Suamiku Pulang

1 0 0
                                    

Selamat membaca

TANAH WARISAN part 4

Bergegas aku menekan nomor kantor tempat suamiku akan di berangkatkan.
Tut... Tut... Tut..
Suara sambungan telfon yang belum juga di angkat. Lalu tak lama kemudian terdengar suara seorang pria.

"Hallo selamat siang, dengan Andi disini. Ada yang bisa saya bantu? jawabnya di ambang sana.
"Hallo, saya Tita istrinya Pak Muklis dari Bandung yang sekarang masih proses pemberangkatan. Bisa saya bicara dengan suami saya sebentar? pintaku".
"Baik, tunggu sebentar ya bu saya panggilkan dulu" jawabnya.

Kemudian terdengar suara yang tak asing untukku.
"Assalammualaikum mah, gimna kabarnya si bungsu sama mamah? Tumben nelfon, ada apa mah?" tanya suamiku.
"Waalaikumsalam, iya untung masih alhmdulillah baik sih. Iniloh pak dengerin dulu ya, jangan tiba-tiba motong pembicaraan ya" jawabku.
"Ko jawabnya ada untungnya si mah, kenapa si mah?" jawabnya penasaran.
"Gak lama sebelum nelfon ke bapak, mamah sama adek kan duduk di teras uwa sambil mau makan bakso. Eh baru satu suap si Udin marah-marah sambil nentengin samurai ke mamah. Untungnya aja ada si Gaga sama mang Ujang yang nahan dia" ujarku.
"Mamah itu kebiasaan, masih aja bilang untung. Kurang ajar banget si Udin, sekarang juga Bapak pulang. Yaudah mamah sama adek tunggu di rumah uwa dulu, jangan kemana-mana" jawabnya.
"Tapi pak...." tut.. sambungan telfon terputus.

Yah kebiasaan belum juga ngomong banyak udah dimatiin aja telfonnya. Huh awas aja, malah bikin aku tambah emosi deh. Gerutuku dalam hati.
Kukembalikan benda pipih itu kepada pemiliknya dan tidak lupa mengucapkan terimakasih.

"Teh makasih ya, aku mau numpang istirahat di sini sampai suamiku dateng" ujarku.
"Yaudah atuh sana tungguin di kamarnya Erni aja. Sekalian suruh tidur si Neng" jawabnya.

Akupun bergegas menuju kamar Erni, karena jarang dihuni. Ia anak ketiga kakak yang kini  sedang kerja di kota.
"Neng mau makan ngga? Mamah bawain mau?"tawarku. Namun ia hanya menggeleng dan segera memejamkan matanya.
Maafin ibu nak, semoga kamu kuat dan baik-baik saja. Batinku, akupun ikut tidur bersama.

Jam menunjukkan pukul 16.10 WIB, akupun bergegas untuk sholat ashar. Aku tak tega membangunkan putriku, kali ini aku membiarkannya saja. Setelah sholat, akupun ke dapur sekedar melihat aktivitas kakak.

Kulihat ia sedang memasak di tungku, stok kayu bakar yang melimpah tersusun rapih tak jauh di atasnya. Agar memudahkan ketika akan digunakan, hampir semua rumah di sini masih banyak yang menggunakan tungku. Termasuk aku sekarang, berbeda saat aku tinggal di kota yang notabennya menggunakan kompor sumbu.

"Tadi suamimu bilang apa? Gimna katanya?"  tegur kakak yang berhasil membuyarkan lamunanku.
"Cuma bilang mau langsung pulang tadi. Gak bilang apa-apa lagi" jawabku.
"Yasudah syukur kalo begitu, biar suamimu yang menyelesaikannya" jawabnya.
"Iya teh" jawabku.

Tok tok tok.
Suara pintu di ketuk, kakak sengaja mengunci pintu hari ini. Biasanya jarang sekali ia mengunci pintu. Mungkin karena si Udin nekat masuk, pasalnya ia sudah renggang juga dengan Eti karena tak dibagi oleh-oleh dari Arab. Ya begitulah kakak, ia hanya suka ketika banyak pemberiannya. Begitupun Eti, aku pikir keduanya sama namun mau apa di kata lebih baik berusaha memahaminya saja.

Masih ingat sekali dulu ketika aku masih di kota, sehari pasca pernikahan aku dengan suami. Aku berutung langsung di gandeng ke kota, kerumah mertua. Namun aku tak betah, karena serumah banyak penghuni dan merajuk untuk ngontrak rumah.
Siapapun akan lebih mandiri bila pisah rumah setelah berkeluarga, bagaimana aku tak betah kala itu.

