Matahari pagi ini begitu cerah. Mobil berlalu lalang kesana kemari menandakan betapa sibuknya dunia.
Kedua remaja kini sedang menunggu angkutan umum sebagai kendaraan mereka untuk menuju tempat yang akan dituju.
Saat menunggu, mereka memperhatikan begitu banyak kendaraan yang melaju di depan mereka.
Ada rasa sedikit iri di benak mereka untuk bisa memiliki benda seperti orang-orang, agar memudahkan mereka dalam beraktifiras. Namun mereka menempis jauh-jauh pikiran itu, Karena itu mungkin hal yang sangat mustahil sebab makan aja mereka susah apalagi memiliki kendaraan.
Kadang mereka tidak jarang terlambat ke tempat tujuan mereka hanya karena kendaraan umun yang mereka tunggu begitu jarang melewati tempat mereka. Karena kadang kendaraan umum tersebut lewat pagi-pagi sekali. Sehingga mereka harus bangun pagi-pagi agar tidak ketinggalan.
Tak lama, sebuah kendaraan umum berhenti di depan mereka. Tanpa berlama-lama, kedua remaja itu langsung naik.
“Abang nggak apa-apa nih kalau ngantar adek. Takutnya abang di marahin pak Yanto lagi gara-gara ngantar adek,” ujar Amora setelah mereka berada di dalam angkutan umum tersebut.
“Nggak kok, abang udah izin kemarin. Jadi kamu tenang aja,” jawab Arvan sambil tersenyum ke arah adiknya itu.
Amora begitu bersyukur di beri kakak seperti Arvan. Meskipun mereka banyak kekurangan dalam hal materi, namun ia tidak pernah kurang dalam hal kasih sayang yang mungkin sebagian besar orang di luar sana tidak dapat mendapatkan itu.
Bagi Amora, kakaknya ada segalanya bagi dirinya. Ia bisa menjadi ayah sekaligus bundanya. Kalau diibaratkan anggota tubuh, Arvan seperti mata karena di Arvan lah ia bisa mengenal dan mengetahui dunia ini. Dan jika diibaratkan oragan tubuh, Arvan seperti jantung karena tanpanya ia tidak akan bisa hidup.
Setelah perjalanan yang cukup jauh, akhirnya mereka tiba di sekolah Amora.
“Dua orang bang. Makasih bang!” ujar Arvan pada supir angkot tersebut.
“SMA 2 Nusa Bangsa”. Sebuah papan nama yang begitu besar dan terpampang jelas saat mereka berada di depan sekolah tersebut.
Sekolah tersebut merupakan sekolah yang cukup populer di daerah tersebut karena selain siswanya cerdas, kebanyakan juga berasal dari orang-orang yang kaya.
Yang jadi pertanyaan, kenapa Amora bisa sekolah di tempat sebagus itu? Hal itu di sebabkan karena kegigihannya untuk belajar dan ia akhirnya mendapatkan beasiswa dari sekolah tersebut. Tidak banyak orang yang berhasil mendapatkan beasiswa tersebut, di karenakan persaingan yang begitu ketat. Untungnya selain beruntung, Amora juga merupakan siswa yang begitu cerdas. Banyak prestasi yang di torehkannya pada saat ia masih SMP, sehingga para guru juga ikut berperan membantu Amora untuk lulus beasiswa tersebut.
Kita mengetahui bersama bahwa persaingan zaman sekarang bukan lagi persaingan yang murni karena kecerdasan dari siswa itu sendiri, melainkan ada campur tangan para orang tua yang mempunyai kekuasaan. Mereka akan melakukan apa saja agar mereka bisa mendapatkan beasiswa tersebut meskipun mereka adalah orang yang mampu karena pikiran mereka siswa yang mendapatkan beasiswa adalah para siswa yang begitu cerdas dan sering di pilih untuk mengikuti berbagai perlombaan di sekolah.
Begitulah kerasnya persaingan di dunia ini. Itu masih dalam lingkungan sekolah yaitu lingkungan yang mungkin masih di bilang kecil, belum lagi persaingan di luar sana.
“Bang! Adek masuk duluan ya,” ujar Amora sambil mencium tangan kakaknya itu. “Assalamualaikum!” lanjutnya berlalu pergi.
“Iya, waalaikummusallam!”
Para siswa sudah banyak yang brdatangan. Melihat para remaja seumurannya memakai seragam sekolah dan belajar tanpa ada pikiran yang membebani mereka selain belajar dengan baik, membuat Arvan begitu iri. Namun ia harus sadar bahwa ia tidak boleh egois. Ada tanggung jawab yang ia pikul. Meskipun adiknya mendapat beasiswa, namun beasiswa itu tidak membiayai seluruhnya. Beasiswa itu hanya membiayai uang semester adiknya. Jadi selain itu, ia yang akan membiayai semua.
Agar tidak berlarut-larut dalam pikiran yang membuang waktunya, lebih baik ia segera pergi dari tempat itu.
Namun saat berbalik, ia tidak sengaja menabrak salah seorang siswa di sekolah tersebut.
“Punta mata nggak sih lo!” bentak orang tersebut pada Arvan.
Akibat bentakan dari orang tersebut yang begitu keras, banyak siswa yang berhenti melihat ke arah mereka. Dan tidak sedikit dari mereka yang mengeluarkan ponsel mereka dan mengarahkannya pada Arvan.
“Kasih paham Do!” teriak salah seorang dari mereka dan mungkin itu teman dari orang yang di tabrak Arvan.
“Maaf saya nggak sengaja,” ujar Arvan sambil menunduk karena orang-orang semakin banyak berdatangan melihat mereka.
Arvan tidak tau kalau yang di tabraknya itu adalah siswa yang paling hitz di sekolah tersebut atau biasa di kenal dengan badboy. Namanya Aldo Bhalendra. Ia bukan merupakan siswa yang berprestasi dalam hal akademik, namun ia sangat berprestasi dalam hal non akademik dalam hal ini seperti basket. Ia merupakan kapten tim di sekolah tersebut. Jadi sangat wajar banyak orang yang mengenalnya terutama di kalangan kaum hawa. Apalagi di tambah dengan wajahnya yang tampan membuat orang-orang melihatnya dengan akan kagum.
Umur Aldo mungkin akan sama dengan Arvan. Kalau Arvan sekolah mungkin mereka akan satu angkatan.
Melihat Arvan dengan pakaian lusuh dan tampilan seperti gembel, membuat Aldo tersenyum miring. Ia lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Arvan.
“Cih, orang kaya gini datang di sekolah elit, ngapain lo? Oh gue tau, lo pasti mau mulung kan?” ujar Aldo tepat di hadapan Arvan.
Perkataan Aldo tersebut sontak membuat anak-anak lain yang menyaksikan mereka tertawa.
“Tempat ini tuh nggak cocok sama orang kaya lo,” teriak salah satu orang di tempat itu.
Perkataan mereka memang ada benarnya menurut Arvan. Ia memang tidak cocok berada di tempat itu. Namun kata-kata mereka tidak seharusnya mereka ungkapkan di depan banyak orang seperti sekarang.
Arvan kemudian meluruskan pandangannya. Karena tinggi mereka hampir sama, kedua bola mata mereka saling beradu. Mata Aldo menunjukan arti merendahkan dan angkuh, sedangakan mata Arvan menunjukan arti yang berusaha tenang.
Arvan berusaha menahan emosinya agar tidak keluar. Ia tidak ingin membuat keributan di sekolah adiknya tersebut. Jangan sampai orang mengetahui bahwa ia merupakan kakaknya Amora, takutnya mereka akan menyakiti adiknya itu.
“Ngapain lo natap gue kaya gitu. Berani lo sama gue!” ujar Aldo sambil mendorong tubuh Aravan.
Dorongan Aldo tersebut membuat tubuh Arvan sedikit mundur ke belakang.
Aksi Aldo tersebut membuat orang-orang yang menyaksikan mereka mulai berteriak memberikan semangat pada Aldo seperti mereka ingin beradu fisik.
Mendapat perlakuan itu, Arvan hanya tersenyum ke arah Aldo. Hal itu membuat Aldo seperti mendapat tantangan dari Arvan.
"Oh, jadi lo nantangin gue," ujar Aldo sambil melangkah lebih dekat ke arah Arvan dengan tangan yang sudah terkepal sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inbreeding Wheels
Teen FictionSebuah cerita tentang bagaiman seorang kakak membahagiakan adik dan keluarga satu-satunya dalam hidupnya. Orang tua mereka meninggalkan mereka begitu saja tanpa rasa bersalah. Dari kecil, keduanya sudah mengalami penderitaan yang begitu berat. B...