Selamat membaca
TANAH WARISAN part 3
Si Gaga terkesima, yang mana bingung dan ingin melerai. Ia segera menghampiri kami, waktu itu tepat sehabis dzuhur. Sangat jarang orang karena desaku kecil. Di sana ada tetanggaku yg kebetulan lewat dengan motornya, ia juga bergegas menghampiriku.
Namun tak di sangka senjata itu tengah melayang ke arahku.Set... Glek...
Nyaris saja mengenaiku, namun aku segera mundur dengan cepat. Tangannya segera di tahan mang Ujang tetangga yang masih satu desa. Si Gaga yang segera membawaku mundur, menggiringku untuk segera masuk kerumah kakak. Sedangkan laki-laki tak tau diri itu di giring menuju rumah menantunya yang berdiri di atas tanah sengketa itu."Sudah Bi sabar, gak akan baik nanti malah ada pertumpahan darah. Atuh kasian si Neng udah ketakutan nangis gitu. Mending Ibi duduk, biar saya panggilin Uwa" kata si Gaga.
"Astagfirulloh" jawabku. Akupun mengalah untuk duduk bersama putriku. Karena mengedepankan emosi, aku melupakan rasa takut yang dialami putriku kali ini.
"Maafkan ibu nak" batinku.Tak lama kemudian kakak menghampiri di barengi Gaga di belakangnya, ia tak mendengar keributan di teras. Karena sedang berada di dapur yang lumayan berada di pojok belakang.
Gaga pun merasa ia sebaiknya bergegas pergi untuk menjajakan dagangannya. Seperti ikut syok ia lebih memilih mendorong gerobaknya ke daerah lain.
"Uwa Ibi saya teh mau lanjut jualan dulu ya, udah kesiangan pisan kayaknya. Marangga" pamitnya.
"Yaudah sok Ga sing laris" jawab kakak. Kemudian ia menghujaniku dengan berbagai pertanyaan."Ta kenapa lagi atuh? si Gaga tadi bilang ribut-ribut si Udin bawa samurai katanya bener? Tapi kamu gak kenapa-napa kan? Atuh telfon suamimu suruh pulang dulu, gak akan tenang kalo masalahnya kayak gini" ujar kakak.
Oh iya, namaku Tita sering di panggil Ta atau Bi Tita. Nama kakak Tati namun di panggil uwa. Sedngkan adik bernama Eti, satu lagi almarhum adik bernama Weni. Sayang ia lebih dulu meninggalkan kami saat usia 25 tahun.
"Aku juga ga tau atuh Teh, padahal kan udah di musyawarhkan bareng-bareng kan tempo hari bareng Teteh juga" jawabku.
"Nya atuh apalagi dia teh maunya, kan udah selesai walaupun statusnya jadi tanah sengketa. Tapi kamu gak suruh bongkar bangunannya, masih di tinggalin pula" jawab kakak.
"Iya Teh, coba aja dulu pas waktu pemaksaan ke mendiang ibu aku di ajak musyawarah. Gak akan kayak gini jadinya, aku teh gak gila harta. Cuma butuh di anggap juga di hargai, karena sama-sama anak ibu" jawabku. Seperti tersindir kakak seolah menjelaskan kembali kejadian saat itu."Jadi gini Ta, waktu itu teteh juga takut. Boro-boro ngabarin kamu, tau sendiri si Dedi menantunya Eti tuh gremo yang punya dekingan. Jadi mau gak mau di turutin aja gimna mereka. Teteh mah takut gimna-gimna, itu sih buktinya si Udin kayak gitu juga pasti di arahin si Dedi. Teteh di rumah cuma bareng suami sama Santi. Anak teteh yang lain juga pada kerja di kota. Teteh gak perlu jelasin secara rinci toh kamu udah tau dari Nana kan" jawabnya memelas.
Nana adalah putri tertuaku yang tinggal bersama almarhum kedua orang tuaku sedari ia kecil. Ia putri dari suami peratamaku, namun ketika usia Nana menginjak 4 tahun. Aku bertemu dengan suamiku yang sekarang, pasca menikah kembali. Kala itu Ibu dan Bapak tak memberiku izin untuk membawa Nana bersamaku. Karena mereka sudah begitu sayang pada putriku, meski begitu tanggung jawabku padanya tak pernah terputus. Masih kuingat setelah melahirkan 14 hari aku harus kuli memanen padi demi membeli kebutuhan untuk ku dan Nana agar terlalu membebankan. Setelah usianya 2 bulan aku merantau di kota demi memenuhi kebutuhan putriku dan orang tuaku.
"Yaudah teh, yang udah terjadi mau di gimnakan lagi. Aku juga kecewa karena pasca kepindahanku dia selalu meremehkan keadaan ku saat ini. Siapa yang tidak sakit hati bila terus menerus dihina" jawabku.
Sembari menyodorkan handphone pemberian anaknya. Ia pun meminjamkan padaku agar segera menghubungi suamiku.
" Yaudah sekarang mah telfon suamimu suruh pulang, biar di urusin dulu masalahnya. Biar semuanya tenang" jawabnya.
"Iya teh, pinjem dulu atuh ya. Maaf aku sering ngerepotin Teteh terus" jawabku sambil menerima handphone.Bergegas aku menekan nomor kantor tempat suamiku akan di berangkatkan.
Tut... Tut... Tut..
Suara sambungan telfon yang belum juga di angkat.Next?
Terimakasih yang sudah membaca, mohon krisannya. Maaf masih banyak kekurangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TANAH WARISAN
RandomAndaikan aku di hargai, mungkin akan lebih mengalah dan ikhlas menerima apa yang terjadi. Namun, kehadiranku tak di anggap sama sekali. Maka jangan sebut namaku, bila aku tak mengambil apa yang seharusnya menjadi bagianku. Akankah aku bisa mendapaka...