang ke arahku.Next?
Aduhh amatiran yang memaksa sepertiku maafkan ya hehe. Mohon koreksinyaa semuaa. Makasih yang sudah baca.
KAMU SEDANG MEMBACA
TANAH WARISAN
RandomAndaikan aku di hargai, mungkin akan lebih mengalah dan ikhlas menerima apa yang terjadi. Namun, kehadiranku tak di anggap sama sekali. Maka jangan sebut namaku, bila aku tak mengambil apa yang seharusnya menjadi bagianku. Akankah aku bisa mendapaka...