Mertuaku seorang penegak hukum, namun rumahnya ya termasuk biasa tapi terbilang kokoh dengan dua lantai. Meski beliau memiliki jabatan, kehidupannya sederhana dan jauh berbeda dengan sepupunya yang tinggal di kawasan perumahan elite tergolong orang kaya sosialita kala itu. Ya, mertuaku seorang Jaksa yang sangat jujur, seringkali ia menolak uang puluhan juta masa itu. Hmm aku tak berani menyebutkan sumbernya, menulis uang puluhannya saja cukum membuatku bergidik ngeri. Saat itu adik bungsu suamiku duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, belum lagi beberapa yang belum pisah rumahpun ada. Maka dari itu kami putuskan untuk ngontrak rumah, padahal waktu itu setiap bulannya aku selalu membayar uang makan dan tinggal pada mertua jadi aku merasa tak hanya menumpang saja.

Segera kakak mematikan api, dengan menjorokkan kayu bakarnya. Terlihat bara api masih terlihat merah menyala. Kami bergegas membuka pintu.
"Assalammualaikum" ucap suamiku.
"Waalaikumsalam" jawab kami bersamaan.
Akhirnya kami masuk dan duduk, kakak membawa air yang tak jauh dari pandangan untuk kami.

"Gimana tadi di jalan lancar? cepet juga ya perjalannya" tanya kakak pada suamiku.
"Alhmdulillah teh kosong tadi, soalnya hari sabtu" jawab suamiku. Lalu ia segera mengajak kita pulang ke gubuk yang kini kami tempati.
"Yaudah atuh yu kita pulang, ngeropotin terus kalo di sini" ujar suamiku.
"Iya, yaudah teh kita pulang dulu ya" pamitku sembari bergegas membangunkan si bungsu. Kamipun sekali lagi pamitan dan tak lupa suamiku memberi sekantong penuh buah salak yang ia beli saat perjalanan.
"Kami pulang dulu teh, ini tadi sekalian jalan pulang. Gak bawa apa-apa soalnya takut kemalaman" ucap suamiku.
"Iya gapapa, padahal di sini aja dulu. Hatur nuhun pisan ini" jawabnya.

Melewati gang sempit di antara rumah kakak dan rumah sengketa ini. Tak ada siapapun, kami pun segera masuk ke rumah panggung ini. Hanya ada dua kamar kecil, ruang tengah dan dapur kecil dengan tungku. Tidak ada kamar mandi, sebegitu teganya mereka. Ini yang membuatku merasa bersalah semenjak kepergian alhmarhum ibu, aku membayangkan kaki renta itu berjalan ke rumah belakang untuk menumpang ke kamar mandi di pancuran umum itu.

Kami pun segera makan, suamiku selalu pengertian. Di jalan ia menyempatkan membeli makan untuk kami, ia selalu royal bila mengenai makanan. Maka tak heran bila akupun mengikuti sepertinya, suamiku tak bisa makan seadanya. Ia harus selalu mengutamakan makanan yang menurutnya layak untuk di makan, biar bagaimana pun asupan gizi menurutnya sangat penting.

"Ayo sekarang kita makan dulu biar bisa tidur nyenyak" ucap suamiku.
"Abah kapan datang? Ko aku gak di kasih tau Abah mau pulang sih? Ko abah gak beliin ice cream kesukaan aku? Biasanya abah gak pernah lupa tau beliin aku ice cream. Abah tau gak tadi suami bi Eti marah-marah sama kita sambil bawa pedang yang panjang banget. Terus aku takut banget sampe nangis, mamah halangin aku terus ada orang deh yang nolongin kita ya mah" jelasnya mencerika sembari berdiri melentangkan kedua tangannya seolah menggambarkan panjang senjata tajam itu. Rasanya hatiku bagai di remas mendengarnya.
"Yaudah sekarang Neng sama mamah makan dulu ya, abah ga kuat mau ke kamar mandi kayanya sakit perut" pamitnya meninggalkan kami.

Aku yakin suamiku pasti nyamperin si Udin ke rumah depan. Namun apa mau di kata, suamiku bukan orang yang bisa di cegah.
Ia berdiri meninggalkan kami, terdengar jelas olehku langkah kakinya. Di gang yang masih jelas terdengar suara amarah dari suamiku.

"Udin keluar lu gob*k, jangan cuma berani sama cewek doang lu. Giliran gw gak ada berani-beraninya. Keluar lu banci, anj*g gw bantai sampai tujuh turunan sampe sedikit aja ada yang lecet sama anak istri gw jangan harap bisa hidup sampe besok lu set*n. Keluar lu anj*g!! ucap suamiku yang hanya bermodal tangan kosong. Hanya itu yang terdengar olehku, selebihnya samar karena jarak.

Next?

Makasih yang udah baca. Mohon maaf masih banyak kesalahan dalam penulisan, mohon krisansan arahannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TANAH WARISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